About Me

Foto saya
Bogor, Jawa Barat, Indonesia
Introvert.

Minggu, 29 Maret 2020

Anak


Dari aku, untukmu penggenap mimpiku.
Betapa bahagianya andai aku bisa menjadi istri yang baik, untukmu, suami yang (semoga) juga baik. Dengan begitu, satu mimpiku terbayar. Kini, masih ada satu mimpi lagi. Ah, bukankah mimpi-mimpi itu tak akan pernah habis hingga kita benar-benar sampai pada cita-cita yang hakiki, yakni bertemu sang Ilahi? Itulah kenapa, segala mimpi harus tetap bermuara pada Dzat yang Abadi.
Jadi, dear, satu lagi mimpiku setelah menjadi seorang istri. Iya, tentu saja kau tahu itu. Menjadi ibu, adalah cita-cita terbesarku. Menyaksikan satu persatu anak-anak kita tumbuh. Ah, bahagia sekali rasanya membayangkan ada malaikat-malaikat kecil yang akan selalu menghibur hati.
Tapi, dear…
Kau harus tahu, ada banyak hal yang ingin sekali aku terapkan, bahkan hindarkan ketika punya anak, nanti. Yang tentu kau juga akan banyak berperan. Karena tak mungkin aku menerapkannya sendirian, bukan? Hehe…
Dear…
Sungguh, aku tak ingin anakku nanti merasa bersalah telah lahir ke dunia. Tidak, kita tidak akan membiarkan mereka hidup dengan ‘disalahkan’. Mereka harus selalu mendapat support, dukungan. Mereka harus tahu, betapa kita selalu bangga dengan kehadirannya. Setiap anak tentu akan membuat kesalahan. Tapi menyalahkan bukan cara terbaik untuk mendidik.
Dear…
Segala kebutuhan anak kita nanti harus benar-benar terpenuhi. Dari segala sisi, terlebih kebutuhan hati dan rohani. Aku ingin mereka menjejaki dunia pendidikan sejauh yang mereka inginkan. Tanpa ada biaya sepeserpun yang harus mereka fikirkan. Tidak. Kita tidak akan membesarkan anak kita dengan prinsip-prinsip dunia. Apalagi membuat mereka merasa seolah kehidupannya adalah beban bagi orang tua. Oh, tidak, dear. Itu tidak akan terjadi. Ku pastikan mereka akan tumbuh dengan pemahaman-pemahaman terbaik.

Sabtu, 28 Maret 2020

Suami


Dari aku, untukmu calon ayah dari anak-anakku.
Aku adalah perempuan lajang, masih sendiri. Tentangmu, sedikitpun masih belum ku ketahui. Tapi kau harus tahu, betapa aku beruntung saat tahu ada laki-laki segagah kau yang berani menghadap ayahku.
Kau tahu, dear?
Impianku tak pernah sederhana tentang sebuah pernikahan. Aku tahu pernikahan bukan sebuah tuntutan, bukan adat atau kebiasaan. Tidak perlu banyak prosesi atau pesta-pesta bergengsi. Pernikahan adalah satu jalan penyempurnaan. Maka akan butuh komitmen yang tidak sederhana. Berjanji untuk tetap setia beriringan, berjalan menuju syurga bersama-sama.
Dear…
Kau fikir, aku takut jika kau-seseorang yang datang meminangku- adalah orang yang sederhana? Atau miskin harta? Oh, tidak dear. Betapa lebih menakutkannya andai aku akan bersama dengan orang yang miskin ilmu dan tanggung jawab.
Tak apa, dear. Kau tak perlu takut atau minder jika bukan kemewahan yang bisa kau tawarkan sebagai mahar pernikahan. Bukankah Allah selalu menghendaki kemudahan bagi hamba-Nya? (يريد الله بكم اليسرى و لا يريد بكم العسر). Ah, terlalu keji rasanya jika aku yang bukan Tuhan justru bermaksud untuk menyulitkanmu.
Tapi, dear, atas segala kriteria yang aku harapkan, aku masih harus menyesuaikan. Bukankah picik sekali jika aku ingin disatukan dengan yang baik, sedang aku sendiri enggan memperbaiki diri?
Tapi tentu, aku boleh melakukannya hanya karena ketaatan pada-Nya. Bukan demi kamu. J

Seseorang Part.4


Kau ingat seseorang yang aku ceritakan kemarin?
Ia sudah sangat sakit sampai saat ini.
Andai mati adalah solusi,
Barangkali nyawa sudah dikeluarkan dari dalam diri.
Baginya, hidup sudah tak berarti lagi.
Ramai sudah tak mampu mengusir sepi di dalam hati.
Berfikir ingin kembali menjadi ‘si kecil’.
Tapi, ah… Masa kecilnya sama menyakitkan dengan hari ini.
Tak ada penghargaan atas setiap kebaikan.
Hanya kemarahan atas kesalahan dan kealpaan-kealpaan.
Tak ada dukungan.
Hanya paksaan-paksaan.
Tak dibiarkan membuat jalannya sendiri.
Hanya harus berjalan pada ketentuan yang sudah berdiri.
Gadis itu seperti boneka di rumahnya sendiri.
Lelah.
Tak hidup. Tetapi juga tak mati.




Seseorang itu; Aku.

Jumat, 27 Maret 2020

Seseorang Part.3


Aku sudah pernah bercerita.
Tentang seseorang yang hatinya selalu bimbang.
Tentang kesabaran yang habis dimakan
api kesabaran.
Seorang pemberontak berwajah tenang.
Yang senyum manisnya menyimpan jutaan dendam.
Ingatkah?
Hari ini ia sakit.
Tak ada luka di sekujur tubuhnya.
Tapi hati dan perasaannya, jelas berdarah-darah.
Tak ada lagi yang sudi menjenguknya.
Layaknya seorang sebatang kara.
Ia tak punya siapa-siapa di dalam sepinya.
Hujan dunia adalah air matanya.
Panas dunia adalah kemarahannya.
Ia lelah.
Ingin segera mengakhiri semuanya.
Tapi ia takut mengambil jalan yang salah.


Kamis, 26 Maret 2020

Seseorang Part.2


Kau ingat ‘seseorang’ yang aku ceritakan?
Sungguh memprihatinkan.
Ia sungguh tak peduli pada siapa
pun yang tidak mempedulikannya.
Ia sungguh tak peduli pada siapa
pun yang yang tidak mempercayainya.
Ia tak butuh orang-orang seperti
mereka.
Hatinya telah mati.
Mati untuk sekedar menanggapi
orang-orang yang hanya bisa menyakiti.
Entah dendam, atau hanya percikan
api kemarahan sudah memakan kesabaran.
Ia kini benar-benar menjelma ‘pemberontak
berwajah tenang’.
Hari ini,
Lagi-lagi ia bimbang.
Haruskah segala kebaikan ia pertahankan,
Atau mati sebagai pendendam.

Rabu, 25 Maret 2020

Seseorang Part.1


Kau tahu?
Bahwa ada seseorang yang menyimpan
banyak air mata di balik tawanya.
Di sekitarmu.
Ya, ia dekat.
Ada yang menahan banyak pilu
di sebalik kekonyolannya di hadapanmu.
Kau takkan tahu.
Di dalam dadanya, tergores jutaan luka.
Darah dan nanah di mana-mana.
Hanya dibalut kasa tua bernama
kesabaran.
Kebaikannya diabaikan.
Segala prestasi tak dihargai.
Api semangatnya padam.
Hari ini, ia bimbang.
Haruskah langkahnya ia lanjutkan,
Atau berhenti sebagai pecundang.

