About Me

Foto saya
Bogor, Jawa Barat, Indonesia
Introvert.

Sabtu, 11 Desember 2021

Mas Rain


Setelah jutaan purnama, aku merasa diri sudah tak lagi layak dicinta. Merasa diri tak punya hal istimewa, tak ada apa-apanya dibanding para perempuan hebat di luar sana. Aku tak punya kecantikan yang bisa membuat seseorang terpesona dengan satu kedipan mata. Aku juga tak punya harta. Perihal akhlak, entahlah. Rasanya nol sekali. Shalihah, apalagi. Masih belum pantas kata itu kumiliki. Tapi hari ini, seseorang datang dengan kesungguhan hati.

Lelaki gagah itu akhirnya datang mengetuk pintu gubuk dan bertemu ayahku. Mengobrol dengan santai seolah mereka adalah sepasang sahabat lama yang sedang reuni. Sepertinya, semua bisa begitu asik dibicarakan. Issue terkini, politik, keuangan, adat istiadat, sampai candaan-candaan ringan yang bisa membuat ayah terpingkal. Bahkan semut yang diam-diam menyelinap naik ke atas piring berisi sesuguhan, bisa menjadi alasan mereka tidak menutup perbincangan.

"Ayah, sebentar lagi dzuhur. Ayah tidak siap-siap?" Tanyaku malu karena lelaki asing itu terus memperhatikanku.
"Oh, iya, sebentar lagi ayah wudhu. Tolong kamu siapkan sarung dan peci baru di lemari ayah untuk Mas Rain, ya, dek." Jawab ayah sambil menyingsingkan lengan baju.
Laki-laki itu tidak lama menaruh pandang. Ia segera menyeruput kopi yang sepertinya juga sudah mulai bosan diabaikan. Aku langsung kembali ke dalam untuk melaksanakan perintah ayah. Menyiapkan keperluan lelaki yang dipanggil Mas Rain itu.

Kulihat ayah mempersilahkannya wudhu lebih dulu. Sementara ayah menemuiku.

"Ketemu, dek?" tanya ayah seolah tahu ada masalah dengan pencarianku.
"Hehe, sarungnya yang mana, yah? Banyak banget, bingung." Jawabku polos.
"Yang mana aja, yang penting bersih dan layak pakai, dek. Tapi kalau bisa, kasih yang terbaik untuk tamu." Kata ayah sambil mengambil salah satu sarung terbaiknya.

Laki-laki itu sudah keluar dari kamar mandi. Ia kini berdiri di ruang tamu sambil memperbaiki gulungan lengan bajunya. Tampan sekali. Seolah aku bisa melihat malaikat benar-benar keluar dari tetesan air wudhunya.

Ia memalingkan pandang menangkap aku yang tengah memperhatikannya. Tersenyum. Ya Tuhan, andai malaikat benar bisa dilihat, mungkin saja aku akan keliru membedakan seseorang di dekatku, dengan makhluk cahaya itu.

"Eh, maaf mas. Ini sarung dan pecinya. Dicoba dulu." Kataku sambil menyerahkan seperangkat alat shalat di tanganku.
Ia lalu mengenakan peci tanpa bercermin. Aku masih belum beranjak dari tempatku. Layaknya seorang istri yang menunggui suaminya.
"Pas, dek. Terimakasih, ya" katanya. Membuatku sadar, seharusnya aku langsung masuk setelah menyerahkan sarung dan peci itu.
"I-iya, mas, sama-sama. Saya masuk dulu." Aku membalik badan dan nyaris menabrak ayah yang baru saja datang.
Kemudian, dari balik jendela kamar, kulihat ayah dan lelaki itu berangkat ke masjid beriringan. Berbincang ringan. Kali ini lebih serius. Lagi-lagi aku hanya bisa menebak apa yang sedang mereka bicarakan.

Sambil menunggu mereka pulang, aku shalat dan mengisi ulang sesuguhan yang mulai berkurang.

Sudah lebih setengah jam, tapi ayah tak juga datang. Aku lalu membuka Al-Qur'an dan tadarus di dalam kamar.

"Assalamualaikum..." baru mengaji satu halaman suara mereka sudah terdengar. Aku segera keluar dan mencium tangan ayah. Seperti yang biasa kulakukan. Laki-laki itu masih diam di belakang ayah, menunggu ritualku selesai dan membalikkan badan. Ayah lalu meminta teh hangat baru yang segera kubuatkan. Aku sedikit berlari menuju dapur. Buru-buru, tak melihat ada sesuatu di atas lantai yang membuatku tersandung dan seketika terjatuh.

Bugghh!!! "Aw..."
Aku membuka mataku terpaksa. Sakit. Dipanku terlalu tinggi. Ah, benar saja. Ini hanya mimpi. Pantas indah sekali.

Jumat, 10 Desember 2021

"Berpendidikan Tanpa Berkarir?"

"Bun... Si dedek nangis. Maaf ya ayah langsung berangkat." Kecup suamiku di keningku. Suatu kebiasaan setiap pagi, sebelum berangkat kerja.

"Dek.. Haus ya dek.. Ayo sini sama bunda." Kugendong putra pertamaku, Arya Muhammad yang di bulan ini ia berumur 7 bulan.

Pandanganku tak lepas dari matanya yang sangat indah. Seakan jiplakan dari mata ayahnya yang tegas namun lembut. Sudah 2 tahun perjalanan rumah tanggaku dengannya. Banyak lika-liku kehidupan yang menurutku lucu. Karena setiap permasalahan pasti berujung penyesuaian dan kesepakatan bersama. Baik suami maupun istri, kami sama-sama tidak bisa mengedepankan ego kami. Tapi juga sekaligus perlu banyak menimbang mata dan mulut orang tua, mertua juga masyarakat.

Aku sedang tidak enak badan hari ini. Nyeri di lambungku menjadi-jadi dari subuh tadi. Bersandar di sofa ruang tamu, sejenak kuamati langit-langit ruang tamu yang penuh dengan sangkar burung. Ah,, indahnya hidup ini. Setiap pagi mendengar kicau burung nan syahdu. Membuat suasana rumah menjadi lebih asri. Hijau dengan tetumbuhannya. Menyatu dengan alam.

Di ruang tamu itu juga, terpampang ijazahku dan ijazah suamiku dalam bingkai emas yang cantik. Ya, kami dari fakultas yang sama. Sama-sama menempuh jurusan bisnis internasional. Suamiku adalah kakak tingkatku dua tahun. Ia senior kejam yang jatuh hati pada adik kelasnya. Aku terpingkal-pingkal sendiri membayangkan lugunya si sadis ketika menyatakan ijab qobul di hari pernikahan.

Menjadi penasihat keuangan di salah satu perusahaan ternama, gaji yang sangat cukup dan jam kantor yang tetap ramah bagi sepasang kekasih. Itu merupakan nikmat bagiku mendapat suami seperti dirinya. Walau teman sejawatku selalu menyayangkan diriku yang katanya mubazir pendidikannya. Seolah hanya membuang-buang uang saja. Meraih gelar sarjana dan terdampar di dapur sambil menenteng bayi.

Aku selalu tersenyum getir mendengar komentar sepihak dari manusia-manusia itu. Walau kenyataannya memang begitu, namun yang dirasakan dalam kenyataan tidaklah sepahit yang diucapkan. Malah aku bersyukur telah melalui masa-masa kuliah hingga lulus dan melangsungkan pernikahan dengan proses yang amat mulus.

Bagiku, menapaki pendidikan yang tinggi tidak harus selalu berakhir dengan karir yang juga tinggi. Segudang prestasi bukannya mubazir kendati seorang perempuan memilih menjadi istri yang taat pada suami, mengurus rumah dan menjaga bayi. Karena kuliah tidak bicara ijazah, tidak bertanya profesi apa selanjutnya kita bekerja. Tapi lebih dari itu, proses kehidupan yang mendidik kita untuk menyelesaikan banyak permasalahan, mengatur waktu dan mengambil peluang, tidak bermalas-malasan demi tujuan yang diharapkan, dan pelajaran-pelajaran hidup lain yang boleh jadi tidak bisa kita dapatkan kecuali dengan menempuh fase itu, itu adalah hal yang juga akan menjadi satu hasil selain lembar pengakuan.

Anak-anak akan bangga memiliki ibu yang berpengetahuan dan berpengalaman. Yang bijak, yang setiap keputusannya diambil berdasarkan pertimbangan yang logis dan matang.

Seorang kawan beropini bahwa kehidupan sosial di kampus hanyalah miniatur dari masyarakat sesungguhnya. Di masyarakat, ia benar-benar bertemu dengan jutaan warna sifat dan pola pikir jutaan manusia. Jika di kampus dulu ia hanya bisa memiliki satu dua teman yang dipercaya, di masyarakat ia wajib memiliki kepercayaan di semua hati tetangga. Katanya. Berkorban untuk mendapatkan hati orang, tapi tidak tersirat kedengkian. Jauh bertolak belakang dengan rumus bisnis yang kami pelajari.

Disaat ini pun, aku selalu mengesampingkan simbiosis mutualisme dalam kehidupan sosial. Karena belum tentu semua yang memberikan kita manfaat adalah yang kita berikan manfaat padanya.

Aku bersyukur dapat mengarungi tetesan-tetesan takdir kuliah dulu. Rumah tangga ini adalah ujian praktek yang tak ada ujungnya. Pantas saja para orang tua dahulu memiliki ketajaman pikir yang selalu tak terduga. Tentu saja mungkin karena mereka telah makan asam garam kehidupan nyata. Suamiku pun sampai detik ini mengetahui mimpi dan anganku. Aku bercita2 menjadi eksekutif bisnis di salah satu perusahaan terbesar di Jakarta. Dan aku yakin diriku akan mampu untuk meraihnya. Namun aku pun sadar.Seribu anak buah yang hebat tidaklah sebanding dengan satu anak kandung yang ta'at. 

