About Me

Foto saya
Bogor, Jawa Barat, Indonesia
Introvert.

Jumat, 10 Desember 2021

"Berpendidikan Tanpa Berkarir?"

"Bun... Si dedek nangis. Maaf ya ayah langsung berangkat." Kecup suamiku di keningku. Suatu kebiasaan setiap pagi, sebelum berangkat kerja.

"Dek.. Haus ya dek.. Ayo sini sama bunda." Kugendong putra pertamaku, Arya Muhammad yang di bulan ini ia berumur 7 bulan.

Pandanganku tak lepas dari matanya yang sangat indah. Seakan jiplakan dari mata ayahnya yang tegas namun lembut. Sudah 2 tahun perjalanan rumah tanggaku dengannya. Banyak lika-liku kehidupan yang menurutku lucu. Karena setiap permasalahan pasti berujung penyesuaian dan kesepakatan bersama. Baik suami maupun istri, kami sama-sama tidak bisa mengedepankan ego kami. Tapi juga sekaligus perlu banyak menimbang mata dan mulut orang tua, mertua juga masyarakat.

Aku sedang tidak enak badan hari ini. Nyeri di lambungku menjadi-jadi dari subuh tadi. Bersandar di sofa ruang tamu, sejenak kuamati langit-langit ruang tamu yang penuh dengan sangkar burung. Ah,, indahnya hidup ini. Setiap pagi mendengar kicau burung nan syahdu. Membuat suasana rumah menjadi lebih asri. Hijau dengan tetumbuhannya. Menyatu dengan alam.

Di ruang tamu itu juga, terpampang ijazahku dan ijazah suamiku dalam bingkai emas yang cantik. Ya, kami dari fakultas yang sama. Sama-sama menempuh jurusan bisnis internasional. Suamiku adalah kakak tingkatku dua tahun. Ia senior kejam yang jatuh hati pada adik kelasnya. Aku terpingkal-pingkal sendiri membayangkan lugunya si sadis ketika menyatakan ijab qobul di hari pernikahan.

Menjadi penasihat keuangan di salah satu perusahaan ternama, gaji yang sangat cukup dan jam kantor yang tetap ramah bagi sepasang kekasih. Itu merupakan nikmat bagiku mendapat suami seperti dirinya. Walau teman sejawatku selalu menyayangkan diriku yang katanya mubazir pendidikannya. Seolah hanya membuang-buang uang saja. Meraih gelar sarjana dan terdampar di dapur sambil menenteng bayi.

Aku selalu tersenyum getir mendengar komentar sepihak dari manusia-manusia itu. Walau kenyataannya memang begitu, namun yang dirasakan dalam kenyataan tidaklah sepahit yang diucapkan. Malah aku bersyukur telah melalui masa-masa kuliah hingga lulus dan melangsungkan pernikahan dengan proses yang amat mulus.

Bagiku, menapaki pendidikan yang tinggi tidak harus selalu berakhir dengan karir yang juga tinggi. Segudang prestasi bukannya mubazir kendati seorang perempuan memilih menjadi istri yang taat pada suami, mengurus rumah dan menjaga bayi. Karena kuliah tidak bicara ijazah, tidak bertanya profesi apa selanjutnya kita bekerja. Tapi lebih dari itu, proses kehidupan yang mendidik kita untuk menyelesaikan banyak permasalahan, mengatur waktu dan mengambil peluang, tidak bermalas-malasan demi tujuan yang diharapkan, dan pelajaran-pelajaran hidup lain yang boleh jadi tidak bisa kita dapatkan kecuali dengan menempuh fase itu, itu adalah hal yang juga akan menjadi satu hasil selain lembar pengakuan.

Anak-anak akan bangga memiliki ibu yang berpengetahuan dan berpengalaman. Yang bijak, yang setiap keputusannya diambil berdasarkan pertimbangan yang logis dan matang.

Seorang kawan beropini bahwa kehidupan sosial di kampus hanyalah miniatur dari masyarakat sesungguhnya. Di masyarakat, ia benar-benar bertemu dengan jutaan warna sifat dan pola pikir jutaan manusia. Jika di kampus dulu ia hanya bisa memiliki satu dua teman yang dipercaya, di masyarakat ia wajib memiliki kepercayaan di semua hati tetangga. Katanya. Berkorban untuk mendapatkan hati orang, tapi tidak tersirat kedengkian. Jauh bertolak belakang dengan rumus bisnis yang kami pelajari.

Disaat ini pun, aku selalu mengesampingkan simbiosis mutualisme dalam kehidupan sosial. Karena belum tentu semua yang memberikan kita manfaat adalah yang kita berikan manfaat padanya.

Aku bersyukur dapat mengarungi tetesan-tetesan takdir kuliah dulu. Rumah tangga ini adalah ujian praktek yang tak ada ujungnya. Pantas saja para orang tua dahulu memiliki ketajaman pikir yang selalu tak terduga. Tentu saja mungkin karena mereka telah makan asam garam kehidupan nyata. Suamiku pun sampai detik ini mengetahui mimpi dan anganku. Aku bercita2 menjadi eksekutif bisnis di salah satu perusahaan terbesar di Jakarta. Dan aku yakin diriku akan mampu untuk meraihnya. Namun aku pun sadar.Seribu anak buah yang hebat tidaklah sebanding dengan satu anak kandung yang ta'at. 

Aku yakin dengan keputusanku untuk menikah dan memiliki anak. Dan lebih tenang rasanya menjadi seorang ibu tanpa embel-embel jabatan. Lega sekali aku diam dalam perenungan ini. Semoga diriku semakin kuat dan hebat tanpa haus validasi yang membuat banyak orang berdebat.

Best of...

Idzinkan Saya Berzina Dengan Anak Bapak

  Oleh: Galuh Za   Awan hitam bergerumul di puncak gunung salak di hadapan Wisnu. Bertumpuk-tumpuk. Menutup sebagian awak gunung itu. ...