Surprise…



            Bahagia sekali rasanya mempunyai suami sepertimu.  Awal-awal kita menikah dulu, kau selalu menutupi kesalahanku di hadapan ibumu. Saat masakanku terlalu asin, kau bilang; “itu aku yang nyuruh, bu. Lagi pengen makan yang asin-asin.” Atau kalau goreng ikanku gosong, kau juga akan mencari alasan; “itu juga aku yang minta, bu. Lagi pengen makan yang item-item.” Ibumu hanya tersenyum melihat tingkah anaknya. Kamu dan aku sebenarnya tahu, ibu tak akan marah. Tapi kau selalu bertingkah seolah masakanku akan membuat ibu sangat murka. Lebay.
            Aku belajar lagi dan lagi. Belajar banyak hal. Belajar untuk menjadi istri, menantu, koki, bendahara, sampai tukang pijat, untukmu. Juga untuk ibu. Aku bahagia punya ibu mertua yang begitu baik memperlakukanku. Nyaris semua kawan-kawanku yang sudah menikah, punya keluhan yang sama soal mamah mertua mereka. Aneh, di sini, aku malah sibuk bersyukur punya kamu dan ibu.
            Berbulan-bulan pernikahan belum juga ada tanda-tanda kita akan punya momongan. Kau dan ibu tak terlalu khawatir, aku lega, meski masih kefikiran juga. Ibu hanya bilang; “Gusti Allah ngasih kalian waktu untuk pacaran dulu, nduk. Nanti kan, kalau sudah ada momongan, ribet juga jalan-jalannya.” Aku tersenyum menanggapi kaliamat ibu. Kau dan ibu memang selalu pandai dalam urusan menghilangkan kekhawatiran. Bersamamu dan ibu, rasanya tak ada beban yang terlalu berat untuk dipikul.
            Tepat satu tahun usia pernikahan, kabar bahagia itu datang. Aku sudah telat dua bulan, dan gejala-gejala kehamilan pun menyerang. Aku sudah testpack tadi pagi-pagi sekali. Kali ini aku memakai testpack terbaik untuk memastikan keakuratannya. Positive. Bahagia sama sekali tak bisa disembunyikan. Tapi aku bertahan untuk tidak mengabarimu karena ingin ku buat kejutan makan malam untuk merayakan ulang tahun pernikahan kita, juga memberi kabar bahwa kau akan segera menjadi ayah.
            Kau berangkat kerja seperti biasa. Aku mencium tanganmu dan kau balas memelukku erat. Aku seperti tak ingin melepas pelukan itu. Aku rindu. Padahal setiap hari kau di dekatku.
            Sore ini aku memasak banyak dibantu ibu. Menyiapkan kejutan untuk menyambutmu. Kau pasti senang. Sesuatu yang kau harapkan akhirnya datang selepas banyak kesabaran. Ini hadiah terindah dari Tuhan.
            Aku tak bisa membayangkan wajah bahagiamu mendengar kabar kehamilanku. Aku tak bisa menerka apa yang akan kau lakukan setelah mendengar kabar bahagia itu. Aku benar-benar tak sabar menyambutmu pulang.
            Malam datang dan kau belum juga pulang. Aku memakai pakaian terbaik dan berdandan. Aku harus terlihat cantik malam ini. Ini malam spesial.

            Aku sedang berbincang dengan ibu saat mendengar suara mobil datang. Terparkir rapih. Tapi kau tak sendiri. ada banyak yang keluar dari mobilmu. Tidak, aku belum melihatmu. Ke mana kau?
ꙮꙮꙮ
            Malam itu benar-benar malam istimewa. Ternyata bukan hanya aku yang menyiapkan kejutan. Kau juga datang dengan sebuah kejutan. Kau memang perencana yang andal. Aku benar-benar tak bisa membaca tanda-tanda kejutan yang kau siapkan.
            Malam itu, kau pulang dengan tenang. Memaksaku menyiapkan sebuah pemakaman. Anak kita, yatim sebelum sempat bernyawa.

Selasa, 24 Maret 2020

Why




            Aku dibangunkan oleh suara merdu sahabatku yang mengaji tepat di sebelahku. Mataku berat, bengkak, seperti ada bertumpuk-tumpuk kelopak. Aku menangis berjam-jam setelah mendengar keputusanmu atas kelanjutan hubungan kita. Kau jahat.
            Aku menagih janjimu yang akan segera meminangku. Tapi kau, memilih berlepas tangan dari janji itu. Kau menyalahkan ketidaksabaranku, sedang aku sendiri marah akan kelabilanmu. Katamu, kau punya seseorang yang siap lebih sabar menunggu daripada aku. Lagi-lagi, kau jahat.
            Mungkin aku tak akan sesakit ini andai tak benar-benar jatuh cinta padamu. Untunglah, aku punya sahabat yang begitu baik menemaniku, mendengarkan, dan menghiburku. Katanya, apa-apa yang ditakdirkan untukku tak akan pernah melewatkanku, dan apa-apa yang melewatkanku, memang tidak ditakdirkan untukku. Dan kau, jelas melewatkanku.
            Setelah beberapa hari aku tersedu, akhirnya ikhlas hinggap di lubuk hatiku. Berkat nasehat-nasehat sahabat baikku itu, akhirnya aku bisa dengan lapang mengikhlaskanmu.
            Kau menghubungiku. Tepat saat hati sudah tak lagi terusik oleh bayangmu. Kau meminta kita bertemu, esok. Katamu, kalau aku tidak keberatan, kau akan mengenalkan wanita yang pernah kau sebut-sebut itu. Memang, ku fikir, tak mungkin ada yang baru andai kau benar mencintaiku. Sudahlah, aku sudah bisa tersenyum lebar, kini.
            Aku memakai pakaian terbaikku untuk menemuimu. Tampil sebaik mungkin agar kau tak tahu, berhari-hari sudah aku tersedu. Kafe tempat yang kau tentukan untuk pertemuan kita, adalah tempat yang tak jauh dari kampusku. Seusai kuliah, aku langsung menemuimu. Penasaran, seperti apa wanita yang menggantikanku itu.
            Dari depan kafe aku sudah bisa melihat kau sendiri. benar-benar tak ada siapapun di dekatmu. Aku berjalan perlahan mendekati. Kau hanya menatap tanpa ekspresi. Salam ku ucap dan kau jawab cepat. Aku memberi isyarat yang segera kau tangkap. Mana? Mataku bertanya tanpa suara. Kau begitu kikuk.
            Jantung berdetak dan waktu berdetik, mata sudah ratusan kali berkedip. Tapi kau, sama sekali tak memberi kepastian kapan wanitamu akan datang.
ꙮꙮꙮ
            Setelah beberapa jam kita lewatkan tanpa perbincangan, aku memutuskan untuk pulang. Menatap kesal kamu yang masih saja tenggelam dalam kebisuan. Aku pamit.
            Baru saja aku membalikkan badan saat seorang wanita anggun datang. Mendekatimu. Mungkinkah? Dia adalah sahabatku. Why?

Kalau kau adalah pencemburu.


Hari ini aku tidak akan lagi membahas COVID yang semakin sengit. Berita-berita melangit yang membuat dada semakin sempit. Hari ini, aku hanya ingin bercerita sedikit. Berkenalan sebagaimana kita tak saling kenal sebelumnya.
Dear, kau tahu? Aku hanya seorang wanita biasa. Pengolah rasa menjadi kata. Aku bisa romantis, tapi aku juga realistis. Hobiku menulis. Kadang tentangmu, atau tentang masalalu yang masih hidup dalam ingatanku. Bahkan barangkali juga tentang masa depan yang terus terbayang di setiap sebelum tidurku.
Kalau kau adalah seorang pencemburu, maka saranku jangan mendekatiku. Apalagi memilihku untuk menjadi pendamping seumur hidupmu. Sungguh kau akan tersiksa dengan keputusan itu. Kau akan terus membaca tulisanku dan berfikir aku belum bisa move on dari masa lalu. Kau akan menemukan sebuah tulisan seolah aku yang paling pandai membesar-besarkan sesuatu yang bahkan tak pernah pantas didebatkan.
Kata menjadi produk utama dari olahan rasa. Dan aku akan terus berproduksi selagi kewarasan masih terus terjaga. Siapapun kamu, semoga kau bukan seorang pencemburu. Siapapun kamu, semoga adalah yang tak akan mendebat masalaluku. Siapapun kamu.

Untukmu, semoga kau baca meski setelah kematianku.


Selasa, 24 Maret 2020.
            Hari ini masuk fase di mana penyebaran COVID-19 sudah sangat luas. Tercatat per-24 Maret 2020 COVID-19 ini meningkat hingga 686 kasus dengan data pasien sembuh belum mencapai setengahnya. Aku yang sejak lahir sudah mengalami banyak sekali hal luar biasa sebenarnya tak begitu heran dengan apa yang terjadi di tahun ini. Tahun yang seharusnya diisi dengan kesibukan diri menulis lembar-lembar skripsi, harus dihiasi oleh COVID-19 yang merabak ini. Skripsi masih imajinasi, ilusi, yang akhirnya berubah jadi lembar-lembar puisi. Catatan kecil di buku-buku kuliah sudah bukan lagi catatan kaki yang berisi pembahasan mata kuliah setiap hari. Menulis nama orang yang dicintai di sana-sini. Sudah bukan hal yang membingungkan lagi. Bertanya-tanya apa kabar doi, atau pertanyaan-pertanyaan lain yang tak mungkin dilontarkan untuk saat ini.
            Untukmu, kau tahu? Aku menunggu hari berlalu sedang hari tak pernah memberi kabar apapun tentangmu. Pertanyaan ‘apa kabar?’ masih terus tertahan di kerongkonganku. Ingin ku kirim pesan ke nomor whats app-mu. Tapi apa daya, kau memutus akses melalui jalur itu. Tinggal di kota yang menjadi Zona Merah di Negerimu, kota ke-dua yang akhirnya harus dikunci oleh pemerintahmu, ingin sekali rasanya ditanyai olehmu. Atau setidaknya, aku tahu bahwa kau mengkhawatirkanku. Nyatanya tidak. Tak ada pertanyaan seputar kesehatanku, seputar kota tempat tinggalku, seputar kuliahku, kesibukanku, atau apapun tentang aku. Kau memilih pergi dan berlari. Menetralkan rasa agar kelak kau bisa kembali sebagai orang yang tak asing lagi. Katamu. Sebenarnya aku tak begitu setuju. Tapi kau, sungguh tak butuh persetujuan dariku perihal keputusanmu itu.
            Untukmu, jika kelak kau membaca ini, semoga masih tersisa ingatanmu tentangku. Mengirim e-mail atau apapun itu. Seberapa panjangnya pun waktu saat kau sudah mulai mengabarkanku. Perihal keadaanmu, tidak melulu soal rindu, karena kalimat yang kau susun untukku, sudah lebih dari cukup untuk aku bisa merasakan hadirmu. Di sini, aku memelukmu dari jauh. Dan jika aku harus mati di era COVID-19 ini, semoga kau sudah mengikhlaskan segala kisah yang tak sempat bertemu ujungnya.

Find you…





            Aku bangun pagi-pagi sekali demi mengantarkanmu. Hanya sampai stasiun, selebihnya, kau lanjutkan bersama kawan-kawan perempuanmu. Kau harus pergi jauh untuk beberapa waktu. Kau harus kursus beberapa bahasa di luar kota. Demi mengejar beasiswa tanpa i’dad, di Mesir, jelasmu.
            Aku begitu mendukung cita-cita luhur itu. Aku selalu berusaha memberikan segala yang terbaik yang aku punya. Meski itu berarti aku harus mengorbankan banyak hal untuk mendapatkannya.
            Berbulan-bulan kita hidup di dua kota yang berbeda. Jarak dan waktu seperti selalu tertawa melihat rindu yang kerap menghunjam dada. Kau begitu sibuk dengan aktifitasmu. Kau sama sekali tak punya waktu untuk membalas pesan singkatku, apalagi untuk berbincang menceritakan hari-harimu. Aku rindu.
            Sejak kepergianmu, aku mencari kerja paruh waktu di sela-sela jadwal kuliahku. Aku bertekad untuk menemuimu. Butuh uang yang tidak sedikit kali ini untuk sekedar menatap wajahmu. Aku benar-benar tak tahu dengan cara apalagi aku menuntaskan rindu selain dengan menciptakan temu.
            Hari ini aku berangkat ke kota tempat belajarmu tanpa berkabar terlebih dahulu. Aku ingin mengejutkanmu. Kasihan kau, kesibukanmu menyita banyak waktu berbincang denganku. Pasti kau tak kalah tersiksa dariku sebab rindu.
            Sepanjang perjalanan aku terus tersenyum membayangkan wajah terkejutmu. Berharap pelukan hangat akan segera menyambut lelahku. Kau tahu? Bukan proses mengumpulkan uang, atau panjangnya perjalanan yang membuat aku merasa begitu kelelahan. Tapi, kenyataan yang harus ku hadapi setiap hari. Bahwa sejak pagi hingga ke dalam mimpi, aku tak bisa bercanda denganmu lagi.
            Keretaku sampai tengah malam di kota tujuan. Tak ada lelah. Aku begitu semangat melangkah. Aku tak tahu harus menghabiskan malam di mana. Aku juga tak berniat beristirahat di penginapan. Pasti mahal sekali, fikirku. Jadi, aku memustuskan untuk bermalam di stasiun saja.
            Adzan shubuh membangunkanku dari tidur yang tak begitu lelap. Aku segera mencari masjid untuk membersihkan diri dan shalat. Lalu bertanya-tanya pada penduduk setempat tentang lembaga yang kau tinggali. Mereka menunjukkanku jalan yang tidak terlalu jauh, meski juga tidak mungkin ku tempuh dengan berjalan kaki.
            Aku sampai di depan pintu gerbang desa yang dipenuhi oleh ribuan lembaga. Di sini, ada sekitar 1600 lembaga yang dikepalai oleh orang yang berbeda. Senyumku mengembang, oksigen di sini terasa lebih segar. Mungkin karena ada kamu di dalamnya. Ah, aku semakin tak sabar untuk mengejutkanmu.
            Aku menelponmu untuk memastikan kau tidak kemana-mana. Ini hari libur, tak mungkin kau sibuk dengan kursusmu. Di luar dugaan, kau begitu cepat mengangkat telponku. Aku hanya basa-basi bertanya tentang kegiatan hari ini, akan apa atau kemana. Kau bilang hanya malas-malasan atau tidur seharian. Aku lega. Segera ku lacak lokasi dari nomor hp mu. Tak jauh, fikirku. Aku bisa berjalan kaki ke tempatmu.
            Belum setengah perjalanan, perutku sudah meronta minta diperhatikan. Aku baru ingat bahwa aku memang belum makan sejak kemarin siang. Jadilah aku berbelok ke salah satu café di sini. Katanya, café di sini terkenal bersahabat soal harga. Jadi aku tak begitu mengkhawatirkannya.
            Sudah setengah jam sejak aku datang, tapi sandwich yang ku pesan belum juga diantarkan. Cukup ramai memang. Tapi tak apa, aku jadi punya lebih banyak waktu untuk memandangi fotomu.
            Belum sempat sandwich itu ku habiskan, pasangan di hadapanku membuatku teringat kamu. Mereka begitu mesra seperti kita, dulu. Si wanita sangat persis seperti kamu saat sedang menggodaiku. Prosesi makanku terhenti. Menatap fotomu, lalu pasangan itu berkali-kali. Bergantian. Membayangkan kau ada di sini, dan tertawa seperti perempuan itu. Aku rindu.
            Rinduku tak terbendung lagi. Kontakmu segera ku cari. Teratas di log panggilan, karena kau yang terakhir aku hubungi pagi tadi. Nada sambung bordering, tepat saat wanita yang sedang bermesraan tadi mengeluarkan handponenya dari dalam saku. Aku terpaku. Ini hanya kebetulan? Ku matikan, lalu handphone si wanita kembali diletakkan. Ku telpon lagi, dan handphone itu bordering lagi. Tidak di angkat. Ku pastikan berkali-kali. Ini hanya kebetulan.
            Tidak, ternyata tak ada kebetulan hari ini. Aku melewatimu saat keluar dari café tadi. Itu benar kau. Dan aku, pulang.

Sabtu, 21 Maret 2020

Wedding 3



Nabeela Azeez.

            Aku baru saja keluar kelas saat pamanku datang untuk menjemput. Ini bukan hari libur, tapi aku dipaksa pulang tanpa penjelasan. Biasanya, prosesi pulang paksa dan tiba-tiba seperti ini adalah kabar terburuk dari segala kabar yang ada. Biasanya, penjemputan secara tiba-tiba mengindikasikan adanya air mata. Fikiranku melayang-layang entah ke mana.
            Ku lihat paman sedang berdiskusi dengan beberapa orang di kantor yang biasa memberi idzin santri untuk pulang atau sekedar keluar sebentar. Serius sekali. Sepertinya memang ini bukan penjemputan biasa. Aku mulai menerka-nerka apa yang terjadi di rumah. Kenapa bukan ayah yang menjemput. Kenapa harus paman?
            Aku mendekati orang-orang yang sedang berbincang itu. Berharap pembicaraannya bisa sampai ke telinga. Sedikit banyak aku menangkap apa yang paman katakan. Ayah sakit, itu saja. Setidaknya aku tahu, ini tidak seburuk bayanganku.
            Setelah mendapat idzin pulang beberapa hari, aku segera berkemas ke asrama. Memasukkan apa saja yang mungkin akan aku butuhkan selama di rumah. Padahal paman bilang tak perlu membawa banyak barang. Tapi jajaran buku menggoda untuk ku bawa. Sudahlah, paman menyerah. Tak ada waktu untuk berdebat, katanya.
            Di perjalanan kami tidak banyak bicara. Hanya sekedar Tanya jawab perihal ayah. Separah apa sakitnya, dan lain sebagainya. Sisanya, kami seperti tidak punya alasan untuk berbicara. Tak punya stok tanda Tanya, atau seonggok kata-kata.
            Saat memasuki daerah perumahan, aku merasa ada hal yang janggal. Banyak sekali bendera kuning di sisi jalan. Yang ternyata bendera itu sampai juga ke pekarangan. Aku menangis sejadinya. Rumahku terlihat ramai oleh orang yang bertakziah. Aku tak ingin melihatnya. Aku memeluk pamanku erat. Dunia menjadi gelap dan udara begitu pengap. Aku kesulitan bernafas, dan akhirnya, pingsan.
ꙮꙮꙮ
            Yang pertama aku lihat saat membuka mata adalah langit-langit kamar yang sudah dihias sedemikian rupa. Entah kapan dan siapa yang menghiasnya. Aku tak berfikir sampai ke sana. Yang ku fikirkan adalah ayah.
            Tapi kemudian, sebuah tangan kasar mengusap pipiku pelan. Itu ayah! Aku menjadi ragu akan kesadaranku. Ku fikir, aku masih pingsan dan bertemu ayah di alam bawah sadar. Ternyata memang ayah.
Aku memeluknya. Bertanya tentang apa saja yang ada di kepala. Ayah memberi isyarat saja pada pakaian yang kini ku kenakan. Benar, aku tak sadar sudah berganti pakaian. Barangkali diganti sewaktu aku pingsan.
            Beberapa menit kemudian kamarku dipenuhi orang-orang. Banyak sekali. Sesak. Tapi aku masih bisa bernafas. Aku ditarik pelan menuju ruang tamu. Tidak ada proses pengkafanan. Tidak ada yang meninggal. Orang-orang datang bukan untuk bertakziah. Aku sudah tahu, sekarang. Paman berbohong.
            Aku seperti akan pingsan kali ke dua. Potongan teka-teki sepanjang perjalanan pulang sampai aku di sini, berdiri di hadapan banyak orang, akhirnya terjawab. Aku melihat mempelai pria di tengah-tengah permadani ruang tamu rumahku. Bajuku diganti dengan kebaya pengantin sewaktu pingsanku. Aku tahu. Ini acara pernikahan.
            Dan aku benar—benar tak tahu andai laki-laki itu tak memutar kepalanya menatapku.
            Laki-laki itu; KAMU?

Wedding 2



Mahadika Bagas Karliawan.

Kau jadi lebih sering menghubungiku sejak tiga bulan lalu. Bertanya ini dan itu. Hal kecil sekalipun, tak luput dari penilaianku. Kau begitu butuh berdiskusi denganku. Aku tahu kau begitu disibukkan dengan banyak hal. Pasti lelah jadi kamu akhir-akhir ini.
Hari ini kita harus fitting baju. Bahagia memancar dari wajahmu. Dan rasanya, itu menular sampai ke rongga dadaku. Aku senang melihatmu senyum selebar itu. Aku senang berada di dekatmu. Kau terus saja menggodaku. Mengatakan aku akan menjadi pengantin termanis, esok. Tapi aku sama sekali tak berselera membalas gurauanmu. Aku disibukkan oleh banyak hal dalam fikiran. Maafkan aku.
Ku dengar kabar tentang kematian tetanggamu. Sungguh, aku berfikir tentang acara esok, yang harus dihias oleh banyak bendera kuning di pekarangan rumahmu.
Kita berdua pulang dengan perasaan yang tak terdefinisikan. Tujuh tahun penantian akhirnya berujung pada kebahagiaan tak tergambarkan. Sepanjang perjalanan pulang, masing-masing kita tenggelam dalam fikiran yang tak terjelaskan. Aku tahu, sesekali kau melirikku. Lalu mengeryitkan dahi setelah itu. Aku mulai menebak-nebak apa sebenarnya yang ada dalam dadamu.
ꙮꙮꙮ
Aku adalah yang pernah berjanji untuk menjadi yang paling setia mendampingimu. Aku adalah yang pernah berjanji untuk menjadi yang yang paling keras membahagiakanmu. Tapi aku sendiri yang merusak janji itu. Menghancurkan bahagiamu, dan rencana indah kita dulu.
Hari itu aku melamarmu. Tanpa memberitahumu terlebih dahulu, aku datang menghadap ayahmu. Aku yang sangat optimis begitu yakin akan diterima sebagai menantu. Hari itu kau ikut duduk di ruang tamu menemuiku. Menyuguhkan ini itu selayaknya aku benar-benar tamu dari jauh.
Kau duduk di sebelah ayahmu dengan tanpa senyum sedikitpun di wajahmu. Aku tak faham isyarat apa itu. Tapi proses melamar tak ku hentikan. Kata demi kata ku rampungkan. Niat ini murni dari dalam hati. Ingin menjadikanmu seorang istri.
Dan aku yakin kau sudah tahu apa yang sebentar lagi akan terjadi. Dari raut wajahmu, kau begitu risau, ingin mengusirku pergi andai rasa malu tak kau miliki. Aku menjadi sangat faham setelah ayahmu memberi respon dari apa yang baru saja aku ungkapkan. Di luar dugaan, beliau memintaku untuk menikahi anak pertamanya; kakakmu. Karena tentang tujuh tahun perjalanan kita sampai ke hari ini ayah memang tidak tahu.
Ayah memberi foto kakakmu padaku, berharap aku akan tertarik pada wanita yang dua tahun lebih tua darimu itu. Aku benar-benar tak tahu bahwa wanita itu, adalah teman sekelasku di Sekolah Dasar dulu. Sungguh.
Aku dihunjam kalimat ayah dari segala arah. Hari itu jadi terasa lebih panas dari biasanya. Aku gerah. Batinku mengutuk, aku merasa bersalah.
Kau yang mematung tanpa suara, akhirnya juga angkat bicara. Katamu, kebahagiaan kakak lebih dari segalanya. Lagipula, katamu, kakakmu sudah menyimpan kagum padaku sejak lama. Hanya dia tak pernah tahu tentang kita.
Aku kekeuh dengan pendirianku untuk memperistrimu. Dan kau, kekeuh ingin memperjuangkan kebahagiaan kakakmu. Akhirnya kita bertemu pada titik di mana aku harus mewujudkan apa yang kau perjuangkan.
ꙮꙮꙮ
Hari ini, tepat hari di mana aku akan menggenggam tangan ayahmu.  Degup jantungku, seperti bisa didengar dari jauh. Sementara aku sibuk dengan segala kegugupanku, barangkali kau juga disibukkan dengan urusan ini itu. Memeriksa banyak hal, memastikan semuanya baik-baik saja.
Kau masih sibuk dengan salah satu personil Wedding Organizer saat aku datang. Aku melihatmu di lantai dua rumahmu. Tanda kedatangan calon mempelai di bunyikan. Jantungku berdegup kencang. Kepalaku pusing bukan kepalang. senyumku ku paksa mengembang demi menghindari banyak pertanyaan.
Aku melihatmu yang menatap ayah dari kejauhan. Prosesi demi prosesi terlaksana. Hingga tiba saatnya aku mengucap janji setia.
Ayah mulai merampungkan kalimatnya saat air matamu tumpah tak terkendali. Aku melihatmu bangkit dan berlari. Kau terlihat tak peduli meski tatapan orang-orang menghunjam diri.
Kau meninggalkan acara sebelum sempat mendengar janji setia dari mulutku. Tak sanggup. Ternyata kau tak sekuat itu. Padahal kemarin, kau bilang akan bahagia dengan pernikahanku. Hari ini kau malah merusak segala perasaan yang ada dalam dadaku. Tak bisakah kau sembunyikan ketidakrelaan itu?
ꙮꙮꙮ
Kau tak lagi kembali sejak hari itu. Pasti menyakitkan sekali melihatku menjadi menantu ayahmu sedang bukan aku yang mendampingimu.

Wedding 1



Qibthiyah Azeez

Aku disibukkan dengan banyak pekerjaan sejak tiga bulan lalu. Mengurus ini itu yang sebenarnya tak harus diurus oleh aku. Membooking gedung, memesan gathering, MUA terbaik, mencari souvenir, seragam untuk keluarga, dan lain sