About Me

Foto saya
Bogor, Jawa Barat, Indonesia
Introvert.

Sabtu, 11 Desember 2021

Mas Rain


Setelah jutaan purnama, aku merasa diri sudah tak lagi layak dicinta. Merasa diri tak punya hal istimewa, tak ada apa-apanya dibanding para perempuan hebat di luar sana. Aku tak punya kecantikan yang bisa membuat seseorang terpesona dengan satu kedipan mata. Aku juga tak punya harta. Perihal akhlak, entahlah. Rasanya nol sekali. Shalihah, apalagi. Masih belum pantas kata itu kumiliki. Tapi hari ini, seseorang datang dengan kesungguhan hati.

Lelaki gagah itu akhirnya datang mengetuk pintu gubuk dan bertemu ayahku. Mengobrol dengan santai seolah mereka adalah sepasang sahabat lama yang sedang reuni. Sepertinya, semua bisa begitu asik dibicarakan. Issue terkini, politik, keuangan, adat istiadat, sampai candaan-candaan ringan yang bisa membuat ayah terpingkal. Bahkan semut yang diam-diam menyelinap naik ke atas piring berisi sesuguhan, bisa menjadi alasan mereka tidak menutup perbincangan.

"Ayah, sebentar lagi dzuhur. Ayah tidak siap-siap?" Tanyaku malu karena lelaki asing itu terus memperhatikanku.
"Oh, iya, sebentar lagi ayah wudhu. Tolong kamu siapkan sarung dan peci baru di lemari ayah untuk Mas Rain, ya, dek." Jawab ayah sambil menyingsingkan lengan baju.
Laki-laki itu tidak lama menaruh pandang. Ia segera menyeruput kopi yang sepertinya juga sudah mulai bosan diabaikan. Aku langsung kembali ke dalam untuk melaksanakan perintah ayah. Menyiapkan keperluan lelaki yang dipanggil Mas Rain itu.

Kulihat ayah mempersilahkannya wudhu lebih dulu. Sementara ayah menemuiku.

"Ketemu, dek?" tanya ayah seolah tahu ada masalah dengan pencarianku.
"Hehe, sarungnya yang mana, yah? Banyak banget, bingung." Jawabku polos.
"Yang mana aja, yang penting bersih dan layak pakai, dek. Tapi kalau bisa, kasih yang terbaik untuk tamu." Kata ayah sambil mengambil salah satu sarung terbaiknya.

Laki-laki itu sudah keluar dari kamar mandi. Ia kini berdiri di ruang tamu sambil memperbaiki gulungan lengan bajunya. Tampan sekali. Seolah aku bisa melihat malaikat benar-benar keluar dari tetesan air wudhunya.

Ia memalingkan pandang menangkap aku yang tengah memperhatikannya. Tersenyum. Ya Tuhan, andai malaikat benar bisa dilihat, mungkin saja aku akan keliru membedakan seseorang di dekatku, dengan makhluk cahaya itu.

"Eh, maaf mas. Ini sarung dan pecinya. Dicoba dulu." Kataku sambil menyerahkan seperangkat alat shalat di tanganku.
Ia lalu mengenakan peci tanpa bercermin. Aku masih belum beranjak dari tempatku. Layaknya seorang istri yang menunggui suaminya.
"Pas, dek. Terimakasih, ya" katanya. Membuatku sadar, seharusnya aku langsung masuk setelah menyerahkan sarung dan peci itu.
"I-iya, mas, sama-sama. Saya masuk dulu." Aku membalik badan dan nyaris menabrak ayah yang baru saja datang.
Kemudian, dari balik jendela kamar, kulihat ayah dan lelaki itu berangkat ke masjid beriringan. Berbincang ringan. Kali ini lebih serius. Lagi-lagi aku hanya bisa menebak apa yang sedang mereka bicarakan.

Sambil menunggu mereka pulang, aku shalat dan mengisi ulang sesuguhan yang mulai berkurang.

Sudah lebih setengah jam, tapi ayah tak juga datang. Aku lalu membuka Al-Qur'an dan tadarus di dalam kamar.

"Assalamualaikum..." baru mengaji satu halaman suara mereka sudah terdengar. Aku segera keluar dan mencium tangan ayah. Seperti yang biasa kulakukan. Laki-laki itu masih diam di belakang ayah, menunggu ritualku selesai dan membalikkan badan. Ayah lalu meminta teh hangat baru yang segera kubuatkan. Aku sedikit berlari menuju dapur. Buru-buru, tak melihat ada sesuatu di atas lantai yang membuatku tersandung dan seketika terjatuh.

Bugghh!!! "Aw..."
Aku membuka mataku terpaksa. Sakit. Dipanku terlalu tinggi. Ah, benar saja. Ini hanya mimpi. Pantas indah sekali.

Jumat, 10 Desember 2021

"Berpendidikan Tanpa Berkarir?"

"Bun... Si dedek nangis. Maaf ya ayah langsung berangkat." Kecup suamiku di keningku. Suatu kebiasaan setiap pagi, sebelum berangkat kerja.

