Nabeela Azeez.
Aku baru saja keluar
kelas saat pamanku datang untuk menjemput. Ini bukan hari libur, tapi aku
dipaksa pulang tanpa penjelasan. Biasanya, prosesi pulang paksa dan tiba-tiba
seperti ini adalah kabar terburuk dari segala kabar yang ada. Biasanya,
penjemputan secara tiba-tiba mengindikasikan adanya air mata. Fikiranku
melayang-layang entah ke mana.
Ku lihat paman
sedang berdiskusi dengan beberapa orang di kantor yang biasa memberi idzin
santri untuk pulang atau sekedar keluar sebentar. Serius sekali. Sepertinya
memang ini bukan penjemputan biasa. Aku mulai menerka-nerka apa yang terjadi di
rumah. Kenapa bukan ayah yang menjemput. Kenapa harus paman?
Aku mendekati
orang-orang yang sedang berbincang itu. Berharap pembicaraannya bisa sampai ke
telinga. Sedikit banyak aku menangkap apa yang paman katakan. Ayah sakit, itu
saja. Setidaknya aku tahu, ini tidak seburuk bayanganku.
Setelah mendapat
idzin pulang beberapa hari, aku segera berkemas ke asrama. Memasukkan apa saja
yang mungkin akan aku butuhkan selama di rumah. Padahal paman bilang tak perlu
membawa banyak barang. Tapi jajaran buku menggoda untuk ku bawa. Sudahlah,
paman menyerah. Tak ada waktu untuk berdebat, katanya.
Di perjalanan kami
tidak banyak bicara. Hanya sekedar Tanya jawab perihal ayah. Separah apa
sakitnya, dan lain sebagainya. Sisanya, kami seperti tidak punya alasan untuk
berbicara. Tak punya stok tanda Tanya, atau seonggok kata-kata.
Saat memasuki
daerah perumahan, aku merasa ada hal yang janggal. Banyak sekali bendera kuning
di sisi jalan. Yang ternyata bendera itu sampai juga ke pekarangan. Aku
menangis sejadinya. Rumahku terlihat ramai oleh orang yang bertakziah. Aku tak
ingin melihatnya. Aku memeluk pamanku erat. Dunia menjadi gelap dan udara
begitu pengap. Aku kesulitan bernafas, dan akhirnya, pingsan.
ꙮꙮꙮ
Yang pertama aku
lihat saat membuka mata adalah langit-langit kamar yang sudah dihias sedemikian
rupa. Entah kapan dan siapa yang menghiasnya. Aku tak berfikir sampai ke sana.
Yang ku fikirkan adalah ayah.
Tapi kemudian,
sebuah tangan kasar mengusap pipiku pelan. Itu ayah! Aku menjadi ragu akan
kesadaranku. Ku fikir, aku masih pingsan dan bertemu ayah di alam bawah sadar.
Ternyata memang ayah.
Aku memeluknya. Bertanya tentang apa saja yang ada di kepala. Ayah
memberi isyarat saja pada pakaian yang kini ku kenakan. Benar, aku tak sadar
sudah berganti pakaian. Barangkali diganti sewaktu aku pingsan.
Beberapa menit
kemudian kamarku dipenuhi orang-orang. Banyak sekali. Sesak. Tapi aku masih
bisa bernafas. Aku ditarik pelan menuju ruang tamu. Tidak ada proses
pengkafanan. Tidak ada yang meninggal. Orang-orang datang bukan untuk
bertakziah. Aku sudah tahu, sekarang. Paman berbohong.
Aku seperti akan
pingsan kali ke dua. Potongan teka-teki sepanjang perjalanan pulang sampai aku
di sini, berdiri di hadapan banyak orang, akhirnya terjawab. Aku melihat
mempelai pria di tengah-tengah permadani ruang tamu rumahku. Bajuku diganti
dengan kebaya pengantin sewaktu pingsanku. Aku tahu. Ini acara pernikahan.
Dan aku
benar—benar tak tahu andai laki-laki itu tak memutar kepalanya menatapku.
Laki-laki itu; KAMU?