Aku menikmati takdir. Bahwa kini, kita bisa berbincang dengan lebih leluasa.
Bercerita apa saja sampai air mata beradu dengan suara.
Hanya berdua. Disaksikan kelopak-kelopak kamboja yang tak pernah berkomentar tentang kemesraan kita.
Aku menikmati takdir.
Bahwa Tuhan memberi kesempatan untuk kita menjadi lebih dekat meski semesta membuat banyak sekat.
Matahari masih belum meninggi. Aku lalu keluar area pemakaman dan melanjutkan sowan ke ndalem Ning Qoonit. Putri pertama Aby. Aby memiliki satu putra dan empat orang putri. Seolah kerajaan dalam keluarga ini memang dibentengi oleh putra pertamanya, Gus Rain sebagai anak sulung penerus perjuangan Aby.
Ning Qoonit pasti ada di ndalem, karena beliau sedang hamil tua sekarang. Selain itu juga memang Ning Qoonit begitu terjaga dan tidak pernah keluar kecuali bersama suaminya. Aku ragu bersuara setelah langkah sudah sampai di penghujungnya. Teras kecil kediaman Ning Qoonit sudah di depan mata. Aku hanya menatap lekat-lekat rumah bercat putih krem yang elegan itu. Minimalis tapi manis dengan banyak pot-pot berisi bunga belasan jenis.
Aku masih terpaku dan belum berani melepas sepatu, tapi tak lama kemudian kudengar suara Ning dari balik pintu. serpertinya sedang menelpon. Lalu aku menunggu tanpa mendengarkan pembicaraan. Setelah kurasa suara Ning Qoonit menghilang, saat itu kuberanikan mengucap salam.
"Assalamu'alaikum..."
"Wa'alaikumussalam waramatullah..." kudengar jawaban salam yang seolah si penjawab tahu bahwa sejak tadi sudah ada yang menunggu.
Ning Qoonit lalu membuka pintu pelan, membuat celah lalu mengintip keluar, memastikan apakah tamunya bersama laki-laki atau hanya perempuan. Setelah yakin bahwa tamunya seorang perempuan dan hanya sendirian, beliau dengan sigap membuka pintu lebar-lebar. mempersilakanku masuk dan menyiapkan jamuan. Duh, melihat wanita dengan perut besar begitu repot bolak-balik membuatku gemas sekali, ingin mencegahnya tapi beliau pasti akan bilang, "tidak apa-apa, tamu itu harus dihormati. Bawa berkah." Dan akhirnya aku hanya tersenyum dan berkata "padahal tidak perlu repot seperti ini loh, Ning." Beliau hanya tersenyum penuh arti, dan jamuan itu segera kunikmati. Kapan lagi makan jamuan ndalem. hehe
Seperti yang terjadi tadi di ndalem Ummik, di sini juga aku terus mengobrol ke sana ke mari. Ning Qoonit lalu bertanya tentang alasanku dulu berhenti mengabdi yang segera kuceritakan alasan sebenarnya.
Tak terasa hari semakin siang dan aku ingat ada janji dengan seseorang. Aku lalu pamit dan Ning Qoonit sigap memberiku bekal. Beliau memberiku buah-buahan, susu dan air mineral, juga cemilan untuk di jalan, katanya. Tapi tasku kecil dan itu tidak akan cukup kugenggam. Beliau memaksa, harus dibawa. Katanya, ini berkah, semoga ikut ngalir ke kamu berkahnya. Mendengar kalimat seperti itu, aku lantas enggan menolak meski hanya sebiji anggur.
Aku lalu segera ke kantor PSB (Penerimaan Santri Baru) mencari abdi dalem-abdi dalem muda dan menemukan mereka sedang asik berdikusi di sana.
"Assalamu'alaikum... Hei, lihat nih saya bawa apa!?" Aku menjulurkan tangan berisi buah-buahan yang tidak diwadahi. Iya, Ning Qoonit tidak menemukan semacam kresek atau apalah untuk aku membawa perbekalan ini.
"Wa'alaikumussalam... Eh, apa ini...?" Mereka bukan bertanya apa yang aku bawa, tapi menanyakan dari mana asalnya.
"Dari ndalem Ning." bisikku, lalu mereka langsung menyerbu tanpa minta persetujuanku. Memang sudah kusodrokan, biar saja mereka habiskan. Aku hanya menyisakan satu apel merah dan sekotak susu di dalam tas kecilku. Itu sudah lebih dari cukup.
Setelah basa-basi, salah satu dari mereka manawarkan makan siang gratis yang tidak kutolak sama sekali. Malah kucandai, kubilang ingin makanan yang biasanya sulit ditemukan di siang hari. Aku meminta kebab, dan benar saja, mereka menatapku berkali-kali, bergantian. Lalu aku hanya terkekeh dan berpesan, "pokoknya harus dapat."
Sambil menunggu makan siang, kami berdiskusi panjang. Salah satu dari mereka bertanya banyak hal, yang lain lalu ikut menumpahkan kegundahan. Aku bukan si pandai yang bisa menjawab banyak hal, tapi rindu menyatukan kami dengan banyak obrolan. Senang sekali menjadi pendengar mereka. Pertanyaan mereka terjawab sambil diskusi yang mengalir begitu saja. Sesekali aku tergelak karena lelucon mereka. Atau mereka membongkar kisah lalu dan mengatakan bahwa dulu, aku terkenal tak pernah tertawa. Jangankan tertawa, senyum saja rasanya susah. Begitu komentar mereka. Tapi hari ini, tidak ada lagi sekat. Aku sudah bisa lebih bersahabat dengan tetap menjunjung martabat, ceileh.
Makan siang datang dan aku terkejut melihat seonggok kebab dihidangkan cantik di atas meja. "Khusus untuk Ustadzah jutek," katanya. Kurang ajar, aku terkekeh mendengar ledekannya.
"Jangan lagi panggil Ustadzah, saya suka gatel pengen hukum kalo kayak gitu," kataku sambil menymbar kebab hangat itu. Mereka terbahak demi mendengar kalimatku.
Tak terasa waktu sudah semakin siang. Aku kembali ke ndalem Ummik untuk berpamitan, tapi kemudian adzan zuhur terdengar. Ummi memintaku shalat sebelum melanjutkan perjalanan. Aku tak menolak dan justru sangat senang. Beliau menyiapkan mukena sementara aku mengambil wudhu di belakang. Setelah semuanya siap, Ummik berdiri di depanku menjadi imam, dan aku bermakmum dengan hati penuh bunga-bunga bermekaran.
Tak kusangka bisa shalat berdua saja dan menjadi makmum satu-satunya. Ingin kuadukan ini lagi pada Aby, tapi sepertinya Aby juga menyaksikan. Shalat selesai dan aku segera mencium tangan umi sebelum memanjatkan doa panjang. Ummik yang memimpin doa dan aku setia mengaminkan. Setelahnya, aku kembali mencium tangan Ummik dan melipat mukena serta sajadah. Ummik masuk kamar sebentar lalu keluar. Mengantarku ke teras dan berpamitan.
Aku keluar area pesantren dan segera mencari warung makan karena sebelum berbincang dengan nasi, cacing di perutku tidak akan mau diam. Sambil menikmati makan siang yang benar-benar makan siang, aku membuka lagi ponsel yang sejak tadi, lagi-lagi kuabaikan. Aku mencari kontak seseorang yang sebenarnya ada di recent update terdepan. Kutanyakan perihal janji temu hari ini, lalu ia menyanggupi.
Usai makan aku kembali ke stasiun dan naik kereta ke arah Jakarta. Yang itu artinya, berlawanan arah dengan jalan menuju rumah. Aku turun di stasiun pertama pinggir Jakarta. Tak kutemukan orang yang kukenal di sana. Aku menunggu lama. memperhatikan penjual gorengan yang menatapku heran. Loh, aku menjadi lapar melihat pisang-pisang krispi itu. Sialan.
Setengah jam berlalu, si abang tak kunjung mengabariku. Aku memang sudah terbiasa sekali menunggu, tapi kali ini, lagi???
Sudah hampir satu jam aku berdiri dan bersungut-sungut menanti. Lelaki bermata bulat itu tak kunjung datang dan aku mulai berpura sibuk dengan gawai. Malu pada orang-orang sekitar.
Di tengah sedikit rasa kesal dan malu, seseorang justru menghentikan motornya tepat di hadapanku. Aku sedang malas marah. Kudiamkan saja. Tapi ia tak kunjung beranjak. Kulirik sekilas, pengendara motor itu mengenakan topi. Mata kami bertemu.
"Heeeiiiiii....." sapanya.
"Eh, hei." Aku menjawab kikuk bingung harus menyapa bagaimana.
Kami berbincang sebentar sebelum akhirnya pergi. Ia mempersilakanku naik ke atas sepeda motornya. Oh Tuhan, ini pertama kali aku duduk satu jokes dengannya. Entah kenapa jokes yang satu ini tidak membuatku tertawa padahal jokes seharusnya lucu.
To be continue...