"Dek.. Haus ya dek.. Ayo sini sama bunda." Kugendong putra pertamaku, Arya Muhammad yang di bulan ini ia berumur 7 bulan.

Pandanganku tak lepas dari matanya yang sangat indah. Seakan jiplakan dari mata ayahnya yang tegas namun lembut. Sudah 2 tahun perjalanan rumah tanggaku dengannya. Banyak lika-liku kehidupan yang menurutku lucu. Karena setiap permasalahan pasti berujung penyesuaian dan kesepakatan bersama. Baik suami maupun istri, kami sama-sama tidak bisa mengedepankan ego kami. Tapi juga sekaligus perlu banyak menimbang mata dan mulut orang tua, mertua juga masyarakat.

Aku sedang tidak enak badan hari ini. Nyeri di lambungku menjadi-jadi dari subuh tadi. Bersandar di sofa ruang tamu, sejenak kuamati langit-langit ruang tamu yang penuh dengan sangkar burung. Ah,, indahnya hidup ini. Setiap pagi mendengar kicau burung nan syahdu. Membuat suasana rumah menjadi lebih asri. Hijau dengan tetumbuhannya. Menyatu dengan alam.

Di ruang tamu itu juga, terpampang ijazahku dan ijazah suamiku dalam bingkai emas yang cantik. Ya, kami dari fakultas yang sama. Sama-sama menempuh jurusan bisnis internasional. Suamiku adalah kakak tingkatku dua tahun. Ia senior kejam yang jatuh hati pada adik kelasnya. Aku terpingkal-pingkal sendiri membayangkan lugunya si sadis ketika menyatakan ijab qobul di hari pernikahan.

Menjadi penasihat keuangan di salah satu perusahaan ternama, gaji yang sangat cukup dan jam kantor yang tetap ramah bagi sepasang kekasih. Itu merupakan nikmat bagiku mendapat suami seperti dirinya. Walau teman sejawatku selalu menyayangkan diriku yang katanya mubazir pendidikannya. Seolah hanya membuang-buang uang saja. Meraih gelar sarjana dan terdampar di dapur sambil menenteng bayi.

Aku selalu tersenyum getir mendengar komentar sepihak dari manusia-manusia itu. Walau kenyataannya memang begitu, namun yang dirasakan dalam kenyataan tidaklah sepahit yang diucapkan. Malah aku bersyukur telah melalui masa-masa kuliah hingga lulus dan melangsungkan pernikahan dengan proses yang amat mulus.

Bagiku, menapaki pendidikan yang tinggi tidak harus selalu berakhir dengan karir yang juga tinggi. Segudang prestasi bukannya mubazir kendati seorang perempuan memilih menjadi istri yang taat pada suami, mengurus rumah dan menjaga bayi. Karena kuliah tidak bicara ijazah, tidak bertanya profesi apa selanjutnya kita bekerja. Tapi lebih dari itu, proses kehidupan yang mendidik kita untuk menyelesaikan banyak permasalahan, mengatur waktu dan mengambil peluang, tidak bermalas-malasan demi tujuan yang diharapkan, dan pelajaran-pelajaran hidup lain yang boleh jadi tidak bisa kita dapatkan kecuali dengan menempuh fase itu, itu adalah hal yang juga akan menjadi satu hasil selain lembar pengakuan.

Anak-anak akan bangga memiliki ibu yang berpengetahuan dan berpengalaman. Yang bijak, yang setiap keputusannya diambil berdasarkan pertimbangan yang logis dan matang.

Seorang kawan beropini bahwa kehidupan sosial di kampus hanyalah miniatur dari masyarakat sesungguhnya. Di masyarakat, ia benar-benar bertemu dengan jutaan warna sifat dan pola pikir jutaan manusia. Jika di kampus dulu ia hanya bisa memiliki satu dua teman yang dipercaya, di masyarakat ia wajib memiliki kepercayaan di semua hati tetangga. Katanya. Berkorban untuk mendapatkan hati orang, tapi tidak tersirat kedengkian. Jauh bertolak belakang dengan rumus bisnis yang kami pelajari.

Disaat ini pun, aku selalu mengesampingkan simbiosis mutualisme dalam kehidupan sosial. Karena belum tentu semua yang memberikan kita manfaat adalah yang kita berikan manfaat padanya.

Aku bersyukur dapat mengarungi tetesan-tetesan takdir kuliah dulu. Rumah tangga ini adalah ujian praktek yang tak ada ujungnya. Pantas saja para orang tua dahulu memiliki ketajaman pikir yang selalu tak terduga. Tentu saja mungkin karena mereka telah makan asam garam kehidupan nyata. Suamiku pun sampai detik ini mengetahui mimpi dan anganku. Aku bercita2 menjadi eksekutif bisnis di salah satu perusahaan terbesar di Jakarta. Dan aku yakin diriku akan mampu untuk meraihnya. Namun aku pun sadar.Seribu anak buah yang hebat tidaklah sebanding dengan satu anak kandung yang ta'at. 

