Oleh: Galuh Za
Awan hitam bergerumul di puncak
gunung salak di hadapan Wisnu. Bertumpuk-tumpuk. Menutup sebagian awak gunung
itu. Tak jauh dari sana, sinar matahari menelusup malu-malu. Seperti ingin
memberi kabar bagi para perindu, tentang lengkung warna-warni yang akan muncul
sebentar lagi.
Ini
adalah musim penghujan. Kabut menjadi lebih tebal dari biasanya.
Mengetuk-ngetuk jendela. Memaksa masuk lewat celah-celahnya. Dingin.
Wisnu Al-Badru,
laki-laki berusia dua puluh tujuh sedang harap-harap cemas di ruang tamu. Duduk
manis menunggu tuan rumah dengan tatapan kaku. Ia sedang berada di rumah
Karina, gadis yang siang ini akan dikhitbahnya. Ayah Karina sedang berada di
halaman belakang saat Wisnu datang. Dan ibu sedang sibuk menyiapkan sesuguhan.
Wisnu
datang sendiri hari ini. Karena ia berfikir ini hanya pra saja. Sampai
ia tahu kapan waktu yang benar-benar tepat untuk mempertemukan orang tua
mereka.
“silahkan,
nak” ibu Karina datang dengan nampan berisi minuman segar dan beberapa toples
kue kering.
“bapak?”
Tanya Wisnu.
“bapak
masih bersih-bersih. Ganti baju dulu.” jawab ibu sambil menuangkan minuman
segar ke gelas Wisnu.
“Ehem…”
Bapak datang dengan pakaian rapih. Membuat ibu dan Wisnu
seketika berdiri.
“Assalamu’alaikum,
bapak.” Sapa Wisnu seraya mencium tangan bapak.
“Wa’alaikumsalam.
Bagaimana? Sehat?”
“Alhamdulillah
pak, sehat.”
Tiba-tiba
saja, oksigen di rumah Karina terasa hampir habis. Wisnu tak tahu harus
memulainya dari mana. Ia jadi kesulitan bicara. Bapak juga ikut diam. Mungkin
tahu perihal apa sebenarnya yang ingin Wisnu bicarakan. Memberi kesempatan
untuk bujang ini memulai.
“sudah
berapa lama kalian kenal?” akhirnya, setelah hening beberapa saat, pertanyaan
dari mulut bapak pun melesat.
“enam
bulan, pak.” Jawab Wisnu sambil terus menunduk.
“lalu
kamu datang untuk melamar anak bapak?” tanpa basa-basi. Habislah Wisnu yang
sekarang sedang berkeringat dingin mendengar pertanyaan itu. Seharusnya ia
bersyukur karena tak harus repot mencari kata pembuka untuk acara lamaran ini.
Pertanyaan bapak benar-benar membantunya. Tapi, tetap saja, keringat itu sulit
sekali dihentikannya.
“benar,
pak.”
“punya
apa kamu sampai berani melamar anak bapak?”
Wisnu benar-benar bingung kali ini. Ia hanya ingin
menikah. Menyempurnakan separuh agamanya. Ingin beribadah pada-Nya. Tapi ‘punya
apa?’ benar-benar pertanyaan yang ia sendiri tak tahu harus dengan apa
menjawabnya.
“saya
belum punya apa-apa, pak. Saya hanya punya keyakinan bahwa Allah akan
mencukupkan mereka yang menikah untuk beribadah pada-Nya.”
Mata bapak melirik tajam.
“tapi
bapak tenang saja. Saya sudah punya pekerjaan dan sudah menyiapkan biaya untuk
pernikahan.” Kata Wisnu tanpa ragu. Mata bapak masih menyorot tajam, tapi
bibirnya hanya diam.
“maaf
nak, sebelumnya. Kalau boleh ibu tahu, berapa mahar yang sudah kamu siapkan
untuk menikahi Karina?” kali ini ibu yang memecah keheningan.
“saya
sudah menyiapkan uang tunai sebesar 15 juta dan emas 10 gram sebagai mahar.”
Jawab Wisnu singkat dan apa adanya.
“tapi
nak, kami sudah mematok mahar untuk anak kami, minimal 150 juta.” Jawab
ibu lagi.
“hem…”
Wisnu berfikir keras.
Sudah
hampir jam 12 siang. Mungkin sebentar lagi adzan dzuhur akan terdengar. Ini
musim penghujan, tapi ruang tamu di rumah Karina kali ini benar-benar membuat
Wisnu kepanasan. Tanpa mereka sadari, Karina mendengar semua yang mereka
bicarakan. Ibu hanya tahu Karina sedang tidur siang. Padahal sejak kedatangan
Wisnu, ia sudah siap-siap menemuinya di ruang tamu.
Allahu Akbar… Allahu Akbar…
Akhirnya
adzan dzuhur memecah keheningan yang mencekam. Memberi alasan untuk Wisnu
keluar.
“maaf
pak, shalat dzuhur dulu.” Kata Wisnu. Bapak hanya mengangguk.
JJJ
Jama’ah
shalat dzuhur sudah bubar, tapi Wisnu masih khusyuk berdoa dengan sabar. Bapak
dan ibu sudah kembali berkumpul di ruang tamu. Menunggu si bujang yang belum
juga datang.
“Assalamu’alaikum…”
akhirnya, suara Wisnu terdengar juga. Ibu dan bapak sama-sama menjawab tanpa
suara. Wisnu langsung duduk tanpa di suruh. Dari dalam kamar, Karina sudah siap
menguping di balik pintu.
“jadi
bagaimana?” Tanya bapak. Membuka kembali percakapan yang tertunda.
“saya
hanya ingin menyempurnakan separuh agama.” Jawab Wisnu lembut.
“kalau
begitu, siapkan uang 150 juta, atau tidak usah menikah dengan anak bapak.” Kali
ini bapak menanggapi dengan serius.
“apa
memang harus seperti itu?” Tanya Wisnu meyakinkan.
“ya
begitulah. Kamu tahu kan, anak bapak sebentar lagi selesai kuliah. Dia akan
punya gelar di belakang namanya. Jadi, tidak boleh ada yang sembarangan melamar
anak bapak hanya dengan mahar yang seadanya.” Jawab bapak dengan nada yang sedikit
meninggi.
“kalau
begitu, bapak mempersulit kami untuk beribadah?” tanggapan Wisnu benar-benar
membuat wajah bapak memerah.
“bukankah
sebaik-baiknya wanita adalah yang paling ringan maharnya? Dan bukankah
seharusnya bapak memudahkan kami untuk saling menyempurnakan agama?” dengan
tetap santun Wisnu melanjutkan bicara.
“KAMU
MENCERAMAHI BAPAK!?” kali ini bapak benar-benar marah. Dilihatnya Wisnu yang
masih memasang wajah tak berdosa.
“tidak
seperti itu, hanya saja…”
“bapak
tidak ingin mendengar apa-apa lagi, sekarang, kalau kamu tidak bisa menyiapkan
mahar sebesar nominal yang kami minta, lebih baik cari wanita lain saja.” Kata bapak
memotong kalimat Wisnu.
Wisnu
benar-benar tak menyangka bapak akan sekeras itu. Dan dengan tetap menjunjung
tinggi sopan santun, Wisnu angkat bicara,
“baiklah,
kalau memang itu mau bapak, saya akan meminta idzin; idzinkan saya
berzina dengan anak bapak.”
“SUDAH
GILA, KAMU!?” jawaban Wisnu benar-benar merubah bapak menjadi serigala.
Matanya merah seperti siap menerkam Wisnu –daging segar- di hadapannya.
“bapak
tenang dulu.” Kata Wisnu. Ibu yang sejak tadi hanya mendengarkan, kali ini ikut
menenangkan.
“bapak
tahu, kenapa saya meminta idzin untuk berzina dengan anak bapak?”
“wong
edan” bapak hanya menggerutu tak menjawab.
