About Me

Foto saya
Bogor, Jawa Barat, Indonesia
Introvert.

Senin, 29 Maret 2021

Ikhlas

 Tidak semua hal di dunia ini mendapat restu semesta setelah kita berserah sebagaimana Zulaikha yang mendapatkan cinta Yusuf setelah berhasil mengikhlaskan semua kisahnya. Beberapa mendapat bagian yang berbeda.

Seperti aku yang terlalu mengharapkanmu sampai namamu mengisi sebagian ruang di hatiku meski tak menggantikan-Nya. Aku menginginkanmu dengan terlalu sampai perasaanku justru malah membuat-Nya cemburu. Dia adalah satu dan tak mau ada hal lain di hatiku, termasuk kamu.

Mencoba ikhlas mungkin juga tak akan membuatmu menjadi milikku, tapi kau benar, setidaknya, saat semesta memisahkan dan memaksa kita untuk menerima takdir yang baru, tak ada yang membuat kita kembali tergugu.

Jumat, 26 Maret 2021

Jangan Tanya Kapan Aku Mati Karena Aku Tidak Tahu Jawabannya.



Aku terlahir dari ibu yang barangkali tidak pernah ditanya 'kapan menikah' karena memang ia menikah muda. Juga tidak banyak mendapat pertanyaan 'kapan punya momongan' karena masa 'kosong'nya tak terlalu lama.

Tapi hidupku jauh dari pengalaman-pengalaman semacam itu. Aku harus mengalami masa belajar yang lebih lama dan itu berarti masa lajang yang juga lebih lama. Lalu orang-orang mulai usil melontarkan pertanyaan 'kapan'nya dari mulut-mulut mereka. Mulai dari 'kapan wisuda?', 'kapan menikah?' dan kapan-kapan yang lain.

Ibu dan ayah sebenarnya hanya memintaku fokus pada apa yang di depan mata; belajar. Tapi orang-orang tetap ingin mendapat jawaban atas banyak pertanyaan 'kapan'.

Aku mulai penasaran kenapa yang bertanya adalah mereka yang nasibnya denganku tak jauh beda? Karena aku masih memaklumi andai pertanyaan 'kapan menikah' itu dilontarkan oleh mereka yang sudah lebih dulu melepas status lajangnya. Tapi sesama lajang bahkan yang usianya tidak lebih muda? Aku tak faham lagi isi kepalanya.

Selepas menikah orang-orang masih tetap melontarkan 'kapan'nya. Awal-awal pernikahan aku masih bisa menjawabnya dengan senyuman; "doain aja ya". Tapi seiring waktu pertanyaan 'kapan' itu mulai mengganggu. Aku mulai sering menangis karena tak bisa menjawabnya. Bukan ingin menjawab pertanyaan mereka, tapi karena aku pun ingin cepat mendapat jawaban untuk diriku sendiri.

Sudah tahun ke-3 sejak pertanyaan 'kapan menikah' itu hilang dan berganti 'kapan punya momongan', hari ini, si kecil lahir dan aku fikir 'kapan' itu ikut berakhir. Ternyata masih ada 'kapan' selanjutnya. 'Kapan si kecil punya adik?"

Setelah banyak pertanyaan 'kapan' membuatku menghabiskan waktu untuk melamun bahkan sesekali menangis, kali ini, kumohon jangan tanya kapan aku mati karena aku tidak tahu jawabannya.

Selasa, 23 Maret 2021

Manusia Sombong

 Jika saja semua kayu menolak saat akan dipahat, maka boleh jadi tidak akan ada kayu yang lebih berharga. Semua hanya kayu biasa dan akan melapuk pada akhirnya tanpa ada yang peduli nilainya.

Jika saja semua besi menolak saat akan dipanaskan, maka boleh jadi tidak akan ada besi yang punya harga melangit di pasar dunia. Semua akan terlihat sama saja. Akan berkarat pada akhirnya.

Jika saja semua kain menolak saat akan dijahit, maka boleh jadi tidak akan ada manusia yang diagungkan sebab pakaian yang dikenakannya. Para manusia akan telanjang dan tak ada yang akan mendapat julukan 'si miskin' dan 'si kaya'. Tak akan ada yang berbeda dari kain-kain di mana saja. Semua sama. Selembar kain yang tak ada harganya. Tak ada nilainya.

Jika saja semua manusia menolak saat kritik pedas dan nasehat orang lain ditujukan padanya, maka boleh jadi tidak akan ada orang-orang yang menjadi luas cara berfikirnya, yang lebih bernilai hidupnya dan lebih cerah masa depannya.

Orang-orang yang hidupnya terlihat bahagia itu jangan-jangan juga adalah kayu yang dulunya rela dipahat, besi yang tak enggan dipanaskan dan kain yang tidak menolak untuk dijahit.

Sedang kita, orang-orang yang masih saja menatap langit dengan mendongakkan kepala hanyalah orang-orang angkuh yang selalu merasa tak butuh. Kritik orang lain hanya dianggap keusilan padahal beberapa memang tulus menginginkan kita menjadi lebih baik.

Alih-alih menjadi diri sendiri, sebenarnya kita hanya sedang memberi makan ego agar ia tumbuh lebih besar lagi. Kita terlalu sombong dengan menolak nasehat orang lain dan menganggap mereka sebagai pengganggu.

Sore ini, mari renungkan, mana kritik yang membangun, dan mana yang memang hanya tak rela melihat kita melangkah anggun.

Jumat, 19 Maret 2021

Kalah Telak

 Aku pernah memintamu datang beberapa waktu lalu. Tapi kau menolak dengan alasan yang tak hanya satu. Langkahmu terlihat maju tapi tatap matamu terlalu ragu. Kau kalah telak.

Berkali kau yakinkan aku bahwa kita adalah sepasang kaki yang salah satu tak boleh berhenti demi tujuan yang pasti. Tapi akhirnya, aku sampai sebelum langkahmu sempat kau mulai.

Katamu banyak hal yang harus dipertimbangkan, tapi yang kulihat adalah kau tak punya keseriusan. Usiamu bukan lagi titik yang mengajak bermain di taman kanak-kanak. Tapi untuk sebuah keputusan, kau kalah telak.

Kau mengulur waktu terlalu banyak.

Kamis, 18 Maret 2021

Surat untukmu.

Purnama membulat di waktu yang tepat. Tidak terlambat, tak juga terlalu cepat. Begitulah. Takdir tak pernah salah memilih. Maka ketika tatapan itu akhirnya jatuh tepat mengenai mataku, takdir lalu bersorak sorai membuat degup jantung seakan menggebu. Pada detik pertama aku sadar bahwa aku telah 'jatuh' pada tatapan itu, semesta memberiku pilihan untuk berhenti atau lanjutkan. Keputusan yang tak pernah sesederhana kelihatannya. Mencintaimu berarti aku harus menerima se-abrek konsekuensi, menanggung rindu dan patah hati sendiri.


Tapi Tuhan tak pernah tega melihat aku jatuh cinta sendirian. Lalu pada detik ke sekian, keputusan itu bukan milikku saja. Sebab kini, jalannya sudah milik kita berdua.

Tujuan yang sama-sama kita sematkan, niat baik yang juga tak rela digoyahkan, dengan perjalanan yang senantiasa melibatkan Kuasa Tuhan. Kini, jarak hanya sarana pengingat bahwa ada percaya yang harus dijaga. Tentang janji kita pada diri kita sendiri.


Sugeng sonten... :)



Selasa, 16 Maret 2021

“BERITA DAN CERITA”

 

By: Galuh Za


Menjadi dewasa kadang membuat kita sedikit lupa

betapa penting sapa meski raga tak saling jumpa.

Kita mulai dimabukkan oleh kesibukan-kesibukan yang membuat kita tak sadar,

ada raga lain yang menanti pulang kita dengan sabar.

 

Satu waktu kita tahu,

rindu sudah sangat menggebu-gebu.

Hati galau lalu tangis membuat suara menjadi amat parau.

Dan takdir malah asyik bergurau!

 

Jarak terbentang luas.

Yang padahal, bagi insan yang saling mencintai,

hamparan bumi sudah tak lagi berarti.

Tapi lagi-lagi, takdir senang sekali menguji ketulusan diri.

 

Pernah sekali semesta membuat keputusan hebat.

Bumi seakan ia lipat

dan membuat jarak kita menjadi amat dekat.

“Kring… Kring…”

 

Telepon berdering berulangkali.

Tapi siapa peduli?

Ini pukul dua dinihari dan pemilik telepon masih asyik menari

di alam mimpi.