Aku yakin dengan keputusanku untuk menikah dan memiliki anak. Dan lebih tenang rasanya menjadi seorang ibu tanpa embel-embel jabatan. Lega sekali aku diam dalam perenungan ini. Semoga diriku semakin kuat dan hebat tanpa haus validasi yang membuat banyak orang berdebat.

Rabu, 08 Desember 2021

Perihal Doa; Akal Kita yang Terbatas, Tidak Mampu Memahami 'Maksud Tuhan' yang Begitu Luas

"Eksistensi sebuah doa sebenarnya ada pada pengakuan diri bahwa kita ini lemah. Kita butuh kepada Allah, dan mengakui bahwa hanya Dialah yang mampu mendengar doa-doa kita. Itulah kenapa tidak semua doa dikabulkan-Nya. Tapi semua doa pasti mendapat respon-Nya. Mendapat jawaban-Nya."

Dua hari saya berdiskusi perihal doa. Bertanya tentang pernyataan di atas. Karena begini, dalam prakteknya,  jika doa itu dilakukan sebagai bentuk penghambaan, seseorang seharusnya cukup dengan mengadukan permasalahannya saja, meminta kebutuhannya saja, atau apapun yang ingin ia adukan pada Tuhannya. Setelah itu, bukankah mengingat Allah hati menjadi tenang? Lalu kenapa kita gencar berdoa dengan hajat yang bergelimang lalu resah karena setiap detik menunggu semuanya dikabulkan?

Kalau ada perasaan 'memaksa', bahwa Tuhan harus mengabulkan doa kita dan lantas kecewa saat semua yang terjadi tidak sesuai dengan yang kita pinta, bukankah hilang esensi menghamba?
Jadi, kita menghamba pada siapa?
Tuhan, atau ego manusia kita?

Saya mendapat satu penjelasan yang cukup sederhana tapi luar biasa, hal ini ternyata adalah yang sering kita lupa. Bahwasanya manusia itu sifatnya maratib, secara bahasa artinya bertingkat. Para Ulama Tasawwuf sepakat akan hal ini. Bertingkat di sini maksudnya adalah setiap individu itu tidak sama. Tingkatan ilmu, iman dan fahamnya berbeda, dari level paling sederhana sampai level 'Alim 'Ulama.

Maka perihal doa ini, orang-orang awam seperti kita memang seringkali menengadah sambil memaksa. Mengaharap tapi kemudian kecewa. Dan untunglah para alim tak segan-segan membagikan pemahamannya. Tapi bukankah itu artinya kita tidak boleh berhenti belajar dan bertanya?

Dan, hey! Bukankah Allah lebih dekat kepada orang bodoh yang semangat belajar dari pada si alim yang sombong hatinya?

Lalu, kembali laptop. Kita sudah sampai pada kesimpulan bahwa seorang hamba itu semestinya/ada baiknya sadar bahwa seusai berdoa, apapun yang menjadi takdirnya, itu adalah jawaban dari doa-doanya. Akal kita yang terbatas tidak mampu memahami 'maksud Tuhan' yang begitu luas. Takdir kita hari ini adalah jawaban doa kita kemarin, bahkan doa kita beberapa tahun yang lalu. Dan boleh jadi, efeknya bisa berlanjut sampai bertahun kemudian. Nah, itulah jawaban dari doanya. Hanya kadang kita tidak sadar. Kita merasa doa-doa kita belum dikabul, padahal itulah jalan terbaik atas pengabulannya.

Seperti ungkapan Ibn 'Athailah Assakandari dalam kitab Hikam-nya:

ربما أعطاك فمنعك، و ربما منعك فأعطاك، و متى فتح لك باب الفهم في المنع، فصار المنع عين العطاء.



Semuanya terlihat sederhana, bahkan Air mata tidak bisa membeli takdir-Nya. Kecuali air mata takwa, yang itu bisa membeli surga.

Selasa, 07 Desember 2021

Yang Membuntutimu itu Bernama Takdir


Kemarin malam saya sempat berkabar dengan seseorang bahwa saya merasa tidak enak badan. Sampai selasa pagi pun kepala masih sakit dan sedikit demam, tapi saya memaksa mandi dan berangkat ke perantauan. Kembali ke Kota Hujan.

Sebelum berangkat saya sempat makan dan merasa diri saya baik-baik saja. Tidak ada tanda-tanda buruk akan menimpa.

Saya naik KRL tujuan Duri dan sempat bergumam tepat satu stasiun sebelum stasiun transit tempat saya berganti kereta, "kayaknya nggak apa-apa nih kalau nanti nggak dapat duduk. Kuat, lah..." Dengan sangat PD nya saya berpikir demikian.

Lalu Allah mengabulkan dan mungkin sekaligus memberi pelajaran. Seperti ingin mengingatkan 'kalau bicara itu jangan sembarangan!'.

Takdir lalu mengikuti perjalanan. Ia terjadi seperti apa yang saya katakan. Hanya bagian tidak mendapat tempat duduk saja, tidak sepaket dengan kekuatannya.

