About Me

Foto saya
Bogor, Jawa Barat, Indonesia
Introvert.

Sabtu, 21 Maret 2020

Wedding 3



Nabeela Azeez.

            Aku baru saja keluar kelas saat pamanku datang untuk menjemput. Ini bukan hari libur, tapi aku dipaksa pulang tanpa penjelasan. Biasanya, prosesi pulang paksa dan tiba-tiba seperti ini adalah kabar terburuk dari segala kabar yang ada. Biasanya, penjemputan secara tiba-tiba mengindikasikan adanya air mata. Fikiranku melayang-layang entah ke mana.
            Ku lihat paman sedang berdiskusi dengan beberapa orang di kantor yang biasa memberi idzin santri untuk pulang atau sekedar keluar sebentar. Serius sekali. Sepertinya memang ini bukan penjemputan biasa. Aku mulai menerka-nerka apa yang terjadi di rumah. Kenapa bukan ayah yang menjemput. Kenapa harus paman?
            Aku mendekati orang-orang yang sedang berbincang itu. Berharap pembicaraannya bisa sampai ke telinga. Sedikit banyak aku menangkap apa yang paman katakan. Ayah sakit, itu saja. Setidaknya aku tahu, ini tidak seburuk bayanganku.
            Setelah mendapat idzin pulang beberapa hari, aku segera berkemas ke asrama. Memasukkan apa saja yang mungkin akan aku butuhkan selama di rumah. Padahal paman bilang tak perlu membawa banyak barang. Tapi jajaran buku menggoda untuk ku bawa. Sudahlah, paman menyerah. Tak ada waktu untuk berdebat, katanya.
            Di perjalanan kami tidak banyak bicara. Hanya sekedar Tanya jawab perihal ayah. Separah apa sakitnya, dan lain sebagainya. Sisanya, kami seperti tidak punya alasan untuk berbicara. Tak punya stok tanda Tanya, atau seonggok kata-kata.
            Saat memasuki daerah perumahan, aku merasa ada hal yang janggal. Banyak sekali bendera kuning di sisi jalan. Yang ternyata bendera itu sampai juga ke pekarangan. Aku menangis sejadinya. Rumahku terlihat ramai oleh orang yang bertakziah. Aku tak ingin melihatnya. Aku memeluk pamanku erat. Dunia menjadi gelap dan udara begitu pengap. Aku kesulitan bernafas, dan akhirnya, pingsan.
ꙮꙮꙮ
            Yang pertama aku lihat saat membuka mata adalah langit-langit kamar yang sudah dihias sedemikian rupa. Entah kapan dan siapa yang menghiasnya. Aku tak berfikir sampai ke sana. Yang ku fikirkan adalah ayah.
            Tapi kemudian, sebuah tangan kasar mengusap pipiku pelan. Itu ayah! Aku menjadi ragu akan kesadaranku. Ku fikir, aku masih pingsan dan bertemu ayah di alam bawah sadar. Ternyata memang ayah.
Aku memeluknya. Bertanya tentang apa saja yang ada di kepala. Ayah memberi isyarat saja pada pakaian yang kini ku kenakan. Benar, aku tak sadar sudah berganti pakaian. Barangkali diganti sewaktu aku pingsan.
            Beberapa menit kemudian kamarku dipenuhi orang-orang. Banyak sekali. Sesak. Tapi aku masih bisa bernafas. Aku ditarik pelan menuju ruang tamu. Tidak ada proses pengkafanan. Tidak ada yang meninggal. Orang-orang datang bukan untuk bertakziah. Aku sudah tahu, sekarang. Paman berbohong.
            Aku seperti akan pingsan kali ke dua. Potongan teka-teki sepanjang perjalanan pulang sampai aku di sini, berdiri di hadapan banyak orang, akhirnya terjawab. Aku melihat mempelai pria di tengah-tengah permadani ruang tamu rumahku. Bajuku diganti dengan kebaya pengantin sewaktu pingsanku. Aku tahu. Ini acara pernikahan.
            Dan aku benar—benar tak tahu andai laki-laki itu tak memutar kepalanya menatapku.
            Laki-laki itu; KAMU?

