Mahadika Bagas
Karliawan.
Kau jadi lebih sering menghubungiku sejak tiga
bulan lalu. Bertanya ini dan itu. Hal kecil sekalipun, tak luput dari
penilaianku. Kau begitu butuh berdiskusi denganku. Aku tahu kau begitu disibukkan
dengan banyak hal. Pasti lelah jadi kamu akhir-akhir ini.
Hari ini kita harus fitting baju. Bahagia
memancar dari wajahmu. Dan rasanya, itu menular sampai ke rongga dadaku. Aku
senang melihatmu senyum selebar itu. Aku senang berada di dekatmu. Kau terus
saja menggodaku. Mengatakan aku akan menjadi pengantin termanis, esok. Tapi aku
sama sekali tak berselera membalas gurauanmu. Aku disibukkan oleh banyak hal
dalam fikiran. Maafkan aku.
Ku dengar kabar tentang kematian tetanggamu.
Sungguh, aku berfikir tentang acara esok, yang harus dihias oleh banyak bendera
kuning di pekarangan rumahmu.
Kita berdua pulang dengan perasaan yang tak
terdefinisikan. Tujuh tahun penantian akhirnya berujung pada kebahagiaan tak
tergambarkan. Sepanjang perjalanan pulang, masing-masing kita tenggelam dalam
fikiran yang tak terjelaskan. Aku tahu, sesekali kau melirikku. Lalu
mengeryitkan dahi setelah itu. Aku mulai menebak-nebak apa sebenarnya yang ada
dalam dadamu.
ꙮꙮꙮ
Aku adalah yang pernah berjanji untuk menjadi
yang paling setia mendampingimu. Aku adalah yang pernah berjanji untuk menjadi
yang yang paling keras membahagiakanmu. Tapi aku sendiri yang merusak janji
itu. Menghancurkan bahagiamu, dan rencana indah kita dulu.
Hari itu aku melamarmu. Tanpa memberitahumu
terlebih dahulu, aku datang menghadap ayahmu. Aku yang sangat optimis begitu
yakin akan diterima sebagai menantu. Hari itu kau ikut duduk di ruang tamu
menemuiku. Menyuguhkan ini itu selayaknya aku benar-benar tamu dari jauh.
Kau duduk di sebelah ayahmu dengan tanpa senyum
sedikitpun di wajahmu. Aku tak faham isyarat apa itu. Tapi proses melamar tak
ku hentikan. Kata demi kata ku rampungkan. Niat ini murni dari dalam hati.
Ingin menjadikanmu seorang istri.
Dan aku yakin kau sudah tahu apa yang sebentar
lagi akan terjadi. Dari raut wajahmu, kau begitu risau, ingin mengusirku pergi
andai rasa malu tak kau miliki. Aku menjadi sangat faham setelah ayahmu memberi
respon dari apa yang baru saja aku ungkapkan. Di luar dugaan, beliau memintaku
untuk menikahi anak pertamanya; kakakmu. Karena tentang tujuh tahun perjalanan
kita sampai ke hari ini ayah memang tidak tahu.
Ayah memberi foto kakakmu padaku, berharap aku
akan tertarik pada wanita yang dua tahun lebih tua darimu itu. Aku benar-benar
tak tahu bahwa wanita itu, adalah teman sekelasku di Sekolah Dasar dulu.
Sungguh.
Aku dihunjam kalimat ayah dari segala arah. Hari
itu jadi terasa lebih panas dari biasanya. Aku gerah. Batinku mengutuk, aku
merasa bersalah.
Kau yang mematung tanpa suara, akhirnya juga
angkat bicara. Katamu, kebahagiaan kakak lebih dari segalanya. Lagipula,
katamu, kakakmu sudah menyimpan kagum padaku sejak lama. Hanya dia tak pernah
tahu tentang kita.
Aku kekeuh dengan pendirianku untuk
memperistrimu. Dan kau, kekeuh ingin memperjuangkan kebahagiaan kakakmu.
Akhirnya kita bertemu pada titik di mana aku harus mewujudkan apa yang kau
perjuangkan.
ꙮꙮꙮ
Hari ini, tepat hari di mana aku akan
menggenggam tangan ayahmu. Degup
jantungku, seperti bisa didengar dari jauh. Sementara aku sibuk dengan segala
kegugupanku, barangkali kau juga disibukkan dengan urusan ini itu. Memeriksa
banyak hal, memastikan semuanya baik-baik saja.
Kau masih sibuk dengan salah satu personil Wedding
Organizer saat aku datang. Aku melihatmu di lantai dua rumahmu. Tanda
kedatangan calon mempelai di bunyikan. Jantungku berdegup kencang. Kepalaku
pusing bukan kepalang. senyumku ku paksa mengembang demi menghindari banyak
pertanyaan.
Aku melihatmu yang menatap ayah dari kejauhan.
Prosesi demi prosesi terlaksana. Hingga tiba saatnya aku mengucap janji setia.
Ayah mulai merampungkan kalimatnya saat air
matamu tumpah tak terkendali. Aku melihatmu bangkit dan berlari. Kau terlihat
tak peduli meski tatapan orang-orang menghunjam diri.
Kau meninggalkan acara sebelum sempat mendengar
janji setia dari mulutku. Tak sanggup. Ternyata kau tak sekuat itu. Padahal
kemarin, kau bilang akan bahagia dengan pernikahanku. Hari ini kau malah merusak segala perasaan yang ada
dalam dadaku. Tak bisakah kau sembunyikan ketidakrelaan itu?
ꙮꙮꙮ
Kau tak lagi kembali sejak hari itu. Pasti
menyakitkan sekali melihatku menjadi menantu ayahmu sedang bukan aku yang mendampingimu.
😢😢
BalasHapus