Aku yakin dengan keputusanku untuk menikah dan memiliki anak. Dan lebih tenang rasanya menjadi seorang ibu tanpa embel-embel jabatan. Lega sekali aku diam dalam perenungan ini. Semoga diriku semakin kuat dan hebat tanpa haus validasi yang membuat banyak orang berdebat.

Rabu, 08 Desember 2021

Perihal Doa; Akal Kita yang Terbatas, Tidak Mampu Memahami 'Maksud Tuhan' yang Begitu Luas

"Eksistensi sebuah doa sebenarnya ada pada pengakuan diri bahwa kita ini lemah. Kita butuh kepada Allah, dan mengakui bahwa hanya Dialah yang mampu mendengar doa-doa kita. Itulah kenapa tidak semua doa dikabulkan-Nya. Tapi semua doa pasti mendapat respon-Nya. Mendapat jawaban-Nya."

Dua hari saya berdiskusi perihal doa. Bertanya tentang pernyataan di atas. Karena begini, dalam prakteknya,  jika doa itu dilakukan sebagai bentuk penghambaan, seseorang seharusnya cukup dengan mengadukan permasalahannya saja, meminta kebutuhannya saja, atau apapun yang ingin ia adukan pada Tuhannya. Setelah itu, bukankah mengingat Allah hati menjadi tenang? Lalu kenapa kita gencar berdoa dengan hajat yang bergelimang lalu resah karena setiap detik menunggu semuanya dikabulkan?

Kalau ada perasaan 'memaksa', bahwa Tuhan harus mengabulkan doa kita dan lantas kecewa saat semua yang terjadi tidak sesuai dengan yang kita pinta, bukankah hilang esensi menghamba?
Jadi, kita menghamba pada siapa?
Tuhan, atau ego manusia kita?

Saya mendapat satu penjelasan yang cukup sederhana tapi luar biasa, hal ini ternyata adalah yang sering kita lupa. Bahwasanya manusia itu sifatnya maratib, secara bahasa artinya bertingkat. Para Ulama Tasawwuf sepakat akan hal ini. Bertingkat di sini maksudnya adalah setiap individu itu tidak sama. Tingkatan ilmu, iman dan fahamnya berbeda, dari level paling sederhana sampai level 'Alim 'Ulama.

Maka perihal doa ini, orang-orang awam seperti kita memang seringkali menengadah sambil memaksa. Mengaharap tapi kemudian kecewa. Dan untunglah para alim tak segan-segan membagikan pemahamannya. Tapi bukankah itu artinya kita tidak boleh berhenti belajar dan bertanya?

Dan, hey! Bukankah Allah lebih dekat kepada orang bodoh yang semangat belajar dari pada si alim yang sombong hatinya?

Lalu, kembali laptop. Kita sudah sampai pada kesimpulan bahwa seorang hamba itu semestinya/ada baiknya sadar bahwa seusai berdoa, apapun yang menjadi takdirnya, itu adalah jawaban dari doa-doanya. Akal kita yang terbatas tidak mampu memahami 'maksud Tuhan' yang begitu luas. Takdir kita hari ini adalah jawaban doa kita kemarin, bahkan doa kita beberapa tahun yang lalu. Dan boleh jadi, efeknya bisa berlanjut sampai bertahun kemudian. Nah, itulah jawaban dari doanya. Hanya kadang kita tidak sadar. Kita merasa doa-doa kita belum dikabul, padahal itulah jalan terbaik atas pengabulannya.

Seperti ungkapan Ibn 'Athailah Assakandari dalam kitab Hikam-nya:

ربما أعطاك فمنعك، و ربما منعك فأعطاك، و متى فتح لك باب الفهم في المنع، فصار المنع عين العطاء.



Semuanya terlihat sederhana, bahkan Air mata tidak bisa membeli takdir-Nya. Kecuali air mata takwa, yang itu bisa membeli surga.

Selasa, 07 Desember 2021

Yang Membuntutimu itu Bernama Takdir


Kemarin malam saya sempat berkabar dengan seseorang bahwa saya merasa tidak enak badan. Sampai selasa pagi pun kepala masih sakit dan sedikit demam, tapi saya memaksa mandi dan berangkat ke perantauan. Kembali ke Kota Hujan.

Sebelum berangkat saya sempat makan dan merasa diri saya baik-baik saja. Tidak ada tanda-tanda buruk akan menimpa.

Saya naik KRL tujuan Duri dan sempat bergumam tepat satu stasiun sebelum stasiun transit tempat saya berganti kereta, "kayaknya nggak apa-apa nih kalau nanti nggak dapat duduk. Kuat, lah..." Dengan sangat PD nya saya berpikir demikian.

Lalu Allah mengabulkan dan mungkin sekaligus memberi pelajaran. Seperti ingin mengingatkan 'kalau bicara itu jangan sembarangan!'.

Takdir lalu mengikuti perjalanan. Ia terjadi seperti apa yang saya katakan. Hanya bagian tidak mendapat tempat duduk saja, tidak sepaket dengan kekuatannya.

Saya berganti kereta di Stasiun Duri dan sampai stasiun Manggarai saya merasa masih baik-baik saja. Hanya sedikit pegal.

Masuk Tebet kepala saya sudah mulai kliyengan. Tapi masih dengar suara sekitar.

Kereta melaju lamban. Atau ini hanya perasaan saya saja. Yang kemudian disusul rasa yang saya sendiri tidak faham apa itu.

Semuanya gelap, nafas saya sesak, hidung berair, saya sudah tidak lagi merasakan apa-apa. Tapi saya masih ingat saat itu sempat menurunkan tas berat saya ke lantai sebelum akhirnya terkulai.

Mas-mas berkacamata di belakang saya, entah apa responnya. Tapi ketika saya sadar, sudah 2 stasiun dari tempat terakhir saya bisa mendengar suara.

SAYA PINGSAN.

Terkejut saat sadar dan sekeliling saya banyak orang dengan minim perempuan, saya refleks langsung mengambil tas dan berjalan sempoyongan keluar. Menyeruak di antara kerumunan orang.

Saya mengabari kakak saya tentang kejadian barusan. Berdiskusi, dan setelah satu setengah jam saya berdiam menunggu kereta yang lebih lengang, akhirnya saya tetap melanjutkan perjalanan meski kembali berdesakan.

Kereta Bogor di awal jam-jam malam tak pernah lengang. Saya tidak akan sampai kalau masih keras kepala menunggunya.

Lalu sampai di stasiun tujuan sudah cukup malam dan mengabarkan siapa saja yang ada di sekitar, berharap ada yang berbaik hati mengantar karena saya mulai khawatir juga dengan diri saya sendiri.

Tapi saya tidak sabar, tak ingin menunggu lama, akhirnya angkot pun saya sambar. Padahal, sudah ada kawan yang siap menjemput saya semalam.

Ah sudahlah. Saya sudah tidak keruan.

Sampai di tempat tujuan sudah set. 10 malam. Saya makan dan merebahkan badan. Menelpon seseorang.

Badan saya panas seperti terbakar api kemarahan. Atau cemburu berlebihan. Hehe

Saya sudah mencoba menulis beberapa paragraf untuk Day 7 kemarin. Bahannya sudah saya siapkan. Ini adalah request seseorang, dan saya sampai mengajak berdiskusi beberapa kawan demi judul yang ia ajukan. Tapi demam membuat otak saya tidak bisa bekerja maksimal.

SAYA TEPAR.

Senin, 06 Desember 2021

Suatu Hari Sebelum Hari ini (3)

Aku tak begitu mengenalnya. Ia mungkin sosok pendiam, atau sebaliknya. Atau pendiam sekaligus juga cerewet pada orang yang berbeda. Kawan-kawan sering menyebut laki-laki di hadapanku ini sangat anti wanita. Dingin, dan tak ada satu pun kontak perempuan di whatsappnya. Kalaupun ada, ya itu hanya aku. Itulah kenapa, seringkali mereka bertanya tentang hubunganku dengan pria aneh ini.
Bukan hanya kawan sejawat, adiknya sendiri juga berkata hal serupa. Tidak ada kontak perempuan di whatsappnya kecuali aku. Mungkin maksudnya selain ia dan ibunya. Tapi ah, mana aku peduli.

Sepanjang perjalanan aku hanya diam, sesekali menjawab pertanyaan. Ia tak begitu pendiam, tapi perjalanan menjadi amat panjang. Kupikir hanya perasaanku saja karena canggung, ternyata memang ia membawaku jauh dari titik pertemuan kami. Aku hanya diam, menunggunya memarkirkan sepeda motornya. Tapi kami malah berbelok masuk ke pekarangan suatu masjid. Aku ingat kami belum shalat ashar. Lama sekali aku menunggunya, ternyata.

Setelah semuanya selesai, kami melanjutkan perjalanan tapi kedai kopi (kafe) baru yang ia janjikan masih belum juga kelihatan. Aku semakin tak sabar karena kali ini kami sudah keluar Jakarta dan masuk Kota Tangerang. Kulihat-lihat daerah yang kami masuki ini tidak jauh dari pesantrenku, tempat yang baru saja kukunjungi. Kenapa dia tidak bilang saja bahwa kafenya dekat sini? kan aku tidak perlu jauh-jauh putar balik ke Jakarta dan menunggu lama. Tapi, ah, takdir memang senang sekali bercanda.

Kami berputar-putar, tersasar. Ia lalu membuka ponselnya membuka aplikas peta penunjuk jalan. Aku memperhatikannya kebingungan. Aku lebih bingung lagi karena ia ternyata bukan membawa kami ke kafe yang pernah ia sebutkan. Sampai pada suatu kedai, sepeda motornya ia parkirkan.

                         "KOPI JANJI JIWA"

Loh, ini dekat sekali dengan pesantrenku. Batinku. Tapi aku tidak mengatakannya. Aku membiarkan semua berjalan seperti apa adanya saja.

Kami lalu memesan dua kopi yang berbeda, aku tertarik Avocado Coffee yang entah apa nama aslinya. Setelah membuat pesanan, kami mencari tempat yang nyaman untuk bertukar pikiran, atau hanya sekedar berbincang. Ia memilih teras dan segera kuiyakan. Kudapati semburat senja kekuningan. Menampar wajahku yang kaku menunggu lelaki bermata bulat ini memulai perbincangan. Sampai pesanan kami datang, ia membukanya dengan basa-basi membahas rasa kopi.

Semakin sore, obrolan kami sudah ke sana kemari. Langit menyajikan warna merah jingga, dan hamburan cahaya oranye di sekitarnya. Laki-laki di hadapanku ini semakin semangat bercerita. Aku senang ia menumpahkan kegundahannya padaku, meski aku tak tahu apakah aku satu-satunya, atau hanya salah satunya. Hehe, aku tidak baper, ini hanya pemanis saja.

Lihatlah, di tengah keluh kesahnya, aku malah melamun menikmati suasana.

Ada 3 elemen yang aku suka.
Aku suka senja,
Aku suka kopi,
Dan aku suka kamu.
Lalu hari ini, Semesta  menyajikan semuanya di hadapanku.
Ia membuatku menghabiskan senja, dengan secagkir kopi bersama kamu.

Sambil menulis puisi itu, kulukis juga semburat senja dan secangkir kopi dalam buku harianku. Hanya dua elemen itu. Karena wajahnya, aku sudah hafal sekali. Aku melukisnya dalam ingatanku sejak pertama kali kami bertemu. Ia sahabat baikku.

***

Pertemuan selesai meski obrolan kami sebenarnya masih belum usai. Kopiku tersisa banyak, aku tak menyangka akan sepahit ini. Untunglah, teman ngopiku tidak ikut menceritakan hal-hal pahit dan aku masih bisa menikmatinya dengan senyum (yang dipaksakan) manis.

Kami beranjak dari kedai kecil itu. Dia mengantarku ke stasiun terdekat. Masih kunikmati langit yang tak lagi biru. Ia lalu menjelaskan alasan kenapa membawaku ke kedai barusan, bukan kafe yang pernah ia janjikan. Aku menerima alasannya. Ia memang anak baik.

Hampir maghrib ketika kami sampai di stasiun. Ia langsung pamit pulang. Setelah kupastikan punggungnya menghilang, sisa kopi yang masih lebih dari setengahnya itu lalu kubuang. Pahiittt. Itu akan merusak moodku sampai malam.

Aku check in dan mengeluarkan ponsel menelpon seseorang. Ia yang berkeliling Jakarta sejak pagi tadi. Aku memintanya menunggu di stasiun Gr*gol. Hanya melewati dua stasiun dari tempatku sekarang berdiri.
Setelah sampai, aku melihatnya berdiri bersandar. Mungkin ia kelelahan. Kuhampiri ia yang segera mengulurkan tangan. Kutolak. "Aku punya wudhu," dalihku.

Adzan maghrib berkumandang lalu kami berjalan mencari masjid sambil berbincang ringan. Ia begitu santai, tapi aku, begitu kentara menampakkan rasa tidak nyaman.

Laki-laki yang baru saja menyelesaikan shalatnya ini, sebenarnya adalah sahabat si mata bulat. Aku tak memberi tahunya bahwa orang yang barusan kutemui, yang menemaniku minum kopi, adalah sahabatnya sendiri. Aku juga tak mengabarkan si mata bulat bahwa setelah ini, dengan sahabatnyalah aku membuat janji. Kupikir, itu sungguh tidak penting. Mereka hanya akan membahas hari ini suatu saat nanti.

Seusai shalat ia memesan taxi online dengan tujuan restoran ayam yang itu berati aku harus makan. Aduh, aku tak bisa menolak tapi aku juga masih kenyang. Lalu kami hanya berbincag sambil kunikmati kulit ayamku. Tak kuhabiskan.
"Kenapa nggak bilang kalau nggak mau makan?" tanyanya.
"Hehe," sambil berlalu ke westafel dan mencuci tangan, aku hanya menjawabnya cengengesan.
Tak ingin berlama-lama, aku menagih sesuatu, barangku yang ia pinjam. Tapi ia lagi-lagi beralasan. Entah benar atau tidak. Tapi, kalau barangnya memang tidak ada, bukankah ia bisa memberitahuku dari awal saja? Lalu aku merasa terjebak.

Aku lalu pulang dengan perasaan geram. Ia menangkap ketidaknyamanan sejak awal petemuan. Di jalan, di masjid, di taxi, di restoran, sampai di jalan pulang. Biarlah, biar dia sadar bahwa ia memang menakutkan.

Seingatku, itu adalah terakhir aku sengaja menemuinya. Sampai hari ini. Tidak ada pertemuan lagi. Tidak ada yang disengaja. Ia menjalani hidupnya sendiri. Aku pun juga begitu.

Sabtu, 04 Desember 2021

Suatu Hari, Sebelum Hari ini (2)

Aku menikmati takdir. Bahwa kini, kita bisa berbincang dengan lebih leluasa.
Bercerita apa saja sampai air mata beradu dengan suara.
Hanya berdua. Disaksikan kelopak-kelopak kamboja yang tak pernah berkomentar tentang kemesraan kita.

Aku menikmati takdir.
Bahwa Tuhan memberi kesempatan untuk kita menjadi lebih dekat meski semesta membuat banyak sekat.

 Matahari masih belum meninggi. Aku lalu keluar area pemakaman dan melanjutkan sowan ke ndalem Ning Qoonit. Putri pertama Aby. Aby memiliki satu putra dan empat orang putri. Seolah kerajaan dalam keluarga ini memang dibentengi oleh putra pertamanya, Gus Rain sebagai anak sulung penerus perjuangan Aby.

 Ning Qoonit pasti ada di ndalem, karena beliau sedang hamil tua sekarang. Selain itu juga memang Ning Qoonit begitu terjaga dan tidak pernah keluar kecuali bersama suaminya. Aku ragu bersuara setelah langkah sudah sampai di penghujungnya. Teras kecil kediaman Ning Qoonit sudah di depan mata. Aku hanya menatap lekat-lekat rumah bercat putih krem yang elegan itu. Minimalis tapi manis dengan banyak pot-pot berisi bunga belasan jenis.

 Aku masih terpaku dan belum berani melepas sepatu, tapi tak lama kemudian kudengar suara Ning dari balik pintu. serpertinya sedang menelpon. Lalu aku menunggu tanpa mendengarkan pembicaraan. Setelah kurasa suara Ning Qoonit menghilang, saat itu kuberanikan mengucap salam.
"Assalamu'alaikum..."
"Wa'alaikumussalam waramatullah..." kudengar jawaban salam yang seolah si penjawab tahu bahwa sejak tadi sudah ada yang menunggu.
 Ning Qoonit lalu membuka pintu pelan, membuat celah lalu mengintip keluar, memastikan apakah tamunya bersama laki-laki atau hanya perempuan. Setelah yakin bahwa tamunya seorang perempuan dan hanya sendirian, beliau dengan sigap membuka pintu lebar-lebar. mempersilakanku masuk dan menyiapkan jamuan. Duh, melihat wanita dengan perut besar begitu repot bolak-balik membuatku gemas sekali, ingin mencegahnya tapi beliau pasti akan bilang, "tidak apa-apa, tamu itu harus dihormati. Bawa berkah." Dan akhirnya aku hanya tersenyum dan berkata "padahal tidak perlu repot seperti ini loh, Ning." Beliau hanya tersenyum penuh arti, dan jamuan itu segera kunikmati. Kapan lagi makan jamuan ndalem. hehe

 Seperti yang terjadi tadi di ndalem Ummik, di sini juga aku terus mengobrol ke sana ke mari. Ning Qoonit lalu bertanya tentang alasanku dulu berhenti mengabdi yang segera kuceritakan alasan sebenarnya.

 Tak terasa hari semakin siang dan aku ingat ada janji dengan seseorang. Aku lalu pamit dan Ning Qoonit sigap memberiku bekal. Beliau memberiku buah-buahan, susu dan air mineral, juga cemilan untuk di jalan, katanya. Tapi tasku kecil dan itu tidak akan cukup kugenggam. Beliau memaksa, harus dibawa. Katanya, ini berkah, semoga ikut ngalir ke kamu berkahnya. Mendengar kalimat seperti itu, aku lantas enggan menolak meski hanya sebiji anggur.

 Aku lalu segera ke kantor PSB (Penerimaan Santri Baru) mencari abdi dalem-abdi dalem muda dan menemukan mereka sedang asik berdikusi di sana.
"Assalamu'alaikum... Hei, lihat nih saya bawa apa!?" Aku menjulurkan tangan berisi buah-buahan yang tidak diwadahi. Iya, Ning Qoonit tidak menemukan semacam kresek atau apalah untuk aku membawa perbekalan ini.

"Wa'alaikumussalam... Eh, apa ini...?" Mereka bukan bertanya apa yang aku bawa, tapi menanyakan dari mana asalnya.

"Dari ndalem Ning." bisikku, lalu mereka langsung menyerbu tanpa minta persetujuanku. Memang sudah kusodrokan, biar saja mereka habiskan. Aku hanya menyisakan satu apel merah dan sekotak susu di dalam tas kecilku. Itu sudah lebih dari cukup.

Setelah basa-basi, salah satu dari mereka manawarkan makan siang gratis yang tidak kutolak sama sekali. Malah kucandai, kubilang ingin makanan yang biasanya sulit ditemukan di siang hari. Aku meminta kebab, dan benar saja, mereka menatapku berkali-kali, bergantian. Lalu aku hanya terkekeh dan berpesan, "pokoknya harus dapat." 

Sambil menunggu makan siang, kami berdiskusi panjang. Salah satu dari mereka bertanya banyak hal, yang lain lalu ikut menumpahkan kegundahan. Aku bukan si pandai yang bisa menjawab banyak hal, tapi rindu menyatukan kami dengan banyak obrolan. Senang sekali menjadi pendengar mereka. Pertanyaan mereka terjawab sambil diskusi yang mengalir begitu saja. Sesekali aku tergelak karena lelucon mereka. Atau mereka membongkar kisah lalu dan mengatakan bahwa dulu, aku terkenal tak pernah tertawa. Jangankan tertawa, senyum saja rasanya susah. Begitu komentar mereka. Tapi hari ini, tidak ada lagi sekat. Aku sudah bisa lebih bersahabat dengan tetap menjunjung martabat, ceileh.

 Makan siang datang dan aku terkejut melihat seonggok kebab dihidangkan cantik di atas meja. "Khusus untuk Ustadzah jutek," katanya. Kurang ajar, aku terkekeh mendengar ledekannya.
"Jangan lagi panggil Ustadzah, saya suka gatel pengen hukum kalo kayak gitu," kataku sambil menymbar kebab hangat itu. Mereka terbahak demi mendengar kalimatku.

 Tak terasa waktu sudah semakin siang. Aku kembali ke ndalem Ummik untuk berpamitan, tapi kemudian adzan zuhur terdengar. Ummi memintaku shalat sebelum melanjutkan perjalanan. Aku tak menolak dan justru sangat senang. Beliau menyiapkan mukena sementara aku mengambil wudhu di belakang. Setelah semuanya siap, Ummik berdiri di depanku menjadi imam, dan aku bermakmum dengan hati penuh bunga-bunga bermekaran.

 Tak kusangka bisa shalat berdua saja dan menjadi makmum satu-satunya. Ingin kuadukan ini lagi pada Aby, tapi sepertinya Aby juga menyaksikan. Shalat selesai dan aku segera mencium tangan umi sebelum memanjatkan doa panjang. Ummik yang memimpin doa dan aku setia mengaminkan. Setelahnya, aku kembali mencium tangan Ummik dan melipat mukena serta sajadah. Ummik masuk kamar sebentar lalu keluar. Mengantarku ke teras dan berpamitan.

 Aku keluar area pesantren dan segera mencari warung makan karena sebelum berbincang dengan nasi, cacing di perutku tidak akan mau diam. Sambil menikmati makan siang yang benar-benar makan siang, aku membuka lagi ponsel yang sejak tadi, lagi-lagi kuabaikan. Aku mencari kontak seseorang yang sebenarnya ada di recent update terdepan. Kutanyakan perihal janji temu hari ini, lalu ia menyanggupi.

 Usai makan aku kembali ke stasiun dan naik kereta ke arah Jakarta. Yang itu artinya, berlawanan arah dengan jalan menuju rumah. Aku turun di stasiun pertama pinggir Jakarta. Tak kutemukan orang yang kukenal di sana. Aku menunggu lama. memperhatikan penjual gorengan yang menatapku heran. Loh, aku menjadi lapar melihat pisang-pisang krispi itu. Sialan. 

 Setengah jam berlalu, si abang tak kunjung mengabariku. Aku memang sudah terbiasa sekali menunggu, tapi kali ini, lagi???

 Sudah hampir satu jam aku berdiri dan bersungut-sungut menanti. Lelaki bermata bulat itu tak kunjung datang dan aku mulai berpura sibuk dengan gawai. Malu pada orang-orang sekitar.

 Di tengah sedikit rasa kesal dan malu, seseorang justru menghentikan motornya tepat di hadapanku. Aku sedang malas marah. Kudiamkan saja. Tapi ia tak kunjung beranjak. Kulirik sekilas, pengendara motor itu mengenakan topi. Mata kami bertemu.
"Heeeiiiiii....." sapanya.
"Eh, hei." Aku menjawab kikuk bingung harus menyapa bagaimana.
Kami berbincang sebentar sebelum akhirnya pergi. Ia mempersilakanku naik ke atas sepeda motornya. Oh Tuhan, ini pertama kali aku duduk satu jokes dengannya. Entah kenapa jokes yang satu ini tidak membuatku tertawa padahal jokes seharusnya lucu.

To be continue...

Suatu Hari, Sebelum Hari ini.



Hari itu, aku yang sudah berbulan-bulan ndekem di Bogor berencana pulang ke Tangerang. Banyak rencana sudah kusiapkan. Tempat apa saja yang akan kukunjungi, siapa saja yang akan kutemui. Sampai saat aku tiba di stasiun kereta, kulihat seseorang membagikan fotonya yang sedang berkeliling Jakarta. Entah acara apa. Mungkin dia memang seperti itu. Mungkin ia menyukai jalan-jalan sendirian di keramaian, menaiki bus lalu turun di setiap halte tempat bus itu berhenti, untuk kemudian menaiki bus selanjutnya dan turun lagi. Atau menaiki kereta lalu mampir di setiap stasiun kereta itu berhenti. Hanya untuk memperhatikan keriuhannya. Hanya untuk merasakan ramainya. Hanya untuk menguji sepi hatinya. Atau hanya untuk mengoleksi foto-foto perjalanan di galeri ponselnya.
Aku melihat ia masih terus memperbarui keberadaannya. Dari satu halte ke halte lain, dari satu lampu merah ke lampu merah lain. Lalu sejurus kemudian, kukomentari salah satu postingannya. "Aku pulang, nih. Masih keliling Jakarta?", ia tak langsung menjawab. Mungkin masih sibuk dengan kegiatan mempotretnya. Aku lalu memasuki kereta yang kebetulan langsung berangkat. Hari ini semuanya berjalan begitu lancar tanpa ada yang menghambat. Aku merasa Tuhan memudahkannya karena tujuan pertamaku adalah berziarah ke Makam Kyaiku, Kyai Ihsan. Aku juga berniat melanjutkan silaturrahmi ke Pesantren dan ke keluarga ndalem.

Aku tertidur di kereta sampai stasiun akhir tempatku transit. Lalu dibangunkan penumpang lain yang khawatir dan berfikir mungkin saja aku juga mesti berganti kereta dan harus segera disadarkan. Aku berterimakasih lalu kemudian keluar dengan tergesa-gesa. Aku lapar. Tapi tidak ada kedai makanan di dalam stasiun transit ini. Semuanya berada di luar dan harus cek out dulu untuk bisa menikmatinya. Sayang sekali, hanya untuk membeli roti dan air mineral aku harus membayar double ongkos perjalanan. Sebenarnya tak seberapa, tapi kali ini laparku masih bisa ditahan, jadi rupiah segitu masih akan kusayangkan.

Kulanjutkan perjalanan dengan kereta yang baru. Menuju stasiun tujuanku. Kulihat ponsel yang sejak tadi kuabaikan. Beberapa panggilan tak terjawab dan puluhan pesan wasuk ke nomor whatsappku. Seseorang yang aku komentari story whatsappnya. Ia bertanya dimana aku sekarang yang segera kujawab bahwa aku sudah di dalam Kereta menuju Tangerang. Ia lalu meminta bertemu, tempatnya ia yang menentukan tapi aku sama sekali tidak menjanjikan. Aku punya janji temu dengan orang lain. Aku memanggilnya abang, walau sebenarnya kami seumuran. Aku membuat janji temu semata karena Ia pernah mengajakku ngopi saat ada grand opening kafe baru di dekat rumahnya, tapi belum aku iyakan, dan kebetulan hari ini kesempatan itu kugenggam.

Stasiun demi stasiun kulewati dan akhirnya sampai di stasiun tujuan, aku dengan sigap keluar dan kali ini tidak menggunakan jasa ojek online. Sesekali pakai ojek konvensional kan tidak merugikan, pikirku.

Aku lalu menuju makam, letaknya di sebelah ndalem dan dekat sekali dengan masjid tempat santri putra melaksanakan shalat jama'ah serta beberapa kegiatan lain. Malu sekali. Saat itu hari minggu, biasanya menjadi hari sambang, tapi karena ada protokol yang harus dipatuhi dan dijaga, gerbang menjadi tak sembarangan dibuka. Aku menerobos kerumunan orang yang berkumpul di depan gerbang karena ditolak masuk bertemu putranya di dalam. Hanya mereka punya keperluan khusus yang boleh masuk. Sampai saat jarak antara aku dengan gerbang begitu dekat tanpa sekat, di sanalah kudapati wajah seorang ustadz. "Saya mau ketemu ummik." Jelasku tegas. Tanpa ditanya, tapi aku tahu tatapan matanya ingin melontarkan pertanyaan yang jawabannya baru saja kujelaskan. Ia lalu membuka gembok, mempersilahanku masuk. Tanpa pertanyaan lanjutan, tanpa banyak persyaratan.

Aku masuk dengan gugup karena harus sowan ke ndalem terlebih dahulu sebelum ke makam. Untunglah Ummik tidak sedang sibuk dan aku bisa menemui beliau tanpa harus menunggu lama. Hari ini, semuanya benar-benar dilancarkan. Aku mengobrol banyak dengan Ummik mulai dari kabar ndalem, perkembangan pesantren, jumlah santri, bertukar tanya dan bercerita tentang kesibukan yang sedang aku geluti, dan Ummik tidak merasa canggung dengan hal itu. Seperti umi sendiri.

Setelah banyak bercerita, aku pamit untuk ziarah ke makam Aby, begitu para santri memanggil poros dari pesantren ini. Aku berdoa lama sekali. Bercerita bahwa aku sedang akan menyelesaikan skripsi. Aku berharap Aby bisa menatapku lagi, atau bahkan juga memberi nasehat. Tapi entah kenapa, hari itu, dalam segala harap, aku juga sekaligus merasa Aby sangat dekat tak berjarak. Aku merasa tidak sedang bercerita pada nisan saja. Aby ada di sana. Aby mendengarkan dengan seksama. Aby membelai jilbab ujung kepala.

To be continue...

Jumat, 03 Desember 2021

Bekasi. Allah Maha Mendengar, Bahkan Jika itu Hanya Sebuah Lintasan Hati.



Sudah lama sekali aku memikirkan satu kota ini. Dekat, tapi untuk sekedar mampir, aku tak pernah sempat. Tak ada yang membuatku terpikat kecuali satu nama yang membuat hati terikat. Tak sudi tersekat. Apalah ini, tapi ini bukan sebuah puisi. Bukan tentang wanita yang merindui kekasih. Bukan juga bicara tentang pujaan hati.

Apalah ini, tapi ini bukan sekedar jerit dari hati yang kesepian. Hanya, semacam 'ingin' tentang sebuah pertemuan.

Aku tak menyangka secepat itu diberi kesempatan. Kupikir Tuhan tak akan mengindahkan sesuatu yang tidak diaminkan. Kupikir Tuhan hanya mengabulkan doa-doa yang dipanjatkan dengan tangan terbentang dan mata terpejam. Kupikir lintasan hati akan selamanya tersembunyi. Kupikir, Tuhan tak akan peduli.

Nyatanya, hari ini, setelah ratusan hari kusadari lintasan hari, ia membawaku menuju kota yang kuingini.

Esok, kita sambung cerita malam ini.
Aku lelah. Aku ingin merebah.

Esok, ada yang menunggu di perbatasan.

Kamis, 02 Desember 2021

Jangan Tertawa, Aku Malu.

Dek, malam ini aku akan menceritakan satu kisah seperti biasa. Dulu sekali, semasa kuliah, semester pertama, di asrama seringkali kehabisan air untuk mandi. Jadi, kalau kau bangun kesiangan sedikit saja, maka sudahlah, kau hanya akan pergi ke kampus dengan wajah kusut. Maka solusi terakhir adalah menutupinya dengan polesan make up.

Pernah satu waktu aku bangun kesiangan, kebetulan sedang halangan. Aku bangun dan mendapati setiap bak mandi sudah bersih tak berisi. Panik? Oh tidak. Aku segera masuk ke kamar dan mengelap wajahku dengan tissue basah, dilanjut dengan rangkaian make up lainnya. Cantik sekali. Tapi tidak menutupi perasaan tidak nyamanku karena belum mandi. Akhirnya, aku melancarkan satu misi.

Hari itu aku berangkat ke kampus dengan wajah yang segar sekali, tidak akan ada yang mengira bahwa gadis yang berjalan di depan mereka ini belum mandi. Aku masuk kelas dan belajar seperti biasa. Tapi hari itu jam kuliahku padat, setelah selesai kelas ini, aku masih harus masuk kelas yang lain. Tapi, jeda waktu yang kupikir lumayan untuk mengguyur sebentar badanku tak bisa aku sia-siakan. Aku dengan santainya masuk toilet umum dan membawa serta tasku ke dalamnya. Aku membawa sabun mandi dan handuk. Mengguyur badan tanpa membasahi muka sama sekali. Sayang, make up-ku. Pikirku. Haha, picik sekali, bukan? Tapi, di luar alasan itu, ada alasan lain yang membuatku akhirnya tidak membasuh wajah hari itu. Pertama, aku tidak ingin orang² tahu bahwa di dalam sana aku sedang mandi, karena akan malu sekali andai mereka tahu aku mandi di toilet kampus. Kedua, aku tidak membawa make up ke kampus dan tidak ada waktu juga untuk touch up make up meski tipis-tipis. Ketiga, karena aku sedang halangan, jadi tidak perlu berwudhu dan shalat dhuha. Aman.

Sampai hari ini, aku masih saja terpingkal-pingkal mengingat kelakuanku dulu. Bisa-bisanya aku mandi tanpa membasahi sedikitpun wajahku.

Oya, hanya untuk informasi saja, aku kuliah di tempat yang sejuk, dek. Terlampau sejuk malah. Di sana dingin. Jadi sebenarnya tidak masalah walau tak mandi seharian pun. Aku hanya tidak nyaman karena sedang datang bulan. Aku harus mengganti pembalut dan selalu merasa bersalah andai menggantinya tanpa membasuh dan menyabuni badan.

Jangan tertawa, dek. Aku malu.

Rabu, 01 Desember 2021

Habis Kuota; Dari Mana Bahagia itu Bermula?


Ada banyak sekali jalan menuju Roma, banyak sekali cara menjadi bahagia. Tapi problematika anak muda zaman ini semakin sederhana. Sesederhana habis kuota, tak bisa buka sosial media, tak bisa membalas chat dari wanita tercinta. Weileh, udah galau banget kelihatannya.
Padahal, ada banyak panggilan tak terjawab dari Kekasih sebenarnya. Ada ribuan conversation yang tak pernah dibaca. Diarsipkan saja.

Hari ini, jutaan anak muda mulai menampakkan dirinya; berjoget-joget di depan kamera, bersolek di depan kamera, makan-makan di depan kamera, bersedekah di depan kamera, shalat dhuha di depan kamera, semuanya dilakukan di depan kamera. Segala perasaannya butuh akan validasi manusia. Bahkan cantik/tampannya, perlu diakui dengan metode polling like terbanyak pada foto-foto yang disebarnya.

Andai mereka tahu, di pojok sana, di sebuah pesantren kecil tak ternama, ada senyum anak kecil yang mengembang setiap harinya. Hasil dari ketulusannya mengabdi pada Sang Kekasih. Seorang kawan ternyata mulai menyadari dari mana sumber bahagia itu bermula.

Hari itu, hari ke-3 sang anak tidur selepas shubuh. Mungkin karena 2hari sebelumnya sudah membuatnya sedikit terbiasa. Padahal selama ini, ia tak pernah absen menunggu pagi dengan membaca surat-surat dari Sang Kekasih.

Hari itu wajahnya muram. Seperti awan hitam di musim kemarau. Mengkhawatirkan.

Ada yang membuatnya gundah entah apa.

Sampai keesokan harinya, diputusnya rantai keburukan itu. Ia kembali bangun tahajjud yang disambung shubuh dengan bacaan Qur'annya. Sampai matahari menyapa, dibersihkan tubuhnya dan segera shalat dhuha.

Ia lalu berangkat ke sekolah dengan sumringahnya yang entah kenapa. Seorang teman satu asrama memperhatikannya. Oh, sesederhana itu untuk bahagia. Lalu kenapa masih butuh validasi manusia?

Rabu, 17 November 2021

Tidak Seperti Takdir



Siang ini aku sedang di rumah. Santai merebah. Meletakkan satu kaki di atas kaki lainnya. Menatap ponsel yang masih terhubung dengan pengisi daya, juga cemilan sederhana.


Damai sekali. Inilah yang disebut kenyamanan; mungkin.


Tapi tak lama, ponsel yang terletak tak jauh dari toples cemilanku itu berdering. Menampilkan satu nama memanggil; kawan.


Kudengar ia meminta izin berkunjung ke rumah. Tapi karena sedang tak ingin diganggu, aku lalu mencari cara agar tidak ditemuinya. Segera kusambar jilbab dan berlari ke luar.


Kukatakan, "Maaf, kawan, aku sedang di luar. Nanti aku kabari lagi yaa... Semoga lekas bertemu 🤗"


Begitulah.

Kawanku selalu menghubungiku untuk hal² yang seremeh itu. Padahal ia bisa saja langsung datang ke rumahku. Tapi dia memang sopan sekali. Tak seperti takdir. Rese. Tak menyapa, tak bertanya siap atau tidak, tak peduli menangis bagaimana rupa, ia tetap datang, ia tetap terjadi.



Selasa, 28 September 2021

Kapan Hari itu Tiba?

Aku jadi sering sekali berfikir tentang hari esok. "Apakah aku akan mengalami fase itu?" Fase yang saat ini marak manusia² seusiaku sedang sibuk melangkah masuk ke dalamnya.
Apakah aku akan merasakan yang namanya menikah? Apakah aku juga akan menjadi madrasah pertama? Mengandung 9 bulan dan melahirkan sesosok bayi mungil ke dunia? Apakah akan ada seseorang yang memanggilku "bunda?".

Ah, berat sekali rasanya membayangkan aku berada di sana. Meski ada perasaan takut juga yang menyelinap di dada, bahwa aku tak akan pernah merasakannya.

Aku berdiri di teras rumah sambil melihat hampir semua tetangga sudah sibuk menggendong bayi mungil mereka, membantunya belajar bicara, menyuapi MPASI, bernyanyi, menghitung jumlah burung di udara. Asyik sekali kelihatannya. Mengalihkan pandang ke smartphone tersayang, menatap puluhan gambar terpampang dengan keadaan yang masih tak kutemukan perbedaan. Masih seputar ibu dengan perut besarnya, foto hasil USG yang disebar dengan caption gembira, foto keluarga lengkap dengan suami dan anak² tercinta, semua dibagikan dengan sukacita dan aku masih bertanya² tentang 'kapan hari itu tiba?'.

Tak memaksa segera. Hanya penasaran saja. Apakah esok masih ada usia, atau tidak.

Selasa, 21 September 2021

Penyelam yang Malang

Pernah ada seseorang yang dilepaskan di laut tanpa diajarkan caranya berenang. Tidak diberi kesempatan untuk belajar. Caranya mungkin berbeda dengan orang kebanyakan. Waktu yang ia butuhkan pun boleh jadi tak sesingkat orang-orang.

Ia dipaksa menyelam sampai ke dasar tapi tak boleh kelelahan.
Ia bosan tapi tak boleh mencari hiburan.
Sesekali menabrak karang tapi tak sedikitpun boleh kesakitan.

Sayang sekali, dia memang terlalu angkuh untuk mengakui bahwa dia itu lemah.
Sayang sekali, dia terlalu banyak memikirkan orang lain, sampai dirinya sendiri nyaris lupa bernafas di dalam air.

Pernah sekali dia muncul ke permukaan.
Mengambil nafas untuk bisa menyelam lebih dalam.
Tapi seseorang mengangkutnya ke atas kapal.
Sang pemilik lautan nyatanya tak rela ada penyelam yang tak mematuhi aturan.
Dikatakanlah, bahwa dia adalah seorang pembangkang.
Katanya, tempatnya bukan di laut nan dalam.

Akhirnya, dengan langkah berat dia kembali ke darat.
Nafas panjang yang sebelumnya diambil di permukaan, rasanya di kerongkongan ia terjerat.
JAHAT. Pikirnya hari itu.

Mereka menarik si penyelam ke darat saat dia sudah benar-benar siap untuk menjadi penyelam yang hebat.

Meski di sisi lain, ia juga sangat bersyukur karena pada akhirnya, ia bisa bernafas dengan lega.

Dia itu, Saya.

Rabu, 02 Juni 2021

Saya Hanya Terpaksa, Lalu Ayah Membuat Anak Saya Terbiasa.

 


Perbedaan pola asuh dalam keluarga memang wajar sekali ya bund. Jangankan antara orang tua dengan mertua, kadang malah suami-istri bisa punya cara asuh yang berbeda loh. Nah, hal-hal seperti ini yang sudah mesti dibicarakan jauh sebelum anak lahir ya moms...


Saya mau cerita sedikit.

Saya punya anak usia 2 tahun yang sudah mulai kecanduan gadget. Sedikit banyak, ia mulai tantrum kalau tidak dikasih gadget. Marah sekali saya melihatnya.

Sebenarnya saya pribadi tidak membiasakan anak untuk bermain dengan gadget sepanjang hari, tapi kebetulan memang saat ini saya masih tinggal bersama orang tua (kakek-neneknya anak-anak), jadi, bukan cuma saya yang mengasuh anak-anak.

Beberapa hari kemarin saya sempat berdebat dengan ayah saya (kakeknya anak-anak) tentang beliau yang terlalu sering kasih anak saya gadget dengan alasan "biar anteng" atau alasan lain yang sebenarnya gadget bukan solusi satu-satunya. Ayah saya lalu mengungkit apa yang pernah dilihatnya beberapa bulan lalu, beliau mengatakan bahwa saya yang mengenalkan gadget pada anak saya. Memang benar, saya mengenalkan anak dengan yout*be waktu usia anak masih 11 bulan. Hal itu semata bukan karena saya ibu yang tidak mau repot mengurus atau mengajak main anaknya sampai rela yout*be yang mengasuh anak saya. Tidak.

Waktu itu kami (aku dan keluarga kecil) masih mengontrak dan suami kerja dari pagi sampai sore. selama itu saya hanya berdua di kontrakan dengan si kecil. Tidak setiap saat anak saya anteng, malah dia sering sekali menangis di waktu-waktu saya harus shalat. HANYA PADA WAKTU SHALAT. Iya, saya menenangkannya dengan memberinya tontonan yout*be waktu itu, setiap saya shalat. Terbukti anak saya anteng sekali. Kejadian seperti ini tidak rutin terjadi setiap hari atau setiap waktu shalat, ini hanya saya lakukan ketika anak rewel saja. Dan hal ini tidak berlangsung lama, karena akhirnya harus pindah ke rumah orang tua.

Di sini ayah saya selalu memberinya gadget padahal saya sudah memfasilitasi anak dengan mainan edukasi yang lebih mendidik. Saya katakan, Ayah, mengenalkan dengan membiasakan itu berbeda sekali. Saya mengenalkannya dengan gadget di usianya yang masih 11 bulan itu karena terpaksa. Sekarang ayah membiasakannya menonton video yout*be dengan suka rela.

Begini, ibaratnya, saya hanya mengenalkan anak dengan kegiatan berenang, sekali atau dua kali saja. Lalu kemudian ayah mengajaknya setiap hari. Ia jadi terbiasa lalu tantrum setiap kali ingin berenang. Ia selalu ingin dituruti karena terbiasa seperti itu oleh kakeknya. Ketika yang terjadi hanya perkenalan, anak-anak tidak akan mungkin bisa langsung kecanduan, ayah. Kebiasaan yang membuat anak-anak akhirnya tidak bisa lepas dari apa yang digenggamnya selama ini.

Seharusnya ayah faham itu. Seharusnya ayah banyak belajar tentang bahaya gadget bagi anak-anak sebelum ayah menyerahkan cucu hebat ayah pada robot kecil itu.


Saya cuma mau cerita, termikasih sudah membaca. :)

Sabtu, 03 April 2021

Cuma Curhat.

Saya sudah mulai kehilangan diri saya yang dulu. Padahal dulu, saya tidak terlalu suka belajar di kelas. Saya lebih suka belajar di rumah. Di kelas itu cuma tempat untuk unjuk gigi, bahwa saya bukan siswi biasa, saya pintar. Nah, proses belajar di rumah itu yang mendukung kegiatan unjuk gigi saya. Saya termasuk orang yang tidak mau kalah. Saya tidak suka step yang bertele-tele, itulah kenapa saya tidak pernah belajar iqra runtut dari iqra 1 sampai 6. Saya selalu belajar bagaimana caranya ketika di pengajian, saya sudah lebih dulu faham sebelum diajarkan atau dijelaskan. Ketika saya berada di tingkat iqra 4, saya sudah mati-matian belajar iqra 6, bahkan juz 'amma dan selalu ingin guru ngaji saya tahu, bahwa saya sudah tidak ingin berada di kelas iqra 4.


Di Sekolah Menengah Pertama, saya tidak pernah tidak belajar sebelum berangkat sekolah. Bangun tidur, sebelum berangkat, pulang sekolah hingga sebelum tidur yang saya lakukan hanya belajar sampai ibu sering memarahi saya karena saya lebih suka buku daripada sapu. "Anak gadis itu mbok ya kerja, beres-beres rumah ngunu lho nduk. Jangan buku terus." begitu kalimat yang selalu saya dengar setiap selepas shubuh saat sedang bercumbu dengan buku. Padahal bapak selalu senang melihat saya yang tidak berhenti belajar. Bahkan saat sedang menulis surat cinta pun, bapak percaya anak gadisnya sedang menulis rumus-rumus fisika.

Saya bermain seperti anak-anak SMP pada umumnya, saya bermain handphone, saya pergi ke warnet, tapi saya tidak kehilangan kesempatan untuk menjadi nomor satu di sekolah. Saya murid yang berhasil bertahan di peringkat pertama pada setiap semester.


Sampai di semester akhir kawan-kawan mulai bertanya tentang rahasia yang padahal saya sendiri tidak tahu jawabannya. Saya tidak pandai matematika, saya benci kesenian, saya tidak jago olah raga, saya alergi pelajaran sejarah, tapi setiap pembagian raport, peringkat pertama selalu diisi oleh nama saya. Beberapa kawan dan orang tua bertanya tentang rahasia yang saya hanya menjawab "doa ibu saya yang luar biasa," dan orang-orang seketika mengangguk percaya.

Hari ini saya menjadi nomor sekian. Orang-orang tak lagi memandang saya spesial. Saya hanya orang biasa. Saya sering tidur di kelas, di asrama lebih suka menghabiskan waktu untuk meracau atau menulis cerita, bahkan menonton drama. Saya sudah tidak suka buku-buku pelajaran. Di asrama, tidak ada bapak yang tersenyum lebar saat melihat saya belajar. Tidak ada yang berkata "rajinnya anak bapaaaakkk..." Juga tidak ada yang memberi saya makanan kecil saat otak saya mulai pening menatap tulisan-tulisan atau rumus matematika. 


Senin, 29 Maret 2021

Ikhlas

 Tidak semua hal di dunia ini mendapat restu semesta setelah kita berserah sebagaimana Zulaikha yang mendapatkan cinta Yusuf setelah berhasil mengikhlaskan semua kisahnya. Beberapa mendapat bagian yang berbeda.

Seperti aku yang terlalu mengharapkanmu sampai namamu mengisi sebagian ruang di hatiku meski tak menggantikan-Nya. Aku menginginkanmu dengan terlalu sampai perasaanku justru malah membuat-Nya cemburu. Dia adalah satu dan tak mau ada hal lain di hatiku, termasuk kamu.

Mencoba ikhlas mungkin juga tak akan membuatmu menjadi milikku, tapi kau benar, setidaknya, saat semesta memisahkan dan memaksa kita untuk menerima takdir yang baru, tak ada yang membuat kita kembali tergugu.

Jumat, 26 Maret 2021

Jangan Tanya Kapan Aku Mati Karena Aku Tidak Tahu Jawabannya.



Aku terlahir dari ibu yang barangkali tidak pernah ditanya 'kapan menikah' karena memang ia menikah muda. Juga tidak banyak mendapat pertanyaan 'kapan punya momongan' karena masa 'kosong'nya tak terlalu lama.

Tapi hidupku jauh dari pengalaman-pengalaman semacam itu. Aku harus mengalami masa belajar yang lebih lama dan itu berarti masa lajang yang juga lebih lama. Lalu orang-orang mulai usil melontarkan pertanyaan 'kapan'nya dari mulut-mulut mereka. Mulai dari 'kapan wisuda?', 'kapan menikah?' dan kapan-kapan yang lain.

Ibu dan ayah sebenarnya hanya memintaku fokus pada apa yang di depan mata; belajar. Tapi orang-orang tetap ingin mendapat jawaban atas banyak pertanyaan 'kapan'.

Aku mulai penasaran kenapa yang bertanya adalah mereka yang nasibnya denganku tak jauh beda? Karena aku masih memaklumi andai pertanyaan 'kapan menikah' itu dilontarkan oleh mereka yang sudah lebih dulu melepas status lajangnya. Tapi sesama lajang bahkan yang usianya tidak lebih muda? Aku tak faham lagi isi kepalanya.

Selepas menikah orang-orang masih tetap melontarkan 'kapan'nya. Awal-awal pernikahan aku masih bisa menjawabnya dengan senyuman; "doain aja ya". Tapi seiring waktu pertanyaan 'kapan' itu mulai mengganggu. Aku mulai sering menangis karena tak bisa menjawabnya. Bukan ingin menjawab pertanyaan mereka, tapi karena aku pun ingin cepat mendapat jawaban untuk diriku sendiri.

Sudah tahun ke-3 sejak pertanyaan 'kapan menikah' itu hilang dan berganti 'kapan punya momongan', hari ini, si kecil lahir dan aku fikir 'kapan' itu ikut berakhir. Ternyata masih ada 'kapan' selanjutnya. 'Kapan si kecil punya adik?"

Setelah banyak pertanyaan 'kapan' membuatku menghabiskan waktu untuk melamun bahkan sesekali menangis, kali ini, kumohon jangan tanya kapan aku mati karena aku tidak tahu jawabannya.

Selasa, 23 Maret 2021

Manusia Sombong

 Jika saja semua kayu menolak saat akan dipahat, maka boleh jadi tidak akan ada kayu yang lebih berharga. Semua hanya kayu biasa dan akan melapuk pada akhirnya tanpa ada yang peduli nilainya.

Jika saja semua besi menolak saat akan dipanaskan, maka boleh jadi tidak akan ada besi yang punya harga melangit di pasar dunia. Semua akan terlihat sama saja. Akan berkarat pada akhirnya.

Jika saja semua kain menolak saat akan dijahit, maka boleh jadi tidak akan ada manusia yang diagungkan sebab pakaian yang dikenakannya. Para manusia akan telanjang dan tak ada yang akan mendapat julukan 'si miskin' dan 'si kaya'. Tak akan ada yang berbeda dari kain-kain di mana saja. Semua sama. Selembar kain yang tak ada harganya. Tak ada nilainya.

Jika saja semua manusia menolak saat kritik pedas dan nasehat orang lain ditujukan padanya, maka boleh jadi tidak akan ada orang-orang yang menjadi luas cara berfikirnya, yang lebih bernilai hidupnya dan lebih cerah masa depannya.

Orang-orang yang hidupnya terlihat bahagia itu jangan-jangan juga adalah kayu yang dulunya rela dipahat, besi yang tak enggan dipanaskan dan kain yang tidak menolak untuk dijahit.

Sedang kita, orang-orang yang masih saja menatap langit dengan mendongakkan kepala hanyalah orang-orang angkuh yang selalu merasa tak butuh. Kritik orang lain hanya dianggap keusilan padahal beberapa memang tulus menginginkan kita menjadi lebih baik.

Alih-alih menjadi diri sendiri, sebenarnya kita hanya sedang memberi makan ego agar ia tumbuh lebih besar lagi. Kita terlalu sombong dengan menolak nasehat orang lain dan menganggap mereka sebagai pengganggu.

Sore ini, mari renungkan, mana kritik yang membangun, dan mana yang memang hanya tak rela melihat kita melangkah anggun.

Jumat, 19 Maret 2021

Kalah Telak

 Aku pernah memintamu datang beberapa waktu lalu. Tapi kau menolak dengan alasan yang tak hanya satu. Langkahmu terlihat maju tapi tatap matamu terlalu ragu. Kau kalah telak.

Berkali kau yakinkan aku bahwa kita adalah sepasang kaki yang salah satu tak boleh berhenti demi tujuan yang pasti. Tapi akhirnya, aku sampai sebelum langkahmu sempat kau mulai.

Katamu banyak hal yang harus dipertimbangkan, tapi yang kulihat adalah kau tak punya keseriusan. Usiamu bukan lagi titik yang mengajak bermain di taman kanak-kanak. Tapi untuk sebuah keputusan, kau kalah telak.

Kau mengulur waktu terlalu banyak.

Kamis, 18 Maret 2021

Surat untukmu.

Purnama membulat di waktu yang tepat. Tidak terlambat, tak juga terlalu cepat. Begitulah. Takdir tak pernah salah memilih. Maka ketika tatapan itu akhirnya jatuh tepat mengenai mataku, takdir lalu bersorak sorai membuat degup jantung seakan menggebu. Pada detik pertama aku sadar bahwa aku telah 'jatuh' pada tatapan itu, semesta memberiku pilihan untuk berhenti atau lanjutkan. Keputusan yang tak pernah sesederhana kelihatannya. Mencintaimu berarti aku harus menerima se-abrek konsekuensi, menanggung rindu dan patah hati sendiri.


Tapi Tuhan tak pernah tega melihat aku jatuh cinta sendirian. Lalu pada detik ke sekian, keputusan itu bukan milikku saja. Sebab kini, jalannya sudah milik kita berdua.

Tujuan yang sama-sama kita sematkan, niat baik yang juga tak rela digoyahkan, dengan perjalanan yang senantiasa melibatkan Kuasa Tuhan. Kini, jarak hanya sarana pengingat bahwa ada percaya yang harus dijaga. Tentang janji kita pada diri kita sendiri.


Sugeng sonten... :)



Selasa, 16 Maret 2021

“BERITA DAN CERITA”

 

By: Galuh Za


Menjadi dewasa kadang membuat kita sedikit lupa

betapa penting sapa meski raga tak saling jumpa.

Kita mulai dimabukkan oleh kesibukan-kesibukan yang membuat kita tak sadar,

ada raga lain yang menanti pulang kita dengan sabar.

 

Satu waktu kita tahu,

rindu sudah sangat menggebu-gebu.

Hati galau lalu tangis membuat suara menjadi amat parau.

Dan takdir malah asyik bergurau!

 

Jarak terbentang luas.

Yang padahal, bagi insan yang saling mencintai,

hamparan bumi sudah tak lagi berarti.

Tapi lagi-lagi, takdir senang sekali menguji ketulusan diri.

 

Pernah sekali semesta membuat keputusan hebat.

Bumi seakan ia lipat

dan membuat jarak kita menjadi amat dekat.

“Kring… Kring…”

 

Telepon berdering berulangkali.

Tapi siapa peduli?

Ini pukul dua dinihari dan pemilik telepon masih asyik menari

di alam mimpi.

 

Seketika bumi dibentangkan kembali.

Semesta terbahak sambil mengutuk pemilik telepon yang tak sengaja terlelap.

 

“BODOH!” hardiknya.

“Kesempatan datang tanpa pernah bertanya apakah kau siap atau tidak! maka terus bersiaplah!” tambahnya.

 

Lalu matahari terbit dengan membawa berita dan cerita.

Bahwa tak sedikit manusia yang gagal menemukan cinta

Hanya karena enggan membuka mata.

 


Senin, 15 Maret 2021

Idzinkan Saya Berzina Dengan Anak Bapak

 


Oleh: Galuh Za

 

Awan hitam bergerumul di puncak gunung salak di hadapan Wisnu. Bertumpuk-tumpuk. Menutup sebagian awak gunung itu. Tak jauh dari sana, sinar matahari menelusup malu-malu. Seperti ingin memberi kabar bagi para perindu, tentang lengkung warna-warni yang akan muncul sebentar lagi.

            Ini adalah musim penghujan. Kabut menjadi lebih tebal dari biasanya. Mengetuk-ngetuk jendela. Memaksa masuk lewat celah-celahnya. Dingin.

            Wisnu Al-Badru, laki-laki berusia dua puluh tujuh sedang harap-harap cemas di ruang tamu. Duduk manis menunggu tuan rumah dengan tatapan kaku. Ia sedang berada di rumah Karina, gadis yang siang ini akan dikhitbahnya. Ayah Karina sedang berada di halaman belakang saat Wisnu datang. Dan ibu sedang sibuk menyiapkan sesuguhan.

            Wisnu datang sendiri hari ini. Karena ia berfikir ini hanya pra saja. Sampai ia tahu kapan waktu yang benar-benar tepat untuk mempertemukan orang tua mereka.

            “silahkan, nak” ibu Karina datang dengan nampan berisi minuman segar dan beberapa toples kue kering.

            “bapak?” Tanya Wisnu.

            “bapak masih bersih-bersih. Ganti baju dulu.” jawab ibu sambil menuangkan minuman segar ke gelas Wisnu.

            “Ehem…”

Bapak datang dengan pakaian rapih. Membuat ibu dan Wisnu seketika berdiri.

            “Assalamu’alaikum, bapak.” Sapa Wisnu seraya mencium tangan bapak.

            “Wa’alaikumsalam. Bagaimana? Sehat?”

            “Alhamdulillah pak, sehat.”

            Tiba-tiba saja, oksigen di rumah Karina terasa hampir habis. Wisnu tak tahu harus memulainya dari mana. Ia jadi kesulitan bicara. Bapak juga ikut diam. Mungkin tahu perihal apa sebenarnya yang ingin Wisnu bicarakan. Memberi kesempatan untuk bujang ini memulai.

            “sudah berapa lama kalian kenal?” akhirnya, setelah hening beberapa saat, pertanyaan dari mulut bapak pun melesat.

            “enam bulan, pak.” Jawab Wisnu sambil terus menunduk.

            “lalu kamu datang untuk melamar anak bapak?” tanpa basa-basi. Habislah Wisnu yang sekarang sedang berkeringat dingin mendengar pertanyaan itu. Seharusnya ia bersyukur karena tak harus repot mencari kata pembuka untuk acara lamaran ini. Pertanyaan bapak benar-benar membantunya. Tapi, tetap saja, keringat itu sulit sekali dihentikannya.

            “benar, pak.”

            “punya apa kamu sampai berani melamar anak bapak?”

Wisnu benar-benar bingung kali ini. Ia hanya ingin menikah. Menyempurnakan separuh agamanya. Ingin beribadah pada-Nya. Tapi ‘punya apa?’ benar-benar pertanyaan yang ia sendiri tak tahu harus dengan apa menjawabnya.

            “saya belum punya apa-apa, pak. Saya hanya punya keyakinan bahwa Allah akan mencukupkan mereka yang menikah untuk beribadah pada-Nya.”

Mata bapak melirik tajam.

            “tapi bapak tenang saja. Saya sudah punya pekerjaan dan sudah menyiapkan biaya untuk pernikahan.” Kata Wisnu tanpa ragu. Mata bapak masih menyorot tajam, tapi bibirnya hanya diam.

            “maaf nak, sebelumnya. Kalau boleh ibu tahu, berapa mahar yang sudah kamu siapkan untuk menikahi Karina?” kali ini ibu yang memecah keheningan.

            “saya sudah menyiapkan uang tunai sebesar 15 juta dan emas 10 gram sebagai mahar.” Jawab Wisnu singkat dan apa adanya.

            “tapi nak, kami sudah mematok mahar untuk anak kami, minimal 150 juta.” Jawab ibu lagi.

            “hem…” Wisnu berfikir keras.

            Sudah hampir jam 12 siang. Mungkin sebentar lagi adzan dzuhur akan terdengar. Ini musim penghujan, tapi ruang tamu di rumah Karina kali ini benar-benar membuat Wisnu kepanasan. Tanpa mereka sadari, Karina mendengar semua yang mereka bicarakan. Ibu hanya tahu Karina sedang tidur siang. Padahal sejak kedatangan Wisnu, ia sudah siap-siap menemuinya di ruang tamu.

Allahu Akbar… Allahu Akbar…

            Akhirnya adzan dzuhur memecah keheningan yang mencekam. Memberi alasan untuk Wisnu keluar.

            “maaf pak, shalat dzuhur dulu.” Kata Wisnu. Bapak hanya mengangguk.

JJJ

            Jama’ah shalat dzuhur sudah bubar, tapi Wisnu masih khusyuk berdoa dengan sabar. Bapak dan ibu sudah kembali berkumpul di ruang tamu. Menunggu si bujang yang belum juga datang.

            “Assalamu’alaikum…” akhirnya, suara Wisnu terdengar juga. Ibu dan bapak sama-sama menjawab tanpa suara. Wisnu langsung duduk tanpa di suruh. Dari dalam kamar, Karina sudah siap menguping di balik pintu.

            “jadi bagaimana?” Tanya bapak. Membuka kembali percakapan yang tertunda.

            “saya hanya ingin menyempurnakan separuh agama.” Jawab Wisnu lembut.

            “kalau begitu, siapkan uang 150 juta, atau tidak usah menikah dengan anak bapak.” Kali ini bapak menanggapi dengan serius.

            “apa memang harus seperti itu?” Tanya Wisnu meyakinkan.

            “ya begitulah. Kamu tahu kan, anak bapak sebentar lagi selesai kuliah. Dia akan punya gelar di belakang namanya. Jadi, tidak boleh ada yang sembarangan melamar anak bapak hanya dengan mahar yang seadanya.” Jawab bapak dengan nada yang sedikit meninggi.

            “kalau begitu, bapak mempersulit kami untuk beribadah?” tanggapan Wisnu benar-benar membuat wajah bapak memerah.

            “bukankah sebaik-baiknya wanita adalah yang paling ringan maharnya? Dan bukankah seharusnya bapak memudahkan kami untuk saling menyempurnakan agama?” dengan tetap santun Wisnu melanjutkan bicara.

            “KAMU MENCERAMAHI BAPAK!?” kali ini bapak benar-benar marah. Dilihatnya Wisnu yang masih memasang wajah tak berdosa.

            “tidak seperti itu, hanya saja…”

            “bapak tidak ingin mendengar apa-apa lagi, sekarang, kalau kamu tidak bisa menyiapkan mahar sebesar nominal yang kami minta, lebih baik cari wanita lain saja.” Kata bapak memotong kalimat Wisnu.

            Wisnu benar-benar tak menyangka bapak akan sekeras itu. Dan dengan tetap menjunjung tinggi sopan santun, Wisnu angkat bicara,

            “baiklah, kalau memang itu mau bapak, saya akan meminta idzin; idzinkan saya berzina dengan anak bapak.

            “SUDAH GILA, KAMU!?” jawaban Wisnu benar-benar merubah bapak menjadi serigala. Matanya merah seperti siap menerkam Wisnu –daging segar- di hadapannya.

            “bapak tenang dulu.” Kata Wisnu. Ibu yang sejak tadi hanya mendengarkan, kali ini ikut menenangkan.

            “bapak tahu, kenapa saya meminta idzin untuk berzina dengan anak bapak?”

            wong edan” bapak hanya menggerutu tak menjawab.

            “saya melihat betapa wanita-wanita yang hamil sebelum menikah di luar sana, begitu mudah saat akan melangsungkan pernikahannya. Orang-orang tua mereka sudah tak lagi meributkan maharnya berapa, mereka hanya butuh seseorang yang akan bertanggung jawab atas kehamilan anaknya. Mereka hanya memikirkan nama baik keluarga. Sampai bahkan, beberapa keluarga wanita ada yang rela membayar orang lain agar mau menikahi anaknya.” Tutur wisnu. Dengan mata yang masih merah, bapak hanya melirik sekilas sambil menunggu Wisnu melanjutkan bicara.

            “sekarang, bukankah lebih baik saya berzina dengan anak bapak, agar bapak bisa memudahkan kami untuk menikah?”

            “Dasar orang gila! Kamu fikir hanya kamu satu-satunya lelaki yang mau dengan anak saya? Kamu fikir tidak ada yang lebih mampu dari kamu yang mau menikahi anak saya? Toh anak saya cantik, kamu bukan satu-satunya yang mau menikahinya!” jawab bapak terdengar menggebu.

            “baik. Anggaplah saya bisa memenuhi permintaan bapak. Saya siapkan mahar 150 juta dengan tambahan mas kawin dan tempat tinggal yang layak beserta isinya. Tapi sekarang saya ingin bertanya, apakah anak bapak adalah wanita shalihah yang tak pernah mengakhirkan shalat wajibnya? Apakah anak bapak adalah wanita yang tak pernah absen puasa sunnahnya? Apakah anak bapak juga adalah yang selalu melaksanakan tahajjud serta dhuhanya? Lalu apa pernah bapak mendengarnya mengaji? Sudah benarkah bacaan Al-Qur’annya?”

            Kali ini bapak dan ibu hanya bisu. Mengingat-ingat seperti apa sebenarnya wanita yang selama ini mereka panggil anak itu. Mengingat tentang anaknya yang selalu bangun kesiangan, yang shalat wajibnya selalu diakhirkan, yang puasa sunnahnya dilupakan, yang bahkan tak pernah mendengarnya mengaji sama sekali. Benar. Wisnu mengajukan pertanyaan yang tepat.

            “Jika memang jawaban atas semua pertanyaan saya adalah tidak, maka pantaskah anak bapak mendapat mahar yang begitu besar dari saya? Dan masih adakah yang akan menyanggupi mahar mewah untuk anak bapak yang kurang perihal agama?” Tanya Wisnu lagi.

            Ibu mengajak bapak masuk untuk berdiskusi berdua. Membujuk bapak untuk tidak menolak lamaran pria yang saat ini sedang duduk di ruang tamu rumahnya. Ibu menjelaskan keadaan Karina pada bapak. Tentang jawaban dari semua pertanyaan Wisnu yang ternyata memang tidak. Anaknya bukan wanita yang faham sekali perihal agama. Anaknya jauh dari kata shalihah. Tak pandai memasak, bahkan tak pernah sekali pun mengerjakan pekerjaan rumah. Beruntung sekali andai pria ini memang benar tulus ingin menjadi imamnya.

JJJ

            Menit demi menit berlalu. Bapak dan ibu kembali menemui Wisnu. Dengan kepala yang sudah dingin dan emosi yang tak lagi menggebu, bapak tersenyum seraya melontarkan pertanyaan baru.

            “Jadi kapan kau akan datang dengan orang tuamu?”

Wisnu tersenyum lebar mendengar pertanyaan itu.

JJJ

Sampai akad dilangsungkan, keluarga Karina baru benar-benar faham. Bahwa Wisnu, ternyata adalah lelaki berpendidikan dan mapan. Gelar S2 nya sudah sejak usia 22 ia dapatkan. Ia benar-benar menyiapkan tempat tinggal yang layak beserta isinya. Tiga belas tahun menempuh pendidikan di Pondok Pesantren membuat ia tak lagi diragukan perihal agama. Tak hanya itu, ia juga lahir dari keluarga yang masyhur budi pekertinya. Soal mahar yang ia siapkan, memang itulah yang direncanakan. Ia tak ingin menawarkan kemewahan. Pun ia ingin memberi pelajaran bagi siapa pun, bahwa salah satu sebab terbukanya pintu perzinahan adalah keluarga yang mempersulit pernikahan.

 

Best of...

Idzinkan Saya Berzina Dengan Anak Bapak

  Oleh: Galuh Za   Awan hitam bergerumul di puncak gunung salak di hadapan Wisnu. Bertumpuk-tumpuk. Menutup sebagian awak gunung itu. ...