About Me

Foto saya
Bogor, Jawa Barat, Indonesia
Introvert.

Sabtu, 04 Desember 2021

Suatu Hari, Sebelum Hari ini.



Hari itu, aku yang sudah berbulan-bulan ndekem di Bogor berencana pulang ke Tangerang. Banyak rencana sudah kusiapkan. Tempat apa saja yang akan kukunjungi, siapa saja yang akan kutemui. Sampai saat aku tiba di stasiun kereta, kulihat seseorang membagikan fotonya yang sedang berkeliling Jakarta. Entah acara apa. Mungkin dia memang seperti itu. Mungkin ia menyukai jalan-jalan sendirian di keramaian, menaiki bus lalu turun di setiap halte tempat bus itu berhenti, untuk kemudian menaiki bus selanjutnya dan turun lagi. Atau menaiki kereta lalu mampir di setiap stasiun kereta itu berhenti. Hanya untuk memperhatikan keriuhannya. Hanya untuk merasakan ramainya. Hanya untuk menguji sepi hatinya. Atau hanya untuk mengoleksi foto-foto perjalanan di galeri ponselnya.
Aku melihat ia masih terus memperbarui keberadaannya. Dari satu halte ke halte lain, dari satu lampu merah ke lampu merah lain. Lalu sejurus kemudian, kukomentari salah satu postingannya. "Aku pulang, nih. Masih keliling Jakarta?", ia tak langsung menjawab. Mungkin masih sibuk dengan kegiatan mempotretnya. Aku lalu memasuki kereta yang kebetulan langsung berangkat. Hari ini semuanya berjalan begitu lancar tanpa ada yang menghambat. Aku merasa Tuhan memudahkannya karena tujuan pertamaku adalah berziarah ke Makam Kyaiku, Kyai Ihsan. Aku juga berniat melanjutkan silaturrahmi ke Pesantren dan ke keluarga ndalem.

Aku tertidur di kereta sampai stasiun akhir tempatku transit. Lalu dibangunkan penumpang lain yang khawatir dan berfikir mungkin saja aku juga mesti berganti kereta dan harus segera disadarkan. Aku berterimakasih lalu kemudian keluar dengan tergesa-gesa. Aku lapar. Tapi tidak ada kedai makanan di dalam stasiun transit ini. Semuanya berada di luar dan harus cek out dulu untuk bisa menikmatinya. Sayang sekali, hanya untuk membeli roti dan air mineral aku harus membayar double ongkos perjalanan. Sebenarnya tak seberapa, tapi kali ini laparku masih bisa ditahan, jadi rupiah segitu masih akan kusayangkan.

Kulanjutkan perjalanan dengan kereta yang baru. Menuju stasiun tujuanku. Kulihat ponsel yang sejak tadi kuabaikan. Beberapa panggilan tak terjawab dan puluhan pesan wasuk ke nomor whatsappku. Seseorang yang aku komentari story whatsappnya. Ia bertanya dimana aku sekarang yang segera kujawab bahwa aku sudah di dalam Kereta menuju Tangerang. Ia lalu meminta bertemu, tempatnya ia yang menentukan tapi aku sama sekali tidak menjanjikan. Aku punya janji temu dengan orang lain. Aku memanggilnya abang, walau sebenarnya kami seumuran. Aku membuat janji temu semata karena Ia pernah mengajakku ngopi saat ada grand opening kafe baru di dekat rumahnya, tapi belum aku iyakan, dan kebetulan hari ini kesempatan itu kugenggam.

Stasiun demi stasiun kulewati dan akhirnya sampai di stasiun tujuan, aku dengan sigap keluar dan kali ini tidak menggunakan jasa ojek online. Sesekali pakai ojek konvensional kan tidak merugikan, pikirku.

Aku lalu menuju makam, letaknya di sebelah ndalem dan dekat sekali dengan masjid tempat santri putra melaksanakan shalat jama'ah serta beberapa kegiatan lain. Malu sekali. Saat itu hari minggu, biasanya menjadi hari sambang, tapi karena ada protokol yang harus dipatuhi dan dijaga, gerbang menjadi tak sembarangan dibuka. Aku menerobos kerumunan orang yang berkumpul di depan gerbang karena ditolak masuk bertemu putranya di dalam. Hanya mereka punya keperluan khusus yang boleh masuk. Sampai saat jarak antara aku dengan gerbang begitu dekat tanpa sekat, di sanalah kudapati wajah seorang ustadz. "Saya mau ketemu ummik." Jelasku tegas. Tanpa ditanya, tapi aku tahu tatapan matanya ingin melontarkan pertanyaan yang jawabannya baru saja kujelaskan. Ia lalu membuka gembok, mempersilahanku masuk. Tanpa pertanyaan lanjutan, tanpa banyak persyaratan.

Aku masuk dengan gugup karena harus sowan ke ndalem terlebih dahulu sebelum ke makam. Untunglah Ummik tidak sedang sibuk dan aku bisa menemui beliau tanpa harus menunggu lama. Hari ini, semuanya benar-benar dilancarkan. Aku mengobrol banyak dengan Ummik mulai dari kabar ndalem, perkembangan pesantren, jumlah santri, bertukar tanya dan bercerita tentang kesibukan yang sedang aku geluti, dan Ummik tidak merasa canggung dengan hal itu. Seperti umi sendiri.

Setelah banyak bercerita, aku pamit untuk ziarah ke makam Aby, begitu para santri memanggil poros dari pesantren ini. Aku berdoa lama sekali. Bercerita bahwa aku sedang akan menyelesaikan skripsi. Aku berharap Aby bisa menatapku lagi, atau bahkan juga memberi nasehat. Tapi entah kenapa, hari itu, dalam segala harap, aku juga sekaligus merasa Aby sangat dekat tak berjarak. Aku merasa tidak sedang bercerita pada nisan saja. Aby ada di sana. Aby mendengarkan dengan seksama. Aby membelai jilbab ujung kepala.

To be continue...

2 komentar:

Best of...

Idzinkan Saya Berzina Dengan Anak Bapak

  Oleh: Galuh Za   Awan hitam bergerumul di puncak gunung salak di hadapan Wisnu. Bertumpuk-tumpuk. Menutup sebagian awak gunung itu. ...