Setelah jutaan purnama, aku merasa diri sudah tak lagi layak dicinta. Merasa diri tak punya hal istimewa, tak ada apa-apanya dibanding para perempuan hebat di luar sana. Aku tak punya kecantikan yang bisa membuat seseorang terpesona dengan satu kedipan mata. Aku juga tak punya harta. Perihal akhlak, entahlah. Rasanya nol sekali. Shalihah, apalagi. Masih belum pantas kata itu kumiliki. Tapi hari ini, seseorang datang dengan kesungguhan hati.
Lelaki gagah itu akhirnya datang mengetuk pintu gubuk dan bertemu ayahku. Mengobrol dengan santai seolah mereka adalah sepasang sahabat lama yang sedang reuni. Sepertinya, semua bisa begitu asik dibicarakan. Issue terkini, politik, keuangan, adat istiadat, sampai candaan-candaan ringan yang bisa membuat ayah terpingkal. Bahkan semut yang diam-diam menyelinap naik ke atas piring berisi sesuguhan, bisa menjadi alasan mereka tidak menutup perbincangan.
"Ayah, sebentar lagi dzuhur. Ayah tidak siap-siap?" Tanyaku malu karena lelaki asing itu terus memperhatikanku.
"Oh, iya, sebentar lagi ayah wudhu. Tolong kamu siapkan sarung dan peci baru di lemari ayah untuk Mas Rain, ya, dek." Jawab ayah sambil menyingsingkan lengan baju.
Laki-laki itu tidak lama menaruh pandang. Ia segera menyeruput kopi yang sepertinya juga sudah mulai bosan diabaikan. Aku langsung kembali ke dalam untuk melaksanakan perintah ayah. Menyiapkan keperluan lelaki yang dipanggil Mas Rain itu.
Kulihat ayah mempersilahkannya wudhu lebih dulu. Sementara ayah menemuiku.
"Ketemu, dek?" tanya ayah seolah tahu ada masalah dengan pencarianku.
"Hehe, sarungnya yang mana, yah? Banyak banget, bingung." Jawabku polos.
"Yang mana aja, yang penting bersih dan layak pakai, dek. Tapi kalau bisa, kasih yang terbaik untuk tamu." Kata ayah sambil mengambil salah satu sarung terbaiknya.
Laki-laki itu sudah keluar dari kamar mandi. Ia kini berdiri di ruang tamu sambil memperbaiki gulungan lengan bajunya. Tampan sekali. Seolah aku bisa melihat malaikat benar-benar keluar dari tetesan air wudhunya.
Ia memalingkan pandang menangkap aku yang tengah memperhatikannya. Tersenyum. Ya Tuhan, andai malaikat benar bisa dilihat, mungkin saja aku akan keliru membedakan seseorang di dekatku, dengan makhluk cahaya itu.
"Eh, maaf mas. Ini sarung dan pecinya. Dicoba dulu." Kataku sambil menyerahkan seperangkat alat shalat di tanganku.
Ia lalu mengenakan peci tanpa bercermin. Aku masih belum beranjak dari tempatku. Layaknya seorang istri yang menunggui suaminya.
"Pas, dek. Terimakasih, ya" katanya. Membuatku sadar, seharusnya aku langsung masuk setelah menyerahkan sarung dan peci itu.
"I-iya, mas, sama-sama. Saya masuk dulu." Aku membalik badan dan nyaris menabrak ayah yang baru saja datang.
Kemudian, dari balik jendela kamar, kulihat ayah dan lelaki itu berangkat ke masjid beriringan. Berbincang ringan. Kali ini lebih serius. Lagi-lagi aku hanya bisa menebak apa yang sedang mereka bicarakan.
Sambil menunggu mereka pulang, aku shalat dan mengisi ulang sesuguhan yang mulai berkurang.
Sudah lebih setengah jam, tapi ayah tak juga datang. Aku lalu membuka Al-Qur'an dan tadarus di dalam kamar.
"Assalamualaikum..." baru mengaji satu halaman suara mereka sudah terdengar. Aku segera keluar dan mencium tangan ayah. Seperti yang biasa kulakukan. Laki-laki itu masih diam di belakang ayah, menunggu ritualku selesai dan membalikkan badan. Ayah lalu meminta teh hangat baru yang segera kubuatkan. Aku sedikit berlari menuju dapur. Buru-buru, tak melihat ada sesuatu di atas lantai yang membuatku tersandung dan seketika terjatuh.
Bugghh!!! "Aw..."
Aku membuka mataku terpaksa. Sakit. Dipanku terlalu tinggi. Ah, benar saja. Ini hanya mimpi. Pantas indah sekali.