“saya
melihat betapa wanita-wanita yang hamil sebelum menikah di luar sana,
begitu mudah saat akan melangsungkan pernikahannya. Orang-orang tua mereka
sudah tak lagi meributkan maharnya berapa, mereka hanya butuh seseorang yang
akan bertanggung jawab atas kehamilan anaknya. Mereka hanya memikirkan nama
baik keluarga. Sampai bahkan, beberapa keluarga wanita ada yang rela membayar
orang lain agar mau menikahi anaknya.” Tutur wisnu. Dengan mata yang masih
merah, bapak hanya melirik sekilas sambil menunggu Wisnu melanjutkan bicara.
“sekarang,
bukankah lebih baik saya berzina dengan anak bapak, agar bapak bisa memudahkan
kami untuk menikah?”
“Dasar
orang gila! Kamu fikir hanya kamu satu-satunya lelaki yang mau dengan anak
saya? Kamu fikir tidak ada yang lebih mampu dari kamu yang mau menikahi anak
saya? Toh anak saya cantik, kamu bukan satu-satunya yang mau menikahinya!”
jawab bapak terdengar menggebu.
“baik.
Anggaplah saya bisa memenuhi permintaan bapak. Saya siapkan mahar 150 juta
dengan tambahan mas kawin dan tempat tinggal yang layak beserta isinya. Tapi
sekarang saya ingin bertanya, apakah anak bapak adalah wanita shalihah yang tak
pernah mengakhirkan shalat wajibnya? Apakah anak bapak adalah wanita yang tak
pernah absen puasa sunnahnya? Apakah anak bapak juga adalah yang selalu
melaksanakan tahajjud serta dhuhanya? Lalu apa pernah bapak mendengarnya
mengaji? Sudah benarkah bacaan Al-Qur’annya?”
Kali ini
bapak dan ibu hanya bisu. Mengingat-ingat seperti apa sebenarnya wanita yang
selama ini mereka panggil anak itu. Mengingat tentang anaknya yang
selalu bangun kesiangan, yang shalat wajibnya selalu diakhirkan, yang puasa
sunnahnya dilupakan, yang bahkan tak pernah mendengarnya mengaji sama sekali.
Benar. Wisnu mengajukan pertanyaan yang tepat.
“Jika
memang jawaban atas semua pertanyaan saya adalah tidak, maka pantaskah
anak bapak mendapat mahar yang begitu besar dari saya? Dan masih adakah yang
akan menyanggupi mahar mewah untuk anak bapak yang kurang perihal
agama?” Tanya Wisnu lagi.
Ibu
mengajak bapak masuk untuk berdiskusi berdua. Membujuk bapak untuk tidak
menolak lamaran pria yang saat ini sedang duduk di ruang tamu rumahnya. Ibu
menjelaskan keadaan Karina pada bapak. Tentang jawaban dari semua pertanyaan
Wisnu yang ternyata memang tidak. Anaknya bukan wanita yang faham sekali
perihal agama. Anaknya jauh dari kata shalihah. Tak pandai memasak,
bahkan tak pernah sekali pun mengerjakan pekerjaan rumah. Beruntung sekali
andai pria ini memang benar tulus ingin menjadi imamnya.
JJJ
Menit
demi menit berlalu. Bapak dan ibu kembali menemui Wisnu. Dengan kepala yang
sudah dingin dan emosi yang tak lagi menggebu, bapak tersenyum seraya
melontarkan pertanyaan baru.
“Jadi kapan kau akan
datang dengan orang tuamu?”
Wisnu tersenyum lebar mendengar
pertanyaan itu.
JJJ
Sampai akad dilangsungkan, keluarga
Karina baru benar-benar faham. Bahwa Wisnu, ternyata adalah lelaki
berpendidikan dan mapan. Gelar S2 nya sudah sejak usia 22 ia dapatkan. Ia
benar-benar menyiapkan tempat tinggal yang layak beserta isinya. Tiga belas
tahun menempuh pendidikan di Pondok Pesantren membuat ia tak lagi diragukan
perihal agama. Tak hanya itu, ia juga lahir dari keluarga yang masyhur budi
pekertinya. Soal mahar yang ia siapkan, memang itulah yang direncanakan. Ia tak
ingin menawarkan kemewahan. Pun ia ingin memberi pelajaran bagi siapa pun,
bahwa salah satu sebab terbukanya pintu perzinahan adalah keluarga
yang mempersulit pernikahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar