Ada banyak sekali jalan menuju Roma, banyak sekali cara menjadi bahagia. Tapi problematika anak muda zaman ini semakin sederhana. Sesederhana habis kuota, tak bisa buka sosial media, tak bisa membalas chat dari wanita tercinta. Weileh, udah galau banget kelihatannya.
Padahal, ada banyak panggilan tak terjawab dari Kekasih sebenarnya. Ada ribuan conversation yang tak pernah dibaca. Diarsipkan saja.
Hari ini, jutaan anak muda mulai menampakkan dirinya; berjoget-joget di depan kamera, bersolek di depan kamera, makan-makan di depan kamera, bersedekah di depan kamera, shalat dhuha di depan kamera, semuanya dilakukan di depan kamera. Segala perasaannya butuh akan validasi manusia. Bahkan cantik/tampannya, perlu diakui dengan metode polling like terbanyak pada foto-foto yang disebarnya.
Andai mereka tahu, di pojok sana, di sebuah pesantren kecil tak ternama, ada senyum anak kecil yang mengembang setiap harinya. Hasil dari ketulusannya mengabdi pada Sang Kekasih. Seorang kawan ternyata mulai menyadari dari mana sumber bahagia itu bermula.
Hari itu, hari ke-3 sang anak tidur selepas shubuh. Mungkin karena 2hari sebelumnya sudah membuatnya sedikit terbiasa. Padahal selama ini, ia tak pernah absen menunggu pagi dengan membaca surat-surat dari Sang Kekasih.
Hari itu wajahnya muram. Seperti awan hitam di musim kemarau. Mengkhawatirkan.
Ada yang membuatnya gundah entah apa.
Sampai keesokan harinya, diputusnya rantai keburukan itu. Ia kembali bangun tahajjud yang disambung shubuh dengan bacaan Qur'annya. Sampai matahari menyapa, dibersihkan tubuhnya dan segera shalat dhuha.
Ia lalu berangkat ke sekolah dengan sumringahnya yang entah kenapa. Seorang teman satu asrama memperhatikannya. Oh, sesederhana itu untuk bahagia. Lalu kenapa masih butuh validasi manusia?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar