About Me

Foto saya
Bogor, Jawa Barat, Indonesia
Introvert.

Rabu, 08 Desember 2021

Perihal Doa; Akal Kita yang Terbatas, Tidak Mampu Memahami 'Maksud Tuhan' yang Begitu Luas

"Eksistensi sebuah doa sebenarnya ada pada pengakuan diri bahwa kita ini lemah. Kita butuh kepada Allah, dan mengakui bahwa hanya Dialah yang mampu mendengar doa-doa kita. Itulah kenapa tidak semua doa dikabulkan-Nya. Tapi semua doa pasti mendapat respon-Nya. Mendapat jawaban-Nya."

Dua hari saya berdiskusi perihal doa. Bertanya tentang pernyataan di atas. Karena begini, dalam prakteknya,  jika doa itu dilakukan sebagai bentuk penghambaan, seseorang seharusnya cukup dengan mengadukan permasalahannya saja, meminta kebutuhannya saja, atau apapun yang ingin ia adukan pada Tuhannya. Setelah itu, bukankah mengingat Allah hati menjadi tenang? Lalu kenapa kita gencar berdoa dengan hajat yang bergelimang lalu resah karena setiap detik menunggu semuanya dikabulkan?

Kalau ada perasaan 'memaksa', bahwa Tuhan harus mengabulkan doa kita dan lantas kecewa saat semua yang terjadi tidak sesuai dengan yang kita pinta, bukankah hilang esensi menghamba?
Jadi, kita menghamba pada siapa?
Tuhan, atau ego manusia kita?

Saya mendapat satu penjelasan yang cukup sederhana tapi luar biasa, hal ini ternyata adalah yang sering kita lupa. Bahwasanya manusia itu sifatnya maratib, secara bahasa artinya bertingkat. Para Ulama Tasawwuf sepakat akan hal ini. Bertingkat di sini maksudnya adalah setiap individu itu tidak sama. Tingkatan ilmu, iman dan fahamnya berbeda, dari level paling sederhana sampai level 'Alim 'Ulama.

Maka perihal doa ini, orang-orang awam seperti kita memang seringkali menengadah sambil memaksa. Mengaharap tapi kemudian kecewa. Dan untunglah para alim tak segan-segan membagikan pemahamannya. Tapi bukankah itu artinya kita tidak boleh berhenti belajar dan bertanya?

Dan, hey! Bukankah Allah lebih dekat kepada orang bodoh yang semangat belajar dari pada si alim yang sombong hatinya?

Lalu, kembali laptop. Kita sudah sampai pada kesimpulan bahwa seorang hamba itu semestinya/ada baiknya sadar bahwa seusai berdoa, apapun yang menjadi takdirnya, itu adalah jawaban dari doa-doanya. Akal kita yang terbatas tidak mampu memahami 'maksud Tuhan' yang begitu luas. Takdir kita hari ini adalah jawaban doa kita kemarin, bahkan doa kita beberapa tahun yang lalu. Dan boleh jadi, efeknya bisa berlanjut sampai bertahun kemudian. Nah, itulah jawaban dari doanya. Hanya kadang kita tidak sadar. Kita merasa doa-doa kita belum dikabul, padahal itulah jalan terbaik atas pengabulannya.

Seperti ungkapan Ibn 'Athailah Assakandari dalam kitab Hikam-nya:

ربما أعطاك فمنعك، و ربما منعك فأعطاك، و متى فتح لك باب الفهم في المنع، فصار المنع عين العطاء.



Semuanya terlihat sederhana, bahkan Air mata tidak bisa membeli takdir-Nya. Kecuali air mata takwa, yang itu bisa membeli surga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Best of...

Idzinkan Saya Berzina Dengan Anak Bapak

  Oleh: Galuh Za   Awan hitam bergerumul di puncak gunung salak di hadapan Wisnu. Bertumpuk-tumpuk. Menutup sebagian awak gunung itu. ...