Saya berganti kereta di Stasiun Duri dan sampai stasiun Manggarai saya merasa masih baik-baik saja. Hanya sedikit pegal.

Masuk Tebet kepala saya sudah mulai kliyengan. Tapi masih dengar suara sekitar.

Kereta melaju lamban. Atau ini hanya perasaan saya saja. Yang kemudian disusul rasa yang saya sendiri tidak faham apa itu.

Semuanya gelap, nafas saya sesak, hidung berair, saya sudah tidak lagi merasakan apa-apa. Tapi saya masih ingat saat itu sempat menurunkan tas berat saya ke lantai sebelum akhirnya terkulai.

Mas-mas berkacamata di belakang saya, entah apa responnya. Tapi ketika saya sadar, sudah 2 stasiun dari tempat terakhir saya bisa mendengar suara.

SAYA PINGSAN.

Terkejut saat sadar dan sekeliling saya banyak orang dengan minim perempuan, saya refleks langsung mengambil tas dan berjalan sempoyongan keluar. Menyeruak di antara kerumunan orang.

Saya mengabari kakak saya tentang kejadian barusan. Berdiskusi, dan setelah satu setengah jam saya berdiam menunggu kereta yang lebih lengang, akhirnya saya tetap melanjutkan perjalanan meski kembali berdesakan.

Kereta Bogor di awal jam-jam malam tak pernah lengang. Saya tidak akan sampai kalau masih keras kepala menunggunya.

Lalu sampai di stasiun tujuan sudah cukup malam dan mengabarkan siapa saja yang ada di sekitar, berharap ada yang berbaik hati mengantar karena saya mulai khawatir juga dengan diri saya sendiri.

Tapi saya tidak sabar, tak ingin menunggu lama, akhirnya angkot pun saya sambar. Padahal, sudah ada kawan yang siap menjemput saya semalam.

Ah sudahlah. Saya sudah tidak keruan.

Sampai di tempat tujuan sudah set. 10 malam. Saya makan dan merebahkan badan. Menelpon seseorang.

Badan saya panas seperti terbakar api kemarahan. Atau cemburu berlebihan. Hehe

Saya sudah mencoba menulis beberapa paragraf untuk Day 7 kemarin. Bahannya sudah saya siapkan. Ini adalah request seseorang, dan saya sampai mengajak berdiskusi beberapa kawan demi judul yang ia ajukan. Tapi demam membuat otak saya tidak bisa bekerja maksimal.

SAYA TEPAR.

Senin, 06 Desember 2021

Suatu Hari Sebelum Hari ini (3)

Aku tak begitu mengenalnya. Ia mungkin sosok pendiam, atau sebaliknya. Atau pendiam sekaligus juga cerewet pada orang yang berbeda. Kawan-kawan sering menyebut laki-laki di hadapanku ini sangat anti wanita. Dingin, dan tak ada satu pun kontak perempuan di whatsappnya. Kalaupun ada, ya itu hanya aku. Itulah kenapa, seringkali mereka bertanya tentang hubunganku dengan pria aneh ini.
Bukan hanya kawan sejawat, adiknya sendiri juga berkata hal serupa. Tidak ada kontak perempuan di whatsappnya kecuali aku. Mungkin maksudnya selain ia dan ibunya. Tapi ah, mana aku peduli.

Sepanjang perjalanan aku hanya diam, sesekali menjawab pertanyaan. Ia tak begitu pendiam, tapi perjalanan menjadi amat panjang. Kupikir hanya perasaanku saja karena canggung, ternyata memang ia membawaku jauh dari titik pertemuan kami. Aku hanya diam, menunggunya memarkirkan sepeda motornya. Tapi kami malah berbelok masuk ke pekarangan suatu masjid. Aku ingat kami belum shalat ashar. Lama sekali aku menunggunya, ternyata.

Setelah semuanya selesai, kami melanjutkan perjalanan tapi kedai kopi (kafe) baru yang ia janjikan masih belum juga kelihatan. Aku semakin tak sabar karena kali ini kami sudah keluar Jakarta dan masuk Kota Tangerang. Kulihat-lihat daerah yang kami masuki ini tidak jauh dari pesantrenku, tempat yang baru saja kukunjungi. Kenapa dia tidak bilang saja bahwa kafenya dekat sini? kan aku tidak perlu jauh-jauh putar balik ke Jakarta dan menunggu lama. Tapi, ah, takdir memang senang sekali bercanda.

Kami berputar-putar, tersasar. Ia lalu membuka ponselnya membuka aplikas peta penunjuk jalan. Aku memperhatikannya kebingungan. Aku lebih bingung lagi karena ia ternyata bukan membawa kami ke kafe yang pernah ia sebutkan. Sampai pada suatu kedai, sepeda motornya ia parkirkan.

                         "KOPI JANJI JIWA"

Loh, ini dekat sekali dengan pesantrenku. Batinku. Tapi aku tidak mengatakannya. Aku membiarkan semua berjalan seperti apa adanya saja.

