Aku tak begitu mengenalnya. Ia mungkin sosok pendiam, atau sebaliknya. Atau pendiam sekaligus juga cerewet pada orang yang berbeda. Kawan-kawan sering menyebut laki-laki di hadapanku ini sangat anti wanita. Dingin, dan tak ada satu pun kontak perempuan di whatsappnya. Kalaupun ada, ya itu hanya aku. Itulah kenapa, seringkali mereka bertanya tentang hubunganku dengan pria aneh ini.
Bukan hanya kawan sejawat, adiknya sendiri juga berkata hal serupa. Tidak ada kontak perempuan di whatsappnya kecuali aku. Mungkin maksudnya selain ia dan ibunya. Tapi ah, mana aku peduli.
Sepanjang perjalanan aku hanya diam, sesekali menjawab pertanyaan. Ia tak begitu pendiam, tapi perjalanan menjadi amat panjang. Kupikir hanya perasaanku saja karena canggung, ternyata memang ia membawaku jauh dari titik pertemuan kami. Aku hanya diam, menunggunya memarkirkan sepeda motornya. Tapi kami malah berbelok masuk ke pekarangan suatu masjid. Aku ingat kami belum shalat ashar. Lama sekali aku menunggunya, ternyata.
Setelah semuanya selesai, kami melanjutkan perjalanan tapi kedai kopi (kafe) baru yang ia janjikan masih belum juga kelihatan. Aku semakin tak sabar karena kali ini kami sudah keluar Jakarta dan masuk Kota Tangerang. Kulihat-lihat daerah yang kami masuki ini tidak jauh dari pesantrenku, tempat yang baru saja kukunjungi. Kenapa dia tidak bilang saja bahwa kafenya dekat sini? kan aku tidak perlu jauh-jauh putar balik ke Jakarta dan menunggu lama. Tapi, ah, takdir memang senang sekali bercanda.
Kami berputar-putar, tersasar. Ia lalu membuka ponselnya membuka aplikas peta penunjuk jalan. Aku memperhatikannya kebingungan. Aku lebih bingung lagi karena ia ternyata bukan membawa kami ke kafe yang pernah ia sebutkan. Sampai pada suatu kedai, sepeda motornya ia parkirkan.
"KOPI JANJI JIWA"
Loh, ini dekat sekali dengan pesantrenku. Batinku. Tapi aku tidak mengatakannya. Aku membiarkan semua berjalan seperti apa adanya saja.
Kami lalu memesan dua kopi yang berbeda, aku tertarik Avocado Coffee yang entah apa nama aslinya. Setelah membuat pesanan, kami mencari tempat yang nyaman untuk bertukar pikiran, atau hanya sekedar berbincang. Ia memilih teras dan segera kuiyakan. Kudapati semburat senja kekuningan. Menampar wajahku yang kaku menunggu lelaki bermata bulat ini memulai perbincangan. Sampai pesanan kami datang, ia membukanya dengan basa-basi membahas rasa kopi.
Semakin sore, obrolan kami sudah ke sana kemari. Langit menyajikan warna merah jingga, dan hamburan cahaya oranye di sekitarnya. Laki-laki di hadapanku ini semakin semangat bercerita. Aku senang ia menumpahkan kegundahannya padaku, meski aku tak tahu apakah aku satu-satunya, atau hanya salah satunya. Hehe, aku tidak baper, ini hanya pemanis saja.
Lihatlah, di tengah keluh kesahnya, aku malah melamun menikmati suasana.
Ada 3 elemen yang aku suka.
Aku suka senja,
Aku suka kopi,
Dan aku suka kamu.
Lalu hari ini, Semesta menyajikan semuanya di hadapanku.
Ia membuatku menghabiskan senja, dengan secagkir kopi bersama kamu.
Sambil menulis puisi itu, kulukis juga semburat senja dan secangkir kopi dalam buku harianku. Hanya dua elemen itu. Karena wajahnya, aku sudah hafal sekali. Aku melukisnya dalam ingatanku sejak pertama kali kami bertemu. Ia sahabat baikku.
***
Pertemuan selesai meski obrolan kami sebenarnya masih belum usai. Kopiku tersisa banyak, aku tak menyangka akan sepahit ini. Untunglah, teman ngopiku tidak ikut menceritakan hal-hal pahit dan aku masih bisa menikmatinya dengan senyum (yang dipaksakan) manis.
Kami beranjak dari kedai kecil itu. Dia mengantarku ke stasiun terdekat. Masih kunikmati langit yang tak lagi biru. Ia lalu menjelaskan alasan kenapa membawaku ke kedai barusan, bukan kafe yang pernah ia janjikan. Aku menerima alasannya. Ia memang anak baik.
Hampir maghrib ketika kami sampai di stasiun. Ia langsung pamit pulang. Setelah kupastikan punggungnya menghilang, sisa kopi yang masih lebih dari setengahnya itu lalu kubuang. Pahiittt. Itu akan merusak moodku sampai malam.
Aku check in dan mengeluarkan ponsel menelpon seseorang. Ia yang berkeliling Jakarta sejak pagi tadi. Aku memintanya menunggu di stasiun Gr*gol. Hanya melewati dua stasiun dari tempatku sekarang berdiri.
Setelah sampai, aku melihatnya berdiri bersandar. Mungkin ia kelelahan. Kuhampiri ia yang segera mengulurkan tangan. Kutolak. "Aku punya wudhu," dalihku.
Adzan maghrib berkumandang lalu kami berjalan mencari masjid sambil berbincang ringan. Ia begitu santai, tapi aku, begitu kentara menampakkan rasa tidak nyaman.
Laki-laki yang baru saja menyelesaikan shalatnya ini, sebenarnya adalah sahabat si mata bulat. Aku tak memberi tahunya bahwa orang yang barusan kutemui, yang menemaniku minum kopi, adalah sahabatnya sendiri. Aku juga tak mengabarkan si mata bulat bahwa setelah ini, dengan sahabatnyalah aku membuat janji. Kupikir, itu sungguh tidak penting. Mereka hanya akan membahas hari ini suatu saat nanti.
Seusai shalat ia memesan taxi online dengan tujuan restoran ayam yang itu berati aku harus makan. Aduh, aku tak bisa menolak tapi aku juga masih kenyang. Lalu kami hanya berbincag sambil kunikmati kulit ayamku. Tak kuhabiskan.
"Kenapa nggak bilang kalau nggak mau makan?" tanyanya.
"Hehe," sambil berlalu ke westafel dan mencuci tangan, aku hanya menjawabnya cengengesan.
Tak ingin berlama-lama, aku menagih sesuatu, barangku yang ia pinjam. Tapi ia lagi-lagi beralasan. Entah benar atau tidak. Tapi, kalau barangnya memang tidak ada, bukankah ia bisa memberitahuku dari awal saja? Lalu aku merasa terjebak.
Aku lalu pulang dengan perasaan geram. Ia menangkap ketidaknyamanan sejak awal petemuan. Di jalan, di masjid, di taxi, di restoran, sampai di jalan pulang. Biarlah, biar dia sadar bahwa ia memang menakutkan.
Seingatku, itu adalah terakhir aku sengaja menemuinya. Sampai hari ini. Tidak ada pertemuan lagi. Tidak ada yang disengaja. Ia menjalani hidupnya sendiri. Aku pun juga begitu.