Qibthiyah Azeez
Aku disibukkan dengan banyak pekerjaan sejak
tiga bulan lalu. Mengurus ini itu yang sebenarnya tak harus diurus oleh aku.
Membooking gedung, memesan gathering, MUA terbaik, mencari souvenir, seragam
untuk keluarga, dan lain sebagainya. Ini acara spesial. Sekali seumur hidup.
Memang sudah seharusnya ku siapkan dengan matang.
Di tengah-tengah kesibukanku, sesekali ku
sempatkan waktu untuk menghubungimu. Sekedar berdiskusi tentang ini dan itu.
Hal kecil sekalipun kadang tetap ku tanyai pendapatmu. Andai bisa ku tanyai
juga kakakku, tentu akan ku tanyai ia sebelum kamu.
Bahagia sekali rasanya meski lelah menggerogoti
jiwa hingga ke rongga dada. Hari ini, aku dan kamu harus fitting baju. Terlihat
cahaya bahagia pada senyum di wajahmu. Aku tak kalah senang darimu. Sepanjang
waktu aku terus saja menggodamu, mengatakan kau akan menjadi pengantin
termanis, esok, dan yang digoda hanya tersenyum malu, enggan membalas
gurauanku. Baru saja ku dengar kabar, tetangga sebelah rumahku meninggal dunia,
pekarangan jadi ramai bendera kuning dibuatnya. Esok, entah acara akan berjalan seperti apa.
Kita berdua pulang dengan perasaan yang tak
terdefinisikan. Tujuh tahun penantian akhirnya berujung pada kebahagiaan tak tergambarkan.
Sepanjang perjalanan pulang, masing-masing kita tenggelam dalam fikiran yang
tak terjelaskan. Sesekali ku lirik wajahmu. Aku tak kenal ekspresi itu. Entah
perasaan apa yang ada dalam dadamu.
ꙮꙮꙮ
Hari ini, tepat hari di mana kau akan menggenggam
tangan ayahku. Dan aku seperti bisa mendengar degup jantungmu dari jauh.
Sementara kau sibuk dengan segala kegugupanmu, aku juga disibukkan dengan
urusan ini itu. Memeriksa banyak hal, memastikan semuanya baik-baik saja.
Aku masih sibuk dengan salah satu personil
Wedding Organizer saat kau datang. Tanda kedatangan calon mempelai di bunyikan.
Jantungku berdegup kencang. Kepalaku pusing bukan kepalang. Aku melihatmu dari
lantai dua rumahku. Jelas sekali senyummu kau paksa mengembang demi menghindari
banyak pertanyaan.
Sekarang, di sini aku duduk manis menatap ayah
yang matanya mulai berkaca-kaca. Prosesi demi prosesi terlaksana. Hingga tiba
saatnya kau mengucap janji setia.
Ayah mulai merampungkan kalimatnya saat air
mataku tumpah tak terkendali. Aku bangkit dan berlari. Tak peduli tatapan
orang-orang menghunjam diri.
Aku meninggalkanmu sebelum sempat mendengar
janji setia itu. Tak sanggup. Ternyata aku tak sekuat itu. Saat seharusnya aku
bahagia dengan pernikahanmu, hari ini aku malah merusak perasaan yang ada dalam
dadamu. Bukankah seharusnya ku sembunyikan ketidakrelaan itu?
ꙮꙮꙮ
Aku tak lagi kembali sejak hari itu. Menyakitkan
memang melihat kau menjadi menantu ayahku sedang bukan aku yang mendampingimu.
Mempelai wanita itu; KAKAK-ku.
Terhura:(
BalasHapus