Kami lalu memesan dua kopi yang berbeda, aku tertarik Avocado Coffee yang entah apa nama aslinya. Setelah membuat pesanan, kami mencari tempat yang nyaman untuk bertukar pikiran, atau hanya sekedar berbincang. Ia memilih teras dan segera kuiyakan. Kudapati semburat senja kekuningan. Menampar wajahku yang kaku menunggu lelaki bermata bulat ini memulai perbincangan. Sampai pesanan kami datang, ia membukanya dengan basa-basi membahas rasa kopi.

Semakin sore, obrolan kami sudah ke sana kemari. Langit menyajikan warna merah jingga, dan hamburan cahaya oranye di sekitarnya. Laki-laki di hadapanku ini semakin semangat bercerita. Aku senang ia menumpahkan kegundahannya padaku, meski aku tak tahu apakah aku satu-satunya, atau hanya salah satunya. Hehe, aku tidak baper, ini hanya pemanis saja.

Lihatlah, di tengah keluh kesahnya, aku malah melamun menikmati suasana.

Ada 3 elemen yang aku suka.
Aku suka senja,
Aku suka kopi,
Dan aku suka kamu.
Lalu hari ini, Semesta  menyajikan semuanya di hadapanku.
Ia membuatku menghabiskan senja, dengan secagkir kopi bersama kamu.

Sambil menulis puisi itu, kulukis juga semburat senja dan secangkir kopi dalam buku harianku. Hanya dua elemen itu. Karena wajahnya, aku sudah hafal sekali. Aku melukisnya dalam ingatanku sejak pertama kali kami bertemu. Ia sahabat baikku.

***

Pertemuan selesai meski obrolan kami sebenarnya masih belum usai. Kopiku tersisa banyak, aku tak menyangka akan sepahit ini. Untunglah, teman ngopiku tidak ikut menceritakan hal-hal pahit dan aku masih bisa menikmatinya dengan senyum (yang dipaksakan) manis.

Kami beranjak dari kedai kecil itu. Dia mengantarku ke stasiun terdekat. Masih kunikmati langit yang tak lagi biru. Ia lalu menjelaskan alasan kenapa membawaku ke kedai barusan, bukan kafe yang pernah ia janjikan. Aku menerima alasannya. Ia memang anak baik.

Hampir maghrib ketika kami sampai di stasiun. Ia langsung pamit pulang. Setelah kupastikan punggungnya menghilang, sisa kopi yang masih lebih dari setengahnya itu lalu kubuang. Pahiittt. Itu akan merusak moodku sampai malam.

Aku check in dan mengeluarkan ponsel menelpon seseorang. Ia yang berkeliling Jakarta sejak pagi tadi. Aku memintanya menunggu di stasiun Gr*gol. Hanya melewati dua stasiun dari tempatku sekarang berdiri.
Setelah sampai, aku melihatnya berdiri bersandar. Mungkin ia kelelahan. Kuhampiri ia yang segera mengulurkan tangan. Kutolak. "Aku punya wudhu," dalihku.

Adzan maghrib berkumandang lalu kami berjalan mencari masjid sambil berbincang ringan. Ia begitu santai, tapi aku, begitu kentara menampakkan rasa tidak nyaman.

Laki-laki yang baru saja menyelesaikan shalatnya ini, sebenarnya adalah sahabat si mata bulat. Aku tak memberi tahunya bahwa orang yang barusan kutemui, yang menemaniku minum kopi, adalah sahabatnya sendiri. Aku juga tak mengabarkan si mata bulat bahwa setelah ini, dengan sahabatnyalah aku membuat janji. Kupikir, itu sungguh tidak penting. Mereka hanya akan membahas hari ini suatu saat nanti.

Seusai shalat ia memesan taxi online dengan tujuan restoran ayam yang itu berati aku harus makan. Aduh, aku tak bisa menolak tapi aku juga masih kenyang. Lalu kami hanya berbincag sambil kunikmati kulit ayamku. Tak kuhabiskan.
"Kenapa nggak bilang kalau nggak mau makan?" tanyanya.
"Hehe," sambil berlalu ke westafel dan mencuci tangan, aku hanya menjawabnya cengengesan.
Tak ingin berlama-lama, aku menagih sesuatu, barangku yang ia pinjam. Tapi ia lagi-lagi beralasan. Entah benar atau tidak. Tapi, kalau barangnya memang tidak ada, bukankah ia bisa memberitahuku dari awal saja? Lalu aku merasa terjebak.

Aku lalu pulang dengan perasaan geram. Ia menangkap ketidaknyamanan sejak awal petemuan. Di jalan, di masjid, di taxi, di restoran, sampai di jalan pulang. Biarlah, biar dia sadar bahwa ia memang menakutkan.

Seingatku, itu adalah terakhir aku sengaja menemuinya. Sampai hari ini. Tidak ada pertemuan lagi. Tidak ada yang disengaja. Ia menjalani hidupnya sendiri. Aku pun juga begitu.

Sabtu, 04 Desember 2021

Suatu Hari, Sebelum Hari ini (2)

Aku menikmati takdir. Bahwa kini, kita bisa berbincang dengan lebih leluasa.
Bercerita apa saja sampai air mata beradu dengan suara.
Hanya berdua. Disaksikan kelopak-kelopak kamboja yang tak pernah berkomentar tentang kemesraan kita.

Aku menikmati takdir.
Bahwa Tuhan memberi kesempatan untuk kita menjadi lebih dekat meski semesta membuat banyak sekat.

 Matahari masih belum meninggi. Aku lalu keluar area pemakaman dan melanjutkan sowan ke ndalem Ning Qoonit. Putri pertama Aby. Aby memiliki satu putra dan empat orang putri. Seolah kerajaan dalam keluarga ini memang dibentengi oleh putra pertamanya, Gus Rain sebagai anak sulung penerus perjuangan Aby.

 Ning Qoonit pasti ada di ndalem, karena beliau sedang hamil tua sekarang. Selain itu juga memang Ning Qoonit begitu terjaga dan tidak pernah keluar kecuali bersama suaminya. Aku ragu bersuara setelah langkah sudah sampai di penghujungnya. Teras kecil kediaman Ning Qoonit sudah di depan mata. Aku hanya menatap lekat-lekat rumah bercat putih krem yang elegan itu. Minimalis tapi manis dengan banyak pot-pot berisi bunga belasan jenis.

 Aku masih terpaku dan belum berani melepas sepatu, tapi tak lama kemudian kudengar suara Ning dari balik pintu. serpertinya sedang menelpon. Lalu aku menunggu tanpa mendengarkan pembicaraan. Setelah kurasa suara Ning Qoonit menghilang, saat itu kuberanikan mengucap salam.
"Assalamu'alaikum..."
"Wa'alaikumussalam waramatullah..." kudengar jawaban salam yang seolah si penjawab tahu bahwa sejak tadi sudah ada yang menunggu.
 Ning Qoonit lalu membuka pintu pelan, membuat celah lalu mengintip keluar, memastikan apakah tamunya bersama laki-laki atau hanya perempuan. Setelah yakin bahwa tamunya seorang perempuan dan hanya sendirian, beliau dengan sigap membuka pintu lebar-lebar. mempersilakanku masuk dan menyiapkan jamuan. Duh, melihat wanita dengan perut besar begitu repot bolak-balik membuatku gemas sekali, ingin mencegahnya tapi beliau pasti akan bilang, "tidak apa-apa, tamu itu harus dihormati. Bawa berkah." Dan akhirnya aku hanya tersenyum dan berkata "padahal tidak perlu repot seperti ini loh, Ning." Beliau hanya tersenyum penuh arti, dan jamuan itu segera kunikmati. Kapan lagi makan jamuan ndalem. hehe

 Seperti yang terjadi tadi di ndalem Ummik, di sini juga aku terus mengobrol ke sana ke mari. Ning Qoonit lalu bertanya tentang alasanku dulu berhenti mengabdi yang segera kuceritakan alasan sebenarnya.

 Tak terasa hari semakin siang dan aku ingat ada janji dengan seseorang. Aku lalu pamit dan Ning Qoonit sigap memberiku bekal. Beliau memberiku buah-buahan, susu dan air mineral, juga cemilan untuk di jalan, katanya. Tapi tasku kecil dan itu tidak akan cukup kugenggam. Beliau memaksa, harus dibawa. Katanya, ini berkah, semoga ikut ngalir ke kamu berkahnya. Mendengar kalimat seperti itu, aku lantas enggan menolak meski hanya sebiji anggur.

 Aku lalu segera ke kantor PSB (Penerimaan Santri Baru) mencari abdi dalem-abdi dalem muda dan menemukan mereka sedang asik berdikusi di sana.
"Assalamu'alaikum... Hei, lihat nih saya bawa apa!?" Aku menjulurkan tangan berisi buah-buahan yang tidak diwadahi. Iya, Ning Qoonit tidak menemukan semacam kresek atau apalah untuk aku membawa perbekalan ini.

"Wa'alaikumussalam... Eh, apa ini...?" Mereka bukan bertanya apa yang aku bawa, tapi menanyakan dari mana asalnya.

"Dari ndalem Ning." bisikku, lalu mereka langsung menyerbu tanpa minta persetujuanku. Memang sudah kusodrokan, biar saja mereka habiskan. Aku hanya menyisakan satu apel merah dan sekotak susu di dalam tas kecilku. Itu sudah lebih dari cukup.

Setelah basa-basi, salah satu dari mereka manawarkan makan siang gratis yang tidak kutolak sama sekali. Malah kucandai, kubilang ingin makanan yang biasanya sulit ditemukan di siang hari. Aku meminta kebab, dan benar saja, mereka menatapku berkali-kali, bergantian. Lalu aku hanya terkekeh dan berpesan, "pokoknya harus dapat." 

Sambil menunggu makan siang, kami berdiskusi panjang. Salah satu dari mereka bertanya banyak hal, yang lain lalu ikut menumpahkan kegundahan. Aku bukan si pandai yang bisa menjawab banyak hal, tapi rindu menyatukan kami dengan banyak obrolan. Senang sekali menjadi pendengar mereka. Pertanyaan mereka terjawab sambil diskusi yang mengalir begitu saja. Sesekali aku tergelak karena lelucon mereka. Atau mereka membongkar kisah lalu dan mengatakan bahwa dulu, aku terkenal tak pernah tertawa. Jangankan tertawa, senyum saja rasanya susah. Begitu komentar mereka. Tapi hari ini, tidak ada lagi sekat. Aku sudah bisa lebih bersahabat dengan tetap menjunjung martabat, ceileh.

 Makan siang datang dan aku terkejut melihat seonggok kebab dihidangkan cantik di atas meja. "Khusus untuk Ustadzah jutek," katanya. Kurang ajar, aku terkekeh mendengar ledekannya.
"Jangan lagi panggil Ustadzah, saya suka gatel pengen hukum kalo kayak gitu," kataku sambil menymbar kebab hangat itu. Mereka terbahak demi mendengar kalimatku.

 Tak terasa waktu sudah semakin siang. Aku kembali ke ndalem Ummik untuk berpamitan, tapi kemudian adzan zuhur terdengar. Ummi memintaku shalat sebelum melanjutkan perjalanan. Aku tak menolak dan justru sangat senang. Beliau menyiapkan mukena sementara aku mengambil wudhu di belakang. Setelah semuanya siap, Ummik berdiri di depanku menjadi imam, dan aku bermakmum dengan hati penuh bunga-bunga bermekaran.

 Tak kusangka bisa shalat berdua saja dan menjadi makmum satu-satunya. Ingin kuadukan ini lagi pada Aby, tapi sepertinya Aby juga menyaksikan. Shalat selesai dan aku segera mencium tangan umi sebelum memanjatkan doa panjang. Ummik yang memimpin doa dan aku setia mengaminkan. Setelahnya, aku kembali mencium tangan Ummik dan melipat mukena serta sajadah. Ummik masuk kamar sebentar lalu keluar. Mengantarku ke teras dan berpamitan.

 Aku keluar area pesantren dan segera mencari warung makan karena sebelum berbincang dengan nasi, cacing di perutku tidak akan mau diam. Sambil menikmati makan siang yang benar-benar makan siang, aku membuka lagi ponsel yang sejak tadi, lagi-lagi kuabaikan. Aku mencari kontak seseorang yang sebenarnya ada di recent update terdepan. Kutanyakan perihal janji temu hari ini, lalu ia menyanggupi.

 Usai makan aku kembali ke stasiun dan naik kereta ke arah Jakarta. Yang itu artinya, berlawanan arah dengan jalan menuju rumah. Aku turun di stasiun pertama pinggir Jakarta. Tak kutemukan orang yang kukenal di sana. Aku menunggu lama. memperhatikan penjual gorengan yang menatapku heran. Loh, aku menjadi lapar melihat pisang-pisang krispi itu. Sialan. 

 Setengah jam berlalu, si abang tak kunjung mengabariku. Aku memang sudah terbiasa sekali menunggu, tapi kali ini, lagi???

 Sudah hampir satu jam aku berdiri dan bersungut-sungut menanti. Lelaki bermata bulat itu tak kunjung datang dan aku mulai berpura sibuk dengan gawai. Malu pada orang-orang sekitar.

 Di tengah sedikit rasa kesal dan malu, seseorang justru menghentikan motornya tepat di hadapanku. Aku sedang malas marah. Kudiamkan saja. Tapi ia tak kunjung beranjak. Kulirik sekilas, pengendara motor itu mengenakan topi. Mata kami bertemu.
"Heeeiiiiii....." sapanya.
"Eh, hei." Aku menjawab kikuk bingung harus menyapa bagaimana.
Kami berbincang sebentar sebelum akhirnya pergi. Ia mempersilakanku naik ke atas sepeda motornya. Oh Tuhan, ini pertama kali aku duduk satu jokes dengannya. Entah kenapa jokes yang satu ini tidak membuatku tertawa padahal jokes seharusnya lucu.

To be continue...

Suatu Hari, Sebelum Hari ini.



Hari itu, aku yang sudah berbulan-bulan ndekem di Bogor berencana pulang ke Tangerang. Banyak rencana sudah kusiapkan. Tempat apa saja yang akan kukunjungi, siapa saja yang akan kutemui. Sampai saat aku tiba di stasiun kereta, kulihat seseorang membagikan fotonya yang sedang berkeliling Jakarta. Entah acara apa. Mungkin dia memang seperti itu. Mungkin ia menyukai jalan-jalan sendirian di keramaian, menaiki bus lalu turun di setiap halte tempat bus itu berhenti, untuk kemudian menaiki bus selanjutnya dan turun lagi. Atau menaiki kereta lalu mampir di setiap stasiun kereta itu berhenti. Hanya untuk memperhatikan keriuhannya. Hanya untuk merasakan ramainya. Hanya untuk menguji sepi hatinya. Atau hanya untuk mengoleksi foto-foto perjalanan di galeri ponselnya.
Aku melihat ia masih terus memperbarui keberadaannya. Dari satu halte ke halte lain, dari satu lampu merah ke lampu merah lain. Lalu sejurus kemudian, kukomentari salah satu postingannya. "Aku pulang, nih. Masih keliling Jakarta?", ia tak langsung menjawab. Mungkin masih sibuk dengan kegiatan mempotretnya. Aku lalu memasuki kereta yang kebetulan langsung berangkat. Hari ini semuanya berjalan begitu lancar tanpa ada yang menghambat. Aku merasa Tuhan memudahkannya karena tujuan pertamaku adalah berziarah ke Makam Kyaiku, Kyai Ihsan. Aku juga berniat melanjutkan silaturrahmi ke Pesantren dan ke keluarga ndalem.

Aku tertidur di kereta sampai stasiun akhir tempatku transit. Lalu dibangunkan penumpang lain yang khawatir dan berfikir mungkin saja aku juga mesti berganti kereta dan harus segera disadarkan. Aku berterimakasih lalu kemudian keluar dengan tergesa-gesa. Aku lapar. Tapi tidak ada kedai makanan di dalam stasiun transit ini. Semuanya berada di luar dan harus cek out dulu untuk bisa menikmatinya. Sayang sekali, hanya untuk membeli roti dan air mineral aku harus membayar double ongkos perjalanan. Sebenarnya tak seberapa, tapi kali ini laparku masih bisa ditahan, jadi rupiah segitu masih akan kusayangkan.

Kulanjutkan perjalanan dengan kereta yang baru. Menuju stasiun tujuanku. Kulihat ponsel yang sejak tadi kuabaikan. Beberapa panggilan tak terjawab dan puluhan pesan wasuk ke nomor whatsappku. Seseorang yang aku komentari story whatsappnya. Ia bertanya dimana aku sekarang yang segera kujawab bahwa aku sudah di dalam Kereta menuju Tangerang. Ia lalu meminta bertemu, tempatnya ia yang menentukan tapi aku sama sekali tidak menjanjikan. Aku punya janji temu dengan orang lain. Aku memanggilnya abang, walau sebenarnya kami seumuran. Aku membuat janji temu semata karena Ia pernah mengajakku ngopi saat ada grand opening kafe baru di dekat rumahnya, tapi belum aku iyakan, dan kebetulan hari ini kesempatan itu kugenggam.

Stasiun demi stasiun kulewati dan akhirnya sampai di stasiun tujuan, aku dengan sigap keluar dan kali ini tidak menggunakan jasa ojek online. Sesekali pakai ojek konvensional kan tidak merugikan, pikirku.

Aku lalu menuju makam, letaknya di sebelah ndalem dan dekat sekali dengan masjid tempat santri putra melaksanakan shalat jama'ah serta beberapa kegiatan lain. Malu sekali. Saat itu hari minggu, biasanya menjadi hari sambang, tapi karena ada protokol yang harus dipatuhi dan dijaga, gerbang menjadi tak sembarangan dibuka. Aku menerobos kerumunan orang yang berkumpul di depan gerbang karena ditolak masuk bertemu putranya di dalam. Hanya mereka punya keperluan khusus yang boleh masuk. Sampai saat jarak antara aku dengan gerbang begitu dekat tanpa sekat, di sanalah kudapati wajah seorang ustadz. "Saya mau ketemu ummik." Jelasku tegas. Tanpa ditanya, tapi aku tahu tatapan matanya ingin melontarkan pertanyaan yang jawabannya baru saja kujelaskan. Ia lalu membuka gembok, mempersilahanku masuk. Tanpa pertanyaan lanjutan, tanpa banyak persyaratan.

Aku masuk dengan gugup karena harus sowan ke ndalem terlebih dahulu sebelum ke makam. Untunglah Ummik tidak sedang sibuk dan aku bisa menemui beliau tanpa harus menunggu lama. Hari ini, semuanya benar-benar dilancarkan. Aku mengobrol banyak dengan Ummik mulai dari kabar ndalem, perkembangan pesantren, jumlah santri, bertukar tanya dan bercerita tentang kesibukan yang sedang aku geluti, dan Ummik tidak merasa canggung dengan hal itu. Seperti umi sendiri.

Setelah banyak bercerita, aku pamit untuk ziarah ke makam Aby, begitu para santri memanggil poros dari pesantren ini. Aku berdoa lama sekali. Bercerita bahwa aku sedang akan menyelesaikan skripsi. Aku berharap Aby bisa menatapku lagi, atau bahkan juga memberi nasehat. Tapi entah kenapa, hari itu, dalam segala harap, aku juga sekaligus merasa Aby sangat dekat tak berjarak. Aku merasa tidak sedang bercerita pada nisan saja. Aby ada di sana. Aby mendengarkan dengan seksama. Aby membelai jilbab ujung kepala.

To be continue...

Best of...

Idzinkan Saya Berzina Dengan Anak Bapak

  Oleh: Galuh Za   Awan hitam bergerumul di puncak gunung salak di hadapan Wisnu. Bertumpuk-tumpuk. Menutup sebagian awak gunung itu. ...