About Me

Foto saya
Bogor, Jawa Barat, Indonesia
Introvert.

Selasa, 24 Maret 2020

Why




            Aku dibangunkan oleh suara merdu sahabatku yang mengaji tepat di sebelahku. Mataku berat, bengkak, seperti ada bertumpuk-tumpuk kelopak. Aku menangis berjam-jam setelah mendengar keputusanmu atas kelanjutan hubungan kita. Kau jahat.
            Aku menagih janjimu yang akan segera meminangku. Tapi kau, memilih berlepas tangan dari janji itu. Kau menyalahkan ketidaksabaranku, sedang aku sendiri marah akan kelabilanmu. Katamu, kau punya seseorang yang siap lebih sabar menunggu daripada aku. Lagi-lagi, kau jahat.
            Mungkin aku tak akan sesakit ini andai tak benar-benar jatuh cinta padamu. Untunglah, aku punya sahabat yang begitu baik menemaniku, mendengarkan, dan menghiburku. Katanya, apa-apa yang ditakdirkan untukku tak akan pernah melewatkanku, dan apa-apa yang melewatkanku, memang tidak ditakdirkan untukku. Dan kau, jelas melewatkanku.
            Setelah beberapa hari aku tersedu, akhirnya ikhlas hinggap di lubuk hatiku. Berkat nasehat-nasehat sahabat baikku itu, akhirnya aku bisa dengan lapang mengikhlaskanmu.
            Kau menghubungiku. Tepat saat hati sudah tak lagi terusik oleh bayangmu. Kau meminta kita bertemu, esok. Katamu, kalau aku tidak keberatan, kau akan mengenalkan wanita yang pernah kau sebut-sebut itu. Memang, ku fikir, tak mungkin ada yang baru andai kau benar mencintaiku. Sudahlah, aku sudah bisa tersenyum lebar, kini.
            Aku memakai pakaian terbaikku untuk menemuimu. Tampil sebaik mungkin agar kau tak tahu, berhari-hari sudah aku tersedu. Kafe tempat yang kau tentukan untuk pertemuan kita, adalah tempat yang tak jauh dari kampusku. Seusai kuliah, aku langsung menemuimu. Penasaran, seperti apa wanita yang menggantikanku itu.
            Dari depan kafe aku sudah bisa melihat kau sendiri. benar-benar tak ada siapapun di dekatmu. Aku berjalan perlahan mendekati. Kau hanya menatap tanpa ekspresi. Salam ku ucap dan kau jawab cepat. Aku memberi isyarat yang segera kau tangkap. Mana? Mataku bertanya tanpa suara. Kau begitu kikuk.
            Jantung berdetak dan waktu berdetik, mata sudah ratusan kali berkedip. Tapi kau, sama sekali tak memberi kepastian kapan wanitamu akan datang.
ꙮꙮꙮ
            Setelah beberapa jam kita lewatkan tanpa perbincangan, aku memutuskan untuk pulang. Menatap kesal kamu yang masih saja tenggelam dalam kebisuan. Aku pamit.
            Baru saja aku membalikkan badan saat seorang wanita anggun datang. Mendekatimu. Mungkinkah? Dia adalah sahabatku. Why?

Kalau kau adalah pencemburu.


Hari ini aku tidak akan lagi membahas COVID yang semakin sengit. Berita-berita melangit yang membuat dada semakin sempit. Hari ini, aku hanya ingin bercerita sedikit. Berkenalan sebagaimana kita tak saling kenal sebelumnya.
Dear, kau tahu? Aku hanya seorang wanita biasa. Pengolah rasa menjadi kata. Aku bisa romantis, tapi aku juga realistis. Hobiku menulis. Kadang tentangmu, atau tentang masalalu yang masih hidup dalam ingatanku. Bahkan barangkali juga tentang masa depan yang terus terbayang di setiap sebelum tidurku.
Kalau kau adalah seorang pencemburu, maka saranku jangan mendekatiku. Apalagi memilihku untuk menjadi pendamping seumur hidupmu. Sungguh kau akan tersiksa dengan keputusan itu. Kau akan terus membaca tulisanku dan berfikir aku belum bisa move on dari masa lalu. Kau akan menemukan sebuah tulisan seolah aku yang paling pandai membesar-besarkan sesuatu yang bahkan tak pernah pantas didebatkan.
Kata menjadi produk utama dari olahan rasa. Dan aku akan terus berproduksi selagi kewarasan masih terus terjaga. Siapapun kamu, semoga kau bukan seorang pencemburu. Siapapun kamu, semoga adalah yang tak akan mendebat masalaluku. Siapapun kamu.

Untukmu, semoga kau baca meski setelah kematianku.


Selasa, 24 Maret 2020.
            Hari ini masuk fase di mana penyebaran COVID-19 sudah sangat luas. Tercatat per-24 Maret 2020 COVID-19 ini meningkat hingga 686 kasus dengan data pasien sembuh belum mencapai setengahnya. Aku yang sejak lahir sudah mengalami banyak sekali hal luar biasa sebenarnya tak begitu heran dengan apa yang terjadi di tahun ini. Tahun yang seharusnya diisi dengan kesibukan diri menulis lembar-lembar skripsi, harus dihiasi oleh COVID-19 yang merabak ini. Skripsi masih imajinasi, ilusi, yang akhirnya berubah jadi lembar-lembar puisi. Catatan kecil di buku-buku kuliah sudah bukan lagi catatan kaki yang berisi pembahasan mata kuliah setiap hari. Menulis nama orang yang dicintai di sana-sini. Sudah bukan hal yang membingungkan lagi. Bertanya-tanya apa kabar doi, atau pertanyaan-pertanyaan lain yang tak mungkin dilontarkan untuk saat ini.
            Untukmu, kau tahu? Aku menunggu hari berlalu sedang hari tak pernah memberi kabar apapun tentangmu. Pertanyaan ‘apa kabar?’ masih terus tertahan di kerongkonganku. Ingin ku kirim pesan ke nomor whats app-mu. Tapi apa daya, kau memutus akses melalui jalur itu. Tinggal di kota yang menjadi Zona Merah di Negerimu, kota ke-dua yang akhirnya harus dikunci oleh pemerintahmu, ingin sekali rasanya ditanyai olehmu. Atau setidaknya, aku tahu bahwa kau mengkhawatirkanku. Nyatanya tidak. Tak ada pertanyaan seputar kesehatanku, seputar kota tempat tinggalku, seputar kuliahku, kesibukanku, atau apapun tentang aku. Kau memilih pergi dan berlari. Menetralkan rasa agar kelak kau bisa kembali sebagai orang yang tak asing lagi. Katamu. Sebenarnya aku tak begitu setuju. Tapi kau, sungguh tak butuh persetujuan dariku perihal keputusanmu itu.
            Untukmu, jika kelak kau membaca ini, semoga masih tersisa ingatanmu tentangku. Mengirim e-mail atau apapun itu. Seberapa panjangnya pun waktu saat kau sudah mulai mengabarkanku. Perihal keadaanmu, tidak melulu soal rindu, karena kalimat yang kau susun untukku, sudah lebih dari cukup untuk aku bisa merasakan hadirmu. Di sini, aku memelukmu dari jauh. Dan jika aku harus mati di era COVID-19 ini, semoga kau sudah mengikhlaskan segala kisah yang tak sempat bertemu ujungnya.

Find you…





            Aku bangun pagi-pagi sekali demi mengantarkanmu. Hanya sampai stasiun, selebihnya, kau lanjutkan bersama kawan-kawan perempuanmu. Kau harus pergi jauh untuk beberapa waktu. Kau harus kursus beberapa bahasa di luar kota. Demi mengejar beasiswa tanpa i’dad, di Mesir, jelasmu.
            Aku begitu mendukung cita-cita luhur itu. Aku selalu berusaha memberikan segala yang terbaik yang aku punya. Meski itu berarti aku harus mengorbankan banyak hal untuk mendapatkannya.
            Berbulan-bulan kita hidup di dua kota yang berbeda. Jarak dan waktu seperti selalu tertawa melihat rindu yang kerap menghunjam dada. Kau begitu sibuk dengan aktifitasmu. Kau sama sekali tak punya waktu untuk membalas pesan singkatku, apalagi untuk berbincang menceritakan hari-harimu. Aku rindu.
            Sejak kepergianmu, aku mencari kerja paruh waktu di sela-sela jadwal kuliahku. Aku bertekad untuk menemuimu. Butuh uang yang tidak sedikit kali ini untuk sekedar menatap wajahmu. Aku benar-benar tak tahu dengan cara apalagi aku menuntaskan rindu selain dengan menciptakan temu.
            Hari ini aku berangkat ke kota tempat belajarmu tanpa berkabar terlebih dahulu. Aku ingin mengejutkanmu. Kasihan kau, kesibukanmu menyita banyak waktu berbincang denganku. Pasti kau tak kalah tersiksa dariku sebab rindu.
            Sepanjang perjalanan aku terus tersenyum membayangkan wajah terkejutmu. Berharap pelukan hangat akan segera menyambut lelahku. Kau tahu? Bukan proses mengumpulkan uang, atau panjangnya perjalanan yang membuat aku merasa begitu kelelahan. Tapi, kenyataan yang harus ku hadapi setiap hari. Bahwa sejak pagi hingga ke dalam mimpi, aku tak bisa bercanda denganmu lagi.
            Keretaku sampai tengah malam di kota tujuan. Tak ada lelah. Aku begitu semangat melangkah. Aku tak tahu harus menghabiskan malam di mana. Aku juga tak berniat beristirahat di penginapan. Pasti mahal sekali, fikirku. Jadi, aku memustuskan untuk bermalam di stasiun saja.
            Adzan shubuh membangunkanku dari tidur yang tak begitu lelap. Aku segera mencari masjid untuk membersihkan diri dan shalat. Lalu bertanya-tanya pada penduduk setempat tentang lembaga yang kau tinggali. Mereka menunjukkanku jalan yang tidak terlalu jauh, meski juga tidak mungkin ku tempuh dengan berjalan kaki.
            Aku sampai di depan pintu gerbang desa yang dipenuhi oleh ribuan lembaga. Di sini, ada sekitar 1600 lembaga yang dikepalai oleh orang yang berbeda. Senyumku mengembang, oksigen di sini terasa lebih segar. Mungkin karena ada kamu di dalamnya. Ah, aku semakin tak sabar untuk mengejutkanmu.
            Aku menelponmu untuk memastikan kau tidak kemana-mana. Ini hari libur, tak mungkin kau sibuk dengan kursusmu. Di luar dugaan, kau begitu cepat mengangkat telponku. Aku hanya basa-basi bertanya tentang kegiatan hari ini, akan apa atau kemana. Kau bilang hanya malas-malasan atau tidur seharian. Aku lega. Segera ku lacak lokasi dari nomor hp mu. Tak jauh, fikirku. Aku bisa berjalan kaki ke tempatmu.
            Belum setengah perjalanan, perutku sudah meronta minta diperhatikan. Aku baru ingat bahwa aku memang belum makan sejak kemarin siang. Jadilah aku berbelok ke salah satu café di sini. Katanya, café di sini terkenal bersahabat soal harga. Jadi aku tak begitu mengkhawatirkannya.
            Sudah setengah jam sejak aku datang, tapi sandwich yang ku pesan belum juga diantarkan. Cukup ramai memang. Tapi tak apa, aku jadi punya lebih banyak waktu untuk memandangi fotomu.
            Belum sempat sandwich itu ku habiskan, pasangan di hadapanku membuatku teringat kamu. Mereka begitu mesra seperti kita, dulu. Si wanita sangat persis seperti kamu saat sedang menggodaiku. Prosesi makanku terhenti. Menatap fotomu, lalu pasangan itu berkali-kali. Bergantian. Membayangkan kau ada di sini, dan tertawa seperti perempuan itu. Aku rindu.
            Rinduku tak terbendung lagi. Kontakmu segera ku cari. Teratas di log panggilan, karena kau yang terakhir aku hubungi pagi tadi. Nada sambung bordering, tepat saat wanita yang sedang bermesraan tadi mengeluarkan handponenya dari dalam saku. Aku terpaku. Ini hanya kebetulan? Ku matikan, lalu handphone si wanita kembali diletakkan. Ku telpon lagi, dan handphone itu bordering lagi. Tidak di angkat. Ku pastikan berkali-kali. Ini hanya kebetulan.
            Tidak, ternyata tak ada kebetulan hari ini. Aku melewatimu saat keluar dari café tadi. Itu benar kau. Dan aku, pulang.

Best of...

Idzinkan Saya Berzina Dengan Anak Bapak

  Oleh: Galuh Za   Awan hitam bergerumul di puncak gunung salak di hadapan Wisnu. Bertumpuk-tumpuk. Menutup sebagian awak gunung itu. ...