Sabtu, 11 Desember 2021
Mas Rain
Jumat, 10 Desember 2021
"Berpendidikan Tanpa Berkarir?"
Rabu, 08 Desember 2021
Perihal Doa; Akal Kita yang Terbatas, Tidak Mampu Memahami 'Maksud Tuhan' yang Begitu Luas
Selasa, 07 Desember 2021
Yang Membuntutimu itu Bernama Takdir
Senin, 06 Desember 2021
Suatu Hari Sebelum Hari ini (3)
Sabtu, 04 Desember 2021
Suatu Hari, Sebelum Hari ini (2)
Suatu Hari, Sebelum Hari ini.
Jumat, 03 Desember 2021
Bekasi. Allah Maha Mendengar, Bahkan Jika itu Hanya Sebuah Lintasan Hati.
Kamis, 02 Desember 2021
Jangan Tertawa, Aku Malu.
Rabu, 01 Desember 2021
Habis Kuota; Dari Mana Bahagia itu Bermula?
Rabu, 17 November 2021
Tidak Seperti Takdir
Siang ini aku sedang di rumah. Santai merebah. Meletakkan satu kaki di atas kaki lainnya. Menatap ponsel yang masih terhubung dengan pengisi daya, juga cemilan sederhana.
Damai sekali. Inilah yang disebut kenyamanan; mungkin.
Tapi tak lama, ponsel yang terletak tak jauh dari toples cemilanku itu berdering. Menampilkan satu nama memanggil; kawan.
Kudengar ia meminta izin berkunjung ke rumah. Tapi karena sedang tak ingin diganggu, aku lalu mencari cara agar tidak ditemuinya. Segera kusambar jilbab dan berlari ke luar.
Kukatakan, "Maaf, kawan, aku sedang di luar. Nanti aku kabari lagi yaa... Semoga lekas bertemu 🤗"
Begitulah.
Kawanku selalu menghubungiku untuk hal² yang seremeh itu. Padahal ia bisa saja langsung datang ke rumahku. Tapi dia memang sopan sekali. Tak seperti takdir. Rese. Tak menyapa, tak bertanya siap atau tidak, tak peduli menangis bagaimana rupa, ia tetap datang, ia tetap terjadi.
Selasa, 28 September 2021
Kapan Hari itu Tiba?
Selasa, 21 September 2021
Penyelam yang Malang
Rabu, 02 Juni 2021
Saya Hanya Terpaksa, Lalu Ayah Membuat Anak Saya Terbiasa.
Perbedaan pola asuh dalam keluarga memang wajar sekali ya bund. Jangankan antara orang tua dengan mertua, kadang malah suami-istri bisa punya cara asuh yang berbeda loh. Nah, hal-hal seperti ini yang sudah mesti dibicarakan jauh sebelum anak lahir ya moms...
Saya mau cerita sedikit.
Saya punya anak usia 2 tahun yang sudah mulai kecanduan gadget. Sedikit banyak, ia mulai tantrum kalau tidak dikasih gadget. Marah sekali saya melihatnya.
Sebenarnya saya pribadi tidak membiasakan anak untuk bermain dengan gadget sepanjang hari, tapi kebetulan memang saat ini saya masih tinggal bersama orang tua (kakek-neneknya anak-anak), jadi, bukan cuma saya yang mengasuh anak-anak.
Beberapa hari kemarin saya sempat berdebat dengan ayah saya (kakeknya anak-anak) tentang beliau yang terlalu sering kasih anak saya gadget dengan alasan "biar anteng" atau alasan lain yang sebenarnya gadget bukan solusi satu-satunya. Ayah saya lalu mengungkit apa yang pernah dilihatnya beberapa bulan lalu, beliau mengatakan bahwa saya yang mengenalkan gadget pada anak saya. Memang benar, saya mengenalkan anak dengan yout*be waktu usia anak masih 11 bulan. Hal itu semata bukan karena saya ibu yang tidak mau repot mengurus atau mengajak main anaknya sampai rela yout*be yang mengasuh anak saya. Tidak.
Waktu itu kami (aku dan keluarga kecil) masih mengontrak dan suami kerja dari pagi sampai sore. selama itu saya hanya berdua di kontrakan dengan si kecil. Tidak setiap saat anak saya anteng, malah dia sering sekali menangis di waktu-waktu saya harus shalat. HANYA PADA WAKTU SHALAT. Iya, saya menenangkannya dengan memberinya tontonan yout*be waktu itu, setiap saya shalat. Terbukti anak saya anteng sekali. Kejadian seperti ini tidak rutin terjadi setiap hari atau setiap waktu shalat, ini hanya saya lakukan ketika anak rewel saja. Dan hal ini tidak berlangsung lama, karena akhirnya harus pindah ke rumah orang tua.
Di sini ayah saya selalu memberinya gadget padahal saya sudah memfasilitasi anak dengan mainan edukasi yang lebih mendidik. Saya katakan, Ayah, mengenalkan dengan membiasakan itu berbeda sekali. Saya mengenalkannya dengan gadget di usianya yang masih 11 bulan itu karena terpaksa. Sekarang ayah membiasakannya menonton video yout*be dengan suka rela.
Begini, ibaratnya, saya hanya mengenalkan anak dengan kegiatan berenang, sekali atau dua kali saja. Lalu kemudian ayah mengajaknya setiap hari. Ia jadi terbiasa lalu tantrum setiap kali ingin berenang. Ia selalu ingin dituruti karena terbiasa seperti itu oleh kakeknya. Ketika yang terjadi hanya perkenalan, anak-anak tidak akan mungkin bisa langsung kecanduan, ayah. Kebiasaan yang membuat anak-anak akhirnya tidak bisa lepas dari apa yang digenggamnya selama ini.
Seharusnya ayah faham itu. Seharusnya ayah banyak belajar tentang bahaya gadget bagi anak-anak sebelum ayah menyerahkan cucu hebat ayah pada robot kecil itu.
Saya cuma mau cerita, termikasih sudah membaca. :)
Sabtu, 03 April 2021
Cuma Curhat.
Saya sudah mulai kehilangan diri saya yang dulu. Padahal dulu, saya tidak terlalu suka belajar di kelas. Saya lebih suka belajar di rumah. Di kelas itu cuma tempat untuk unjuk gigi, bahwa saya bukan siswi biasa, saya pintar. Nah, proses belajar di rumah itu yang mendukung kegiatan unjuk gigi saya. Saya termasuk orang yang tidak mau kalah. Saya tidak suka step yang bertele-tele, itulah kenapa saya tidak pernah belajar iqra runtut dari iqra 1 sampai 6. Saya selalu belajar bagaimana caranya ketika di pengajian, saya sudah lebih dulu faham sebelum diajarkan atau dijelaskan. Ketika saya berada di tingkat iqra 4, saya sudah mati-matian belajar iqra 6, bahkan juz 'amma dan selalu ingin guru ngaji saya tahu, bahwa saya sudah tidak ingin berada di kelas iqra 4.
Di Sekolah Menengah Pertama, saya tidak pernah tidak belajar sebelum berangkat sekolah. Bangun tidur, sebelum berangkat, pulang sekolah hingga sebelum tidur yang saya lakukan hanya belajar sampai ibu sering memarahi saya karena saya lebih suka buku daripada sapu. "Anak gadis itu mbok ya kerja, beres-beres rumah ngunu lho nduk. Jangan buku terus." begitu kalimat yang selalu saya dengar setiap selepas shubuh saat sedang bercumbu dengan buku. Padahal bapak selalu senang melihat saya yang tidak berhenti belajar. Bahkan saat sedang menulis surat cinta pun, bapak percaya anak gadisnya sedang menulis rumus-rumus fisika.
Saya bermain seperti anak-anak SMP pada umumnya, saya bermain handphone, saya pergi ke warnet, tapi saya tidak kehilangan kesempatan untuk menjadi nomor satu di sekolah. Saya murid yang berhasil bertahan di peringkat pertama pada setiap semester.
Sampai di semester akhir kawan-kawan mulai bertanya tentang rahasia yang padahal saya sendiri tidak tahu jawabannya. Saya tidak pandai matematika, saya benci kesenian, saya tidak jago olah raga, saya alergi pelajaran sejarah, tapi setiap pembagian raport, peringkat pertama selalu diisi oleh nama saya. Beberapa kawan dan orang tua bertanya tentang rahasia yang saya hanya menjawab "doa ibu saya yang luar biasa," dan orang-orang seketika mengangguk percaya.
Hari ini saya menjadi nomor sekian. Orang-orang tak lagi memandang saya spesial. Saya hanya orang biasa. Saya sering tidur di kelas, di asrama lebih suka menghabiskan waktu untuk meracau atau menulis cerita, bahkan menonton drama. Saya sudah tidak suka buku-buku pelajaran. Di asrama, tidak ada bapak yang tersenyum lebar saat melihat saya belajar. Tidak ada yang berkata "rajinnya anak bapaaaakkk..." Juga tidak ada yang memberi saya makanan kecil saat otak saya mulai pening menatap tulisan-tulisan atau rumus matematika.
Senin, 29 Maret 2021
Ikhlas
Tidak semua hal di dunia ini mendapat restu semesta setelah kita berserah sebagaimana Zulaikha yang mendapatkan cinta Yusuf setelah berhasil mengikhlaskan semua kisahnya. Beberapa mendapat bagian yang berbeda.
Seperti aku yang terlalu mengharapkanmu sampai namamu mengisi sebagian ruang di hatiku meski tak menggantikan-Nya. Aku menginginkanmu dengan terlalu sampai perasaanku justru malah membuat-Nya cemburu. Dia adalah satu dan tak mau ada hal lain di hatiku, termasuk kamu.
Mencoba ikhlas mungkin juga tak akan membuatmu menjadi milikku, tapi kau benar, setidaknya, saat semesta memisahkan dan memaksa kita untuk menerima takdir yang baru, tak ada yang membuat kita kembali tergugu.
Jumat, 26 Maret 2021
Jangan Tanya Kapan Aku Mati Karena Aku Tidak Tahu Jawabannya.
Aku terlahir dari ibu yang barangkali tidak pernah ditanya 'kapan menikah' karena memang ia menikah muda. Juga tidak banyak mendapat pertanyaan 'kapan punya momongan' karena masa 'kosong'nya tak terlalu lama.
Selasa, 23 Maret 2021
Manusia Sombong
Jika saja semua kayu menolak saat akan dipahat, maka boleh jadi tidak akan ada kayu yang lebih berharga. Semua hanya kayu biasa dan akan melapuk pada akhirnya tanpa ada yang peduli nilainya.
Jika saja semua besi menolak saat akan dipanaskan, maka boleh jadi tidak akan ada besi yang punya harga melangit di pasar dunia. Semua akan terlihat sama saja. Akan berkarat pada akhirnya.
Jika saja semua kain menolak saat akan dijahit, maka boleh jadi tidak akan ada manusia yang diagungkan sebab pakaian yang dikenakannya. Para manusia akan telanjang dan tak ada yang akan mendapat julukan 'si miskin' dan 'si kaya'. Tak akan ada yang berbeda dari kain-kain di mana saja. Semua sama. Selembar kain yang tak ada harganya. Tak ada nilainya.
Jika saja semua manusia menolak saat kritik pedas dan nasehat orang lain ditujukan padanya, maka boleh jadi tidak akan ada orang-orang yang menjadi luas cara berfikirnya, yang lebih bernilai hidupnya dan lebih cerah masa depannya.
Orang-orang yang hidupnya terlihat bahagia itu jangan-jangan juga adalah kayu yang dulunya rela dipahat, besi yang tak enggan dipanaskan dan kain yang tidak menolak untuk dijahit.
Sedang kita, orang-orang yang masih saja menatap langit dengan mendongakkan kepala hanyalah orang-orang angkuh yang selalu merasa tak butuh. Kritik orang lain hanya dianggap keusilan padahal beberapa memang tulus menginginkan kita menjadi lebih baik.
Alih-alih menjadi diri sendiri, sebenarnya kita hanya sedang memberi makan ego agar ia tumbuh lebih besar lagi. Kita terlalu sombong dengan menolak nasehat orang lain dan menganggap mereka sebagai pengganggu.
Sore ini, mari renungkan, mana kritik yang membangun, dan mana yang memang hanya tak rela melihat kita melangkah anggun.
Jumat, 19 Maret 2021
Kalah Telak
Aku pernah memintamu datang beberapa waktu lalu. Tapi kau menolak dengan alasan yang tak hanya satu. Langkahmu terlihat maju tapi tatap matamu terlalu ragu. Kau kalah telak.
Berkali kau yakinkan aku bahwa kita adalah sepasang kaki yang salah satu tak boleh berhenti demi tujuan yang pasti. Tapi akhirnya, aku sampai sebelum langkahmu sempat kau mulai.
Katamu banyak hal yang harus dipertimbangkan, tapi yang kulihat adalah kau tak punya keseriusan. Usiamu bukan lagi titik yang mengajak bermain di taman kanak-kanak. Tapi untuk sebuah keputusan, kau kalah telak.
Kau mengulur waktu terlalu banyak.
Kamis, 18 Maret 2021
Surat untukmu.
Purnama membulat di waktu yang tepat. Tidak terlambat, tak juga terlalu cepat. Begitulah. Takdir tak pernah salah memilih. Maka ketika tatapan itu akhirnya jatuh tepat mengenai mataku, takdir lalu bersorak sorai membuat degup jantung seakan menggebu. Pada detik pertama aku sadar bahwa aku telah 'jatuh' pada tatapan itu, semesta memberiku pilihan untuk berhenti atau lanjutkan. Keputusan yang tak pernah sesederhana kelihatannya. Mencintaimu berarti aku harus menerima se-abrek konsekuensi, menanggung rindu dan patah hati sendiri.
Tapi Tuhan tak pernah tega melihat aku jatuh cinta sendirian. Lalu pada detik ke sekian, keputusan itu bukan milikku saja. Sebab kini, jalannya sudah milik kita berdua.
Tujuan yang sama-sama kita sematkan, niat baik yang juga tak rela digoyahkan, dengan perjalanan yang senantiasa melibatkan Kuasa Tuhan. Kini, jarak hanya sarana pengingat bahwa ada percaya yang harus dijaga. Tentang janji kita pada diri kita sendiri.
Sugeng sonten... :)
Selasa, 16 Maret 2021
“BERITA DAN CERITA”
By: Galuh Za
Menjadi
dewasa kadang membuat kita sedikit lupa
betapa
penting sapa meski raga tak saling jumpa.
Kita mulai
dimabukkan oleh kesibukan-kesibukan yang membuat kita tak sadar,
ada raga
lain yang menanti pulang kita dengan sabar.
Satu waktu
kita tahu,
rindu sudah
sangat menggebu-gebu.
Hati galau
lalu tangis membuat suara menjadi amat parau.
Dan takdir
malah asyik bergurau!
Jarak
terbentang luas.
Yang
padahal, bagi insan yang saling mencintai,
hamparan
bumi sudah tak lagi berarti.
Tapi
lagi-lagi, takdir senang sekali menguji ketulusan diri.
Pernah
sekali semesta membuat keputusan hebat.
Bumi seakan
ia lipat
dan membuat
jarak kita menjadi amat dekat.
“Kring…
Kring…”
Telepon
berdering berulangkali.
Tapi siapa
peduli?
Ini pukul
dua dinihari dan pemilik telepon masih asyik menari
di alam
mimpi.
Seketika
bumi dibentangkan kembali.
Semesta
terbahak sambil mengutuk pemilik telepon yang tak sengaja terlelap.
“BODOH!”
hardiknya.
“Kesempatan
datang tanpa pernah bertanya apakah kau siap atau tidak! maka terus
bersiaplah!” tambahnya.
Lalu
matahari terbit dengan membawa berita dan cerita.
Bahwa tak sedikit
manusia yang gagal menemukan cinta
Hanya karena enggan membuka mata.
Senin, 15 Maret 2021
Idzinkan Saya Berzina Dengan Anak Bapak
Oleh: Galuh Za
Awan hitam bergerumul di puncak
gunung salak di hadapan Wisnu. Bertumpuk-tumpuk. Menutup sebagian awak gunung
itu. Tak jauh dari sana, sinar matahari menelusup malu-malu. Seperti ingin
memberi kabar bagi para perindu, tentang lengkung warna-warni yang akan muncul
sebentar lagi.
Ini
adalah musim penghujan. Kabut menjadi lebih tebal dari biasanya.
Mengetuk-ngetuk jendela. Memaksa masuk lewat celah-celahnya. Dingin.
Wisnu Al-Badru,
laki-laki berusia dua puluh tujuh sedang harap-harap cemas di ruang tamu. Duduk
manis menunggu tuan rumah dengan tatapan kaku. Ia sedang berada di rumah
Karina, gadis yang siang ini akan dikhitbahnya. Ayah Karina sedang berada di
halaman belakang saat Wisnu datang. Dan ibu sedang sibuk menyiapkan sesuguhan.
Wisnu
datang sendiri hari ini. Karena ia berfikir ini hanya pra saja. Sampai
ia tahu kapan waktu yang benar-benar tepat untuk mempertemukan orang tua
mereka.
“silahkan,
nak” ibu Karina datang dengan nampan berisi minuman segar dan beberapa toples
kue kering.
“bapak?”
Tanya Wisnu.
“bapak
masih bersih-bersih. Ganti baju dulu.” jawab ibu sambil menuangkan minuman
segar ke gelas Wisnu.
“Ehem…”
Bapak datang dengan pakaian rapih. Membuat ibu dan Wisnu
seketika berdiri.
“Assalamu’alaikum,
bapak.” Sapa Wisnu seraya mencium tangan bapak.
“Wa’alaikumsalam.
Bagaimana? Sehat?”
“Alhamdulillah
pak, sehat.”
Tiba-tiba
saja, oksigen di rumah Karina terasa hampir habis. Wisnu tak tahu harus
memulainya dari mana. Ia jadi kesulitan bicara. Bapak juga ikut diam. Mungkin
tahu perihal apa sebenarnya yang ingin Wisnu bicarakan. Memberi kesempatan
untuk bujang ini memulai.
“sudah
berapa lama kalian kenal?” akhirnya, setelah hening beberapa saat, pertanyaan
dari mulut bapak pun melesat.
“enam
bulan, pak.” Jawab Wisnu sambil terus menunduk.
“lalu
kamu datang untuk melamar anak bapak?” tanpa basa-basi. Habislah Wisnu yang
sekarang sedang berkeringat dingin mendengar pertanyaan itu. Seharusnya ia
bersyukur karena tak harus repot mencari kata pembuka untuk acara lamaran ini.
Pertanyaan bapak benar-benar membantunya. Tapi, tetap saja, keringat itu sulit
sekali dihentikannya.
“benar,
pak.”
“punya
apa kamu sampai berani melamar anak bapak?”
Wisnu benar-benar bingung kali ini. Ia hanya ingin
menikah. Menyempurnakan separuh agamanya. Ingin beribadah pada-Nya. Tapi ‘punya
apa?’ benar-benar pertanyaan yang ia sendiri tak tahu harus dengan apa
menjawabnya.
“saya
belum punya apa-apa, pak. Saya hanya punya keyakinan bahwa Allah akan
mencukupkan mereka yang menikah untuk beribadah pada-Nya.”
Mata bapak melirik tajam.
“tapi
bapak tenang saja. Saya sudah punya pekerjaan dan sudah menyiapkan biaya untuk
pernikahan.” Kata Wisnu tanpa ragu. Mata bapak masih menyorot tajam, tapi
bibirnya hanya diam.
“maaf
nak, sebelumnya. Kalau boleh ibu tahu, berapa mahar yang sudah kamu siapkan
untuk menikahi Karina?” kali ini ibu yang memecah keheningan.
“saya
sudah menyiapkan uang tunai sebesar 15 juta dan emas 10 gram sebagai mahar.”
Jawab Wisnu singkat dan apa adanya.
“tapi
nak, kami sudah mematok mahar untuk anak kami, minimal 150 juta.” Jawab
ibu lagi.
“hem…”
Wisnu berfikir keras.
Sudah
hampir jam 12 siang. Mungkin sebentar lagi adzan dzuhur akan terdengar. Ini
musim penghujan, tapi ruang tamu di rumah Karina kali ini benar-benar membuat
Wisnu kepanasan. Tanpa mereka sadari, Karina mendengar semua yang mereka
bicarakan. Ibu hanya tahu Karina sedang tidur siang. Padahal sejak kedatangan
Wisnu, ia sudah siap-siap menemuinya di ruang tamu.
Allahu Akbar… Allahu Akbar…
Akhirnya
adzan dzuhur memecah keheningan yang mencekam. Memberi alasan untuk Wisnu
keluar.
“maaf
pak, shalat dzuhur dulu.” Kata Wisnu. Bapak hanya mengangguk.
JJJ
Jama’ah
shalat dzuhur sudah bubar, tapi Wisnu masih khusyuk berdoa dengan sabar. Bapak
dan ibu sudah kembali berkumpul di ruang tamu. Menunggu si bujang yang belum
juga datang.
“Assalamu’alaikum…”
akhirnya, suara Wisnu terdengar juga. Ibu dan bapak sama-sama menjawab tanpa
suara. Wisnu langsung duduk tanpa di suruh. Dari dalam kamar, Karina sudah siap
menguping di balik pintu.
“jadi
bagaimana?” Tanya bapak. Membuka kembali percakapan yang tertunda.
“saya
hanya ingin menyempurnakan separuh agama.” Jawab Wisnu lembut.
“kalau
begitu, siapkan uang 150 juta, atau tidak usah menikah dengan anak bapak.” Kali
ini bapak menanggapi dengan serius.
“apa
memang harus seperti itu?” Tanya Wisnu meyakinkan.
“ya
begitulah. Kamu tahu kan, anak bapak sebentar lagi selesai kuliah. Dia akan
punya gelar di belakang namanya. Jadi, tidak boleh ada yang sembarangan melamar
anak bapak hanya dengan mahar yang seadanya.” Jawab bapak dengan nada yang sedikit
meninggi.
“kalau
begitu, bapak mempersulit kami untuk beribadah?” tanggapan Wisnu benar-benar
membuat wajah bapak memerah.
“bukankah
sebaik-baiknya wanita adalah yang paling ringan maharnya? Dan bukankah
seharusnya bapak memudahkan kami untuk saling menyempurnakan agama?” dengan
tetap santun Wisnu melanjutkan bicara.
“KAMU
MENCERAMAHI BAPAK!?” kali ini bapak benar-benar marah. Dilihatnya Wisnu yang
masih memasang wajah tak berdosa.
“tidak
seperti itu, hanya saja…”
“bapak
tidak ingin mendengar apa-apa lagi, sekarang, kalau kamu tidak bisa menyiapkan
mahar sebesar nominal yang kami minta, lebih baik cari wanita lain saja.” Kata bapak
memotong kalimat Wisnu.
Wisnu
benar-benar tak menyangka bapak akan sekeras itu. Dan dengan tetap menjunjung
tinggi sopan santun, Wisnu angkat bicara,
“baiklah,
kalau memang itu mau bapak, saya akan meminta idzin; idzinkan saya
berzina dengan anak bapak.”
“SUDAH
GILA, KAMU!?” jawaban Wisnu benar-benar merubah bapak menjadi serigala.
Matanya merah seperti siap menerkam Wisnu –daging segar- di hadapannya.
“bapak
tenang dulu.” Kata Wisnu. Ibu yang sejak tadi hanya mendengarkan, kali ini ikut
menenangkan.
“bapak
tahu, kenapa saya meminta idzin untuk berzina dengan anak bapak?”
“wong
edan” bapak hanya menggerutu tak menjawab.
“saya
melihat betapa wanita-wanita yang hamil sebelum menikah di luar sana,
begitu mudah saat akan melangsungkan pernikahannya. Orang-orang tua mereka
sudah tak lagi meributkan maharnya berapa, mereka hanya butuh seseorang yang
akan bertanggung jawab atas kehamilan anaknya. Mereka hanya memikirkan nama
baik keluarga. Sampai bahkan, beberapa keluarga wanita ada yang rela membayar
orang lain agar mau menikahi anaknya.” Tutur wisnu. Dengan mata yang masih
merah, bapak hanya melirik sekilas sambil menunggu Wisnu melanjutkan bicara.
“sekarang,
bukankah lebih baik saya berzina dengan anak bapak, agar bapak bisa memudahkan
kami untuk menikah?”
“Dasar
orang gila! Kamu fikir hanya kamu satu-satunya lelaki yang mau dengan anak
saya? Kamu fikir tidak ada yang lebih mampu dari kamu yang mau menikahi anak
saya? Toh anak saya cantik, kamu bukan satu-satunya yang mau menikahinya!”
jawab bapak terdengar menggebu.
“baik.
Anggaplah saya bisa memenuhi permintaan bapak. Saya siapkan mahar 150 juta
dengan tambahan mas kawin dan tempat tinggal yang layak beserta isinya. Tapi
sekarang saya ingin bertanya, apakah anak bapak adalah wanita shalihah yang tak
pernah mengakhirkan shalat wajibnya? Apakah anak bapak adalah wanita yang tak
pernah absen puasa sunnahnya? Apakah anak bapak juga adalah yang selalu
melaksanakan tahajjud serta dhuhanya? Lalu apa pernah bapak mendengarnya
mengaji? Sudah benarkah bacaan Al-Qur’annya?”
Kali ini
bapak dan ibu hanya bisu. Mengingat-ingat seperti apa sebenarnya wanita yang
selama ini mereka panggil anak itu. Mengingat tentang anaknya yang
selalu bangun kesiangan, yang shalat wajibnya selalu diakhirkan, yang puasa
sunnahnya dilupakan, yang bahkan tak pernah mendengarnya mengaji sama sekali.
Benar. Wisnu mengajukan pertanyaan yang tepat.
“Jika
memang jawaban atas semua pertanyaan saya adalah tidak, maka pantaskah
anak bapak mendapat mahar yang begitu besar dari saya? Dan masih adakah yang
akan menyanggupi mahar mewah untuk anak bapak yang kurang perihal
agama?” Tanya Wisnu lagi.
Ibu
mengajak bapak masuk untuk berdiskusi berdua. Membujuk bapak untuk tidak
menolak lamaran pria yang saat ini sedang duduk di ruang tamu rumahnya. Ibu
menjelaskan keadaan Karina pada bapak. Tentang jawaban dari semua pertanyaan
Wisnu yang ternyata memang tidak. Anaknya bukan wanita yang faham sekali
perihal agama. Anaknya jauh dari kata shalihah. Tak pandai memasak,
bahkan tak pernah sekali pun mengerjakan pekerjaan rumah. Beruntung sekali
andai pria ini memang benar tulus ingin menjadi imamnya.
JJJ
Menit
demi menit berlalu. Bapak dan ibu kembali menemui Wisnu. Dengan kepala yang
sudah dingin dan emosi yang tak lagi menggebu, bapak tersenyum seraya
melontarkan pertanyaan baru.
“Jadi kapan kau akan
datang dengan orang tuamu?”
Wisnu tersenyum lebar mendengar
pertanyaan itu.
JJJ
Sampai akad dilangsungkan, keluarga
Karina baru benar-benar faham. Bahwa Wisnu, ternyata adalah lelaki
berpendidikan dan mapan. Gelar S2 nya sudah sejak usia 22 ia dapatkan. Ia
benar-benar menyiapkan tempat tinggal yang layak beserta isinya. Tiga belas
tahun menempuh pendidikan di Pondok Pesantren membuat ia tak lagi diragukan
perihal agama. Tak hanya itu, ia juga lahir dari keluarga yang masyhur budi
pekertinya. Soal mahar yang ia siapkan, memang itulah yang direncanakan. Ia tak
ingin menawarkan kemewahan. Pun ia ingin memberi pelajaran bagi siapa pun,
bahwa salah satu sebab terbukanya pintu perzinahan adalah keluarga
yang mempersulit pernikahan.
Best of...
Idzinkan Saya Berzina Dengan Anak Bapak
Oleh: Galuh Za Awan hitam bergerumul di puncak gunung salak di hadapan Wisnu. Bertumpuk-tumpuk. Menutup sebagian awak gunung itu. ...
-
Aku terlahir dari ibu yang barangkali tidak pernah ditanya 'kapan menikah' karena memang ia menikah muda. Juga tidak banyak mendapat...
-
"Bun... Si dedek nangis. Maaf ya ayah langsung berangkat." Kecup suamiku di keningku. Suatu kebiasaan setiap pagi, seb...
-
"Eksistensi sebuah doa sebenarnya ada pada pengakuan diri bahwa kita ini lemah. Kita butuh kepada Allah, dan mengakui bahwa...