 

Seketika bumi dibentangkan kembali.

Semesta terbahak sambil mengutuk pemilik telepon yang tak sengaja terlelap.

 

“BODOH!” hardiknya.

“Kesempatan datang tanpa pernah bertanya apakah kau siap atau tidak! maka terus bersiaplah!” tambahnya.

 

Lalu matahari terbit dengan membawa berita dan cerita.

Bahwa tak sedikit manusia yang gagal menemukan cinta

Hanya karena enggan membuka mata.

 


Senin, 15 Maret 2021

Idzinkan Saya Berzina Dengan Anak Bapak

 


Oleh: Galuh Za

 

Awan hitam bergerumul di puncak gunung salak di hadapan Wisnu. Bertumpuk-tumpuk. Menutup sebagian awak gunung itu. Tak jauh dari sana, sinar matahari menelusup malu-malu. Seperti ingin memberi kabar bagi para perindu, tentang lengkung warna-warni yang akan muncul sebentar lagi.

            Ini adalah musim penghujan. Kabut menjadi lebih tebal dari biasanya. Mengetuk-ngetuk jendela. Memaksa masuk lewat celah-celahnya. Dingin.

            Wisnu Al-Badru, laki-laki berusia dua puluh tujuh sedang harap-harap cemas di ruang tamu. Duduk manis menunggu tuan rumah dengan tatapan kaku. Ia sedang berada di rumah Karina, gadis yang siang ini akan dikhitbahnya. Ayah Karina sedang berada di halaman belakang saat Wisnu datang. Dan ibu sedang sibuk menyiapkan sesuguhan.

            Wisnu datang sendiri hari ini. Karena ia berfikir ini hanya pra saja. Sampai ia tahu kapan waktu yang benar-benar tepat untuk mempertemukan orang tua mereka.

            “silahkan, nak” ibu Karina datang dengan nampan berisi minuman segar dan beberapa toples kue kering.

            “bapak?” Tanya Wisnu.

            “bapak masih bersih-bersih. Ganti baju dulu.” jawab ibu sambil menuangkan minuman segar ke gelas Wisnu.

            “Ehem…”

Bapak datang dengan pakaian rapih. Membuat ibu dan Wisnu seketika berdiri.

            “Assalamu’alaikum, bapak.” Sapa Wisnu seraya mencium tangan bapak.

            “Wa’alaikumsalam. Bagaimana? Sehat?”

            “Alhamdulillah pak, sehat.”

            Tiba-tiba saja, oksigen di rumah Karina terasa hampir habis. Wisnu tak tahu harus memulainya dari mana. Ia jadi kesulitan bicara. Bapak juga ikut diam. Mungkin tahu perihal apa sebenarnya yang ingin Wisnu bicarakan. Memberi kesempatan untuk bujang ini memulai.

            “sudah berapa lama kalian kenal?” akhirnya, setelah hening beberapa saat, pertanyaan dari mulut bapak pun melesat.

            “enam bulan, pak.” Jawab Wisnu sambil terus menunduk.

            “lalu kamu datang untuk melamar anak bapak?” tanpa basa-basi. Habislah Wisnu yang sekarang sedang berkeringat dingin mendengar pertanyaan itu. Seharusnya ia bersyukur karena tak harus repot mencari kata pembuka untuk acara lamaran ini. Pertanyaan bapak benar-benar membantunya. Tapi, tetap saja, keringat itu sulit sekali dihentikannya.

            “benar, pak.”

            “punya apa kamu sampai berani melamar anak bapak?”

Wisnu benar-benar bingung kali ini. Ia hanya ingin menikah. Menyempurnakan separuh agamanya. Ingin beribadah pada-Nya. Tapi ‘punya apa?’ benar-benar pertanyaan yang ia sendiri tak tahu harus dengan apa menjawabnya.

            “saya belum punya apa-apa, pak. Saya hanya punya keyakinan bahwa Allah akan mencukupkan mereka yang menikah untuk beribadah pada-Nya.”

Mata bapak melirik tajam.

            “tapi bapak tenang saja. Saya sudah punya pekerjaan dan sudah menyiapkan biaya untuk pernikahan.” Kata Wisnu tanpa ragu. Mata bapak masih menyorot tajam, tapi bibirnya hanya diam.

            “maaf nak, sebelumnya. Kalau boleh ibu tahu, berapa mahar yang sudah kamu siapkan untuk menikahi Karina?” kali ini ibu yang memecah keheningan.

            “saya sudah menyiapkan uang tunai sebesar 15 juta dan emas 10 gram sebagai mahar.” Jawab Wisnu singkat dan apa adanya.

            “tapi nak, kami sudah mematok mahar untuk anak kami, minimal 150 juta.” Jawab ibu lagi.

            “hem…” Wisnu berfikir keras.

            Sudah hampir jam 12 siang. Mungkin sebentar lagi adzan dzuhur akan terdengar. Ini musim penghujan, tapi ruang tamu di rumah Karina kali ini benar-benar membuat Wisnu kepanasan. Tanpa mereka sadari, Karina mendengar semua yang mereka bicarakan. Ibu hanya tahu Karina sedang tidur siang. Padahal sejak kedatangan Wisnu, ia sudah siap-siap menemuinya di ruang tamu.

Allahu Akbar… Allahu Akbar…

            Akhirnya adzan dzuhur memecah keheningan yang mencekam. Memberi alasan untuk Wisnu keluar.

            “maaf pak, shalat dzuhur dulu.” Kata Wisnu. Bapak hanya mengangguk.

JJJ

            Jama’ah shalat dzuhur sudah bubar, tapi Wisnu masih khusyuk berdoa dengan sabar. Bapak dan ibu sudah kembali berkumpul di ruang tamu. Menunggu si bujang yang belum juga datang.

            “Assalamu’alaikum…” akhirnya, suara Wisnu terdengar juga. Ibu dan bapak sama-sama menjawab tanpa suara. Wisnu langsung duduk tanpa di suruh. Dari dalam kamar, Karina sudah siap menguping di balik pintu.

            “jadi bagaimana?” Tanya bapak. Membuka kembali percakapan yang tertunda.

            “saya hanya ingin menyempurnakan separuh agama.” Jawab Wisnu lembut.

            “kalau begitu, siapkan uang 150 juta, atau tidak usah menikah dengan anak bapak.” Kali ini bapak menanggapi dengan serius.

            “apa memang harus seperti itu?” Tanya Wisnu meyakinkan.

            “ya begitulah. Kamu tahu kan, anak bapak sebentar lagi selesai kuliah. Dia akan punya gelar di belakang namanya. Jadi, tidak boleh ada yang sembarangan melamar anak bapak hanya dengan mahar yang seadanya.” Jawab bapak dengan nada yang sedikit meninggi.

            “kalau begitu, bapak mempersulit kami untuk beribadah?” tanggapan Wisnu benar-benar membuat wajah bapak memerah.

            “bukankah sebaik-baiknya wanita adalah yang paling ringan maharnya? Dan bukankah seharusnya bapak memudahkan kami untuk saling menyempurnakan agama?” dengan tetap santun Wisnu melanjutkan bicara.

            “KAMU MENCERAMAHI BAPAK!?” kali ini bapak benar-benar marah. Dilihatnya Wisnu yang masih memasang wajah tak berdosa.

            “tidak seperti itu, hanya saja…”

            “bapak tidak ingin mendengar apa-apa lagi, sekarang, kalau kamu tidak bisa menyiapkan mahar sebesar nominal yang kami minta, lebih baik cari wanita lain saja.” Kata bapak memotong kalimat Wisnu.

            Wisnu benar-benar tak menyangka bapak akan sekeras itu. Dan dengan tetap menjunjung tinggi sopan santun, Wisnu angkat bicara,

            “baiklah, kalau memang itu mau bapak, saya akan meminta idzin; idzinkan saya berzina dengan anak bapak.

            “SUDAH GILA, KAMU!?” jawaban Wisnu benar-benar merubah bapak menjadi serigala. Matanya merah seperti siap menerkam Wisnu –daging segar- di hadapannya.

            “bapak tenang dulu.” Kata Wisnu. Ibu yang sejak tadi hanya mendengarkan, kali ini ikut menenangkan.

            “bapak tahu, kenapa saya meminta idzin untuk berzina dengan anak bapak?”

            wong edan” bapak hanya menggerutu tak menjawab.

            “saya melihat betapa wanita-wanita yang hamil sebelum menikah di luar sana, begitu mudah saat akan melangsungkan pernikahannya. Orang-orang tua mereka sudah tak lagi meributkan maharnya berapa, mereka hanya butuh seseorang yang akan bertanggung jawab atas kehamilan anaknya. Mereka hanya memikirkan nama baik keluarga. Sampai bahkan, beberapa keluarga wanita ada yang rela membayar orang lain agar mau menikahi anaknya.” Tutur wisnu. Dengan mata yang masih merah, bapak hanya melirik sekilas sambil menunggu Wisnu melanjutkan bicara.

            “sekarang, bukankah lebih baik saya berzina dengan anak bapak, agar bapak bisa memudahkan kami untuk menikah?”

            “Dasar orang gila! Kamu fikir hanya kamu satu-satunya lelaki yang mau dengan anak saya? Kamu fikir tidak ada yang lebih mampu dari kamu yang mau menikahi anak saya? Toh anak saya cantik, kamu bukan satu-satunya yang mau menikahinya!” jawab bapak terdengar menggebu.

            “baik. Anggaplah saya bisa memenuhi permintaan bapak. Saya siapkan mahar 150 juta dengan tambahan mas kawin dan tempat tinggal yang layak beserta isinya. Tapi sekarang saya ingin bertanya, apakah anak bapak adalah wanita shalihah yang tak pernah mengakhirkan shalat wajibnya? Apakah anak bapak adalah wanita yang tak pernah absen puasa sunnahnya? Apakah anak bapak juga adalah yang selalu melaksanakan tahajjud serta dhuhanya? Lalu apa pernah bapak mendengarnya mengaji? Sudah benarkah bacaan Al-Qur’annya?”

            Kali ini bapak dan ibu hanya bisu. Mengingat-ingat seperti apa sebenarnya wanita yang selama ini mereka panggil anak itu. Mengingat tentang anaknya yang selalu bangun kesiangan, yang shalat wajibnya selalu diakhirkan, yang puasa sunnahnya dilupakan, yang bahkan tak pernah mendengarnya mengaji sama sekali. Benar. Wisnu mengajukan pertanyaan yang tepat.

            “Jika memang jawaban atas semua pertanyaan saya adalah tidak, maka pantaskah anak bapak mendapat mahar yang begitu besar dari saya? Dan masih adakah yang akan menyanggupi mahar mewah untuk anak bapak yang kurang perihal agama?” Tanya Wisnu lagi.

            Ibu mengajak bapak masuk untuk berdiskusi berdua. Membujuk bapak untuk tidak menolak lamaran pria yang saat ini sedang duduk di ruang tamu rumahnya. Ibu menjelaskan keadaan Karina pada bapak. Tentang jawaban dari semua pertanyaan Wisnu yang ternyata memang tidak. Anaknya bukan wanita yang faham sekali perihal agama. Anaknya jauh dari kata shalihah. Tak pandai memasak, bahkan tak pernah sekali pun mengerjakan pekerjaan rumah. Beruntung sekali andai pria ini memang benar tulus ingin menjadi imamnya.

JJJ

            Menit demi menit berlalu. Bapak dan ibu kembali menemui Wisnu. Dengan kepala yang sudah dingin dan emosi yang tak lagi menggebu, bapak tersenyum seraya melontarkan pertanyaan baru.

            “Jadi kapan kau akan datang dengan orang tuamu?”

Wisnu tersenyum lebar mendengar pertanyaan itu.

JJJ

Sampai akad dilangsungkan, keluarga Karina baru benar-benar faham. Bahwa Wisnu, ternyata adalah lelaki berpendidikan dan mapan. Gelar S2 nya sudah sejak usia 22 ia dapatkan. Ia benar-benar menyiapkan tempat tinggal yang layak beserta isinya. Tiga belas tahun menempuh pendidikan di Pondok Pesantren membuat ia tak lagi diragukan perihal agama. Tak hanya itu, ia juga lahir dari keluarga yang masyhur budi pekertinya. Soal mahar yang ia siapkan, memang itulah yang direncanakan. Ia tak ingin menawarkan kemewahan. Pun ia ingin memberi pelajaran bagi siapa pun, bahwa salah satu sebab terbukanya pintu perzinahan adalah keluarga yang mempersulit pernikahan.

 

Best of...

Idzinkan Saya Berzina Dengan Anak Bapak

  Oleh: Galuh Za   Awan hitam bergerumul di puncak gunung salak di hadapan Wisnu. Bertumpuk-tumpuk. Menutup sebagian awak gunung itu. ...