Wedding 2



Mahadika Bagas Karliawan.

Kau jadi lebih sering menghubungiku sejak tiga bulan lalu. Bertanya ini dan itu. Hal kecil sekalipun, tak luput dari penilaianku. Kau begitu butuh berdiskusi denganku. Aku tahu kau begitu disibukkan dengan banyak hal. Pasti lelah jadi kamu akhir-akhir ini.
Hari ini kita harus fitting baju. Bahagia memancar dari wajahmu. Dan rasanya, itu menular sampai ke rongga dadaku. Aku senang melihatmu senyum selebar itu. Aku senang berada di dekatmu. Kau terus saja menggodaku. Mengatakan aku akan menjadi pengantin termanis, esok. Tapi aku sama sekali tak berselera membalas gurauanmu. Aku disibukkan oleh banyak hal dalam fikiran. Maafkan aku.
Ku dengar kabar tentang kematian tetanggamu. Sungguh, aku berfikir tentang acara esok, yang harus dihias oleh banyak bendera kuning di pekarangan rumahmu.
Kita berdua pulang dengan perasaan yang tak terdefinisikan. Tujuh tahun penantian akhirnya berujung pada kebahagiaan tak tergambarkan. Sepanjang perjalanan pulang, masing-masing kita tenggelam dalam fikiran yang tak terjelaskan. Aku tahu, sesekali kau melirikku. Lalu mengeryitkan dahi setelah itu. Aku mulai menebak-nebak apa sebenarnya yang ada dalam dadamu.
ꙮꙮꙮ
Aku adalah yang pernah berjanji untuk menjadi yang paling setia mendampingimu. Aku adalah yang pernah berjanji untuk menjadi yang yang paling keras membahagiakanmu. Tapi aku sendiri yang merusak janji itu. Menghancurkan bahagiamu, dan rencana indah kita dulu.
Hari itu aku melamarmu. Tanpa memberitahumu terlebih dahulu, aku datang menghadap ayahmu. Aku yang sangat optimis begitu yakin akan diterima sebagai menantu. Hari itu kau ikut duduk di ruang tamu menemuiku. Menyuguhkan ini itu selayaknya aku benar-benar tamu dari jauh.
Kau duduk di sebelah ayahmu dengan tanpa senyum sedikitpun di wajahmu. Aku tak faham isyarat apa itu. Tapi proses melamar tak ku hentikan. Kata demi kata ku rampungkan. Niat ini murni dari dalam hati. Ingin menjadikanmu seorang istri.
Dan aku yakin kau sudah tahu apa yang sebentar lagi akan terjadi. Dari raut wajahmu, kau begitu risau, ingin mengusirku pergi andai rasa malu tak kau miliki. Aku menjadi sangat faham setelah ayahmu memberi respon dari apa yang baru saja aku ungkapkan. Di luar dugaan, beliau memintaku untuk menikahi anak pertamanya; kakakmu. Karena tentang tujuh tahun perjalanan kita sampai ke hari ini ayah memang tidak tahu.
Ayah memberi foto kakakmu padaku, berharap aku akan tertarik pada wanita yang dua tahun lebih tua darimu itu. Aku benar-benar tak tahu bahwa wanita itu, adalah teman sekelasku di Sekolah Dasar dulu. Sungguh.
Aku dihunjam kalimat ayah dari segala arah. Hari itu jadi terasa lebih panas dari biasanya. Aku gerah. Batinku mengutuk, aku merasa bersalah.
Kau yang mematung tanpa suara, akhirnya juga angkat bicara. Katamu, kebahagiaan kakak lebih dari segalanya. Lagipula, katamu, kakakmu sudah menyimpan kagum padaku sejak lama. Hanya dia tak pernah tahu tentang kita.
Aku kekeuh dengan pendirianku untuk memperistrimu. Dan kau, kekeuh ingin memperjuangkan kebahagiaan kakakmu. Akhirnya kita bertemu pada titik di mana aku harus mewujudkan apa yang kau perjuangkan.
ꙮꙮꙮ
Hari ini, tepat hari di mana aku akan menggenggam tangan ayahmu.  Degup jantungku, seperti bisa didengar dari jauh. Sementara aku sibuk dengan segala kegugupanku, barangkali kau juga disibukkan dengan urusan ini itu. Memeriksa banyak hal, memastikan semuanya baik-baik saja.
Kau masih sibuk dengan salah satu personil Wedding Organizer saat aku datang. Aku melihatmu di lantai dua rumahmu. Tanda kedatangan calon mempelai di bunyikan. Jantungku berdegup kencang. Kepalaku pusing bukan kepalang. senyumku ku paksa mengembang demi menghindari banyak pertanyaan.
Aku melihatmu yang menatap ayah dari kejauhan. Prosesi demi prosesi terlaksana. Hingga tiba saatnya aku mengucap janji setia.
Ayah mulai merampungkan kalimatnya saat air matamu tumpah tak terkendali. Aku melihatmu bangkit dan berlari. Kau terlihat tak peduli meski tatapan orang-orang menghunjam diri.
Kau meninggalkan acara sebelum sempat mendengar janji setia dari mulutku. Tak sanggup. Ternyata kau tak sekuat itu. Padahal kemarin, kau bilang akan bahagia dengan pernikahanku. Hari ini kau malah merusak segala perasaan yang ada dalam dadaku. Tak bisakah kau sembunyikan ketidakrelaan itu?
ꙮꙮꙮ
Kau tak lagi kembali sejak hari itu. Pasti menyakitkan sekali melihatku menjadi menantu ayahmu sedang bukan aku yang mendampingimu.

Wedding 1



Qibthiyah Azeez

Aku disibukkan dengan banyak pekerjaan sejak tiga bulan lalu. Mengurus ini itu yang sebenarnya tak harus diurus oleh aku. Membooking gedung, memesan gathering, MUA terbaik, mencari souvenir, seragam untuk keluarga, dan lain sebagainya. Ini acara spesial. Sekali seumur hidup. Memang sudah seharusnya ku siapkan dengan matang.
Di tengah-tengah kesibukanku, sesekali ku sempatkan waktu untuk menghubungimu. Sekedar berdiskusi tentang ini dan itu. Hal kecil sekalipun kadang tetap ku tanyai pendapatmu. Andai bisa ku tanyai juga kakakku, tentu akan ku tanyai ia sebelum kamu.
Bahagia sekali rasanya meski lelah menggerogoti jiwa hingga ke rongga dada. Hari ini, aku dan kamu harus fitting baju. Terlihat cahaya bahagia pada senyum di wajahmu. Aku tak kalah senang darimu. Sepanjang waktu aku terus saja menggodamu, mengatakan kau akan menjadi pengantin termanis, esok, dan yang digoda hanya tersenyum malu, enggan membalas gurauanku. Baru saja ku dengar kabar, tetangga sebelah rumahku meninggal dunia, pekarangan jadi ramai bendera kuning dibuatnya. Esok, entah acara akan berjalan seperti apa.
Kita berdua pulang dengan perasaan yang tak terdefinisikan. Tujuh tahun penantian akhirnya berujung pada kebahagiaan tak tergambarkan. Sepanjang perjalanan pulang, masing-masing kita tenggelam dalam fikiran yang tak terjelaskan. Sesekali ku lirik wajahmu. Aku tak kenal ekspresi itu. Entah perasaan apa yang ada dalam dadamu.
ꙮꙮꙮ
Hari ini, tepat hari di mana kau akan menggenggam tangan ayahku. Dan aku seperti bisa mendengar degup jantungmu dari jauh. Sementara kau sibuk dengan segala kegugupanmu, aku juga disibukkan dengan urusan ini itu. Memeriksa banyak hal, memastikan semuanya baik-baik saja.
Aku masih sibuk dengan salah satu personil Wedding Organizer saat kau datang. Tanda kedatangan calon mempelai di bunyikan. Jantungku berdegup kencang. Kepalaku pusing bukan kepalang. Aku melihatmu dari lantai dua rumahku. Jelas sekali senyummu kau paksa mengembang demi menghindari banyak pertanyaan.
Sekarang, di sini aku duduk manis menatap ayah yang matanya mulai berkaca-kaca. Prosesi demi prosesi terlaksana. Hingga tiba saatnya kau mengucap janji setia.
Ayah mulai merampungkan kalimatnya saat air mataku tumpah tak terkendali. Aku bangkit dan berlari. Tak peduli tatapan orang-orang menghunjam diri.
Aku meninggalkanmu sebelum sempat mendengar janji setia itu. Tak sanggup. Ternyata aku tak sekuat itu. Saat seharusnya aku bahagia dengan pernikahanmu, hari ini aku malah merusak perasaan yang ada dalam dadamu. Bukankah seharusnya ku sembunyikan ketidakrelaan itu?
ꙮꙮꙮ
Aku tak lagi kembali sejak hari itu. Menyakitkan memang melihat kau menjadi menantu ayahku sedang bukan aku yang mendampingimu.
Mempelai wanita itu; KAKAK-ku.

Throwback 2



Aimmy, 25 November 2021

            Hari ini, seharusnya kau datang setelah dua tahun lalu berjanji akan meminangku seusai pendidikan strata satumu. Hari ini, seharusnya aku sedang harap-harap cemas menunggu kedatanganmu. Menyiapkan senyum dan pelukan hangat untuk menyambutmu. Tapi tidak. satu tahun lalu kau langgar janji itu. Mendatangi ayahku lebih cepat dari janji yang kau ucapkan dulu. Kau datang dengan janji baru. Tentang masa depan yang tak akan menyulitkan.
            Aku masih ingat hari itu. Saat kau bilang, kau tak membuat pilihan. Kau tidak memilih untuk merelakan. Katamu, pendidikan masih bisa kau lanjutkan di atas pernikahan. Kau mengejutkanku.
            Aku, kau bawa ke kota tempat tinggalmu. Menyaksikan setiap gerak gerikmu. Menatap wajah lelah di setiap sebelum tidurmu.  Menyiapkan pakaian untuk kuliah, juga seragam kerjamu. Mendengarkan semua ceritamu. Tentang kau yang harus turun dari satu bus ke bus yang lain. Dari satu angkot ke angkot yang lain. Dan sesekali berjalan kaki. Senyummu mengembang meski terik menyengat di tengah hari. Katamu, orang-orang tak akan peduli. Atau bahkan kau yang tak peduli andai dianggap tak waras lagi. Membayangkan, betapa behagianya kau kini, mencari nafkah demi seorang istri.
            Hari ini, kau sudah tak perlu ke kampus lagi. Juga perusahaan memberimu beberapa hari cuti. Hari ini, kau bukan hanya suami dari seorang istri, tapi juga ayah dari bayi yang ku timang kini.
            Sudah dua bulan sejak proses persalinan, katamu, kita butuh sekedar jalan-jalan. Segala keperluan ku siapkan, kebutuhan si kecil sudah lengkap ku pastikan. Kau yang membawa tas besar itu di tangan kekarmu, dan tetap menggandengku di tanganmu yang lain.
            Kita keluar bersama. Langkahku terhenti dan mulutku nyaris menganga. Menyaksikan siapa yang berdiri di dekat gerbang rumah kita. Dia sama terkejutnya.
            Lelaki itu; KAMU?

Throwback 1




Rustandi, 25 November 2021.

            Hari ini, aku datang setelah dua tahun lalu berjanji akan meminangmu seusai pendidikan strata satuku. Dengan angkutan umum aku menuju rumahmu. Bukan tak punya kendaraan, bahkan hari ini, showroom bisa kubeli dengan uangku. Aku hanya ingin bernostalgia dengan jalan berliku di kota kecilmu. Tempat kita mengukir kisah, dulu.
            Aku turun dari satu bus ke bus yang lain. Dari satu angkot ke angkot yang lain. Sesekali berjalan kaki. Senyumku mengembang sepanjang perjalanan ini. Orang-orang mungkin tak peduli. Atau sebagian akan menganggapku tak waras lagi. Membayangkan betapa senyummu akan mengembang menyambutku datang. Pelukan hangat akan ku dapatkan. Untuk kemudian berbincang tentang rencana pernikahan. Aku sudah siap meminang.
            Senyum itu masih mengembang sampai kakiku memasuki gang kecil di desa tempatmu tinggal. Ku rogoh lagi saku jaket untuk memastikan, hadiah yang sudah ku siapkan, tak tertinggal atau terjatuh di jalan. Aku gugup setengah hidup. Menyiapkan kata apa yang harus ku ucapkan pada peretemuan ini, aku begitu sibuk. Aku sengaja tak mengabarimu. Aku ingin mengejutkanmu.
            Kakiku sudah memasuki gerbang rumahmu. Agak berbeda. Hari ini sepi sekali. Tetapi aku yakin kau ada di sini. Aku maju meski sedikit ragu. Langkahku terhenti. Kau berdiri membeku. Menatapku. Berhasil! Aku mengejutkanmu.
ꙮ ꙮ ꙮ
                Tidak! kau yang mengejutkanku.
            Bayi di dalam gendonganmu dan lelaki yang kau gandeng itu, cukup membuat aku lupa pada detak jantungku.
            Lelaki itu; AKU?

Mendung di Langit Al-Must




Awan hitam bergerumul di puncak gunung salak di hadapan kami. Bertumpuk-tumpuk. Menutup sebagian awak gunung itu. Tak jauh dari sana, sinar matahari menelusup malu-malu. Seperti ingin memberi kabar bagi para perindu, tentang lengkung warna-warni yang akan muncul sebentar lagi.
            Ini adalah musim penghujan. Kabut menjadi lebih tebal dari biasanya. Mengetuk-ngetuk jendela. Memaksa masuk lewat celah-celahnya. Dingin.
            Kami berada di lantai dua villa, -di balkon ruang serba guna yang sering disulap menjadi apa saja- saat pak Adam, salah seorang pekerja di sini memanaskan mobilnya. Seperti biasa, beliau pergi ke pasar membeli bahan makanan untuk kami. Begitu setiap hari.
            Dosen dan para mahasantri berlalu lalang. Keluar-masuk kelas, atau kantor silih berganti. Tak ada yang istimewa hari ini. Selain mahasantri bermata jeli yang harap-harap cemas menanti pelangi. Mendengarkan dosen yang terus bicara tanpa henti, sambil menatap kosong ke luar jendela. Berharap kabar bahagia datang menyapa.
            Sampai malam mulai matang dan kabar bahagia tak juga datang. Pelangi yang dinanti-nanti juga tak menepati janji. Seharusnya dia ada. Komposisi sudah begitu sempurna. Awan mendung, hujan rintik, dan sinar matahari yang menelusup masuk di antara rintik-rintik hujan, seharusnya cukup untuk membiaskan cahaya yang menabrak hujan, menjadi lengkung warna-warni setengah lingkaran. Tapi nyatanya tidak. Mahasantri bermata jeli kecewa.
•••
            Semuanya berlalu begitu cepat. Kemarin, pagi-pagi sekali kami masih melihat pak Adam memanaskan mobilnya. Dengan tampang lesu. Wajah yang tak tentu menampakkan ekspresi apa. Seperti biasa. Hanya kali ini lebih murung. Lalu sore ini, kami sudah melintasi pekuburannya.
            Kemarin, masih di hari yang sama saat pak Adam memanaskan mobilnya, beliau juga memberi isyarat pada dunia, bahwa itulah saat terakhir ia mengemudikannya.
            Tak terlihat sama sekali tanda-tanda kepergiannya. Ia lupa pamit pada keluarga. Atau barangkali sengaja. Memberi pelajaran kepada kami semua, bahwa kereta kencana, memang selalu datang tiba-tiba.




Banana's Journey: assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh...Sal...

Banana's Journey: assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh...

Sal...
: assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh... Salam kenal untuk semua warganet. Tujuh tahun mengabaikan bukan berarti begitu saja meng...

Best of...

Idzinkan Saya Berzina Dengan Anak Bapak

  Oleh: Galuh Za   Awan hitam bergerumul di puncak gunung salak di hadapan Wisnu. Bertumpuk-tumpuk. Menutup sebagian awak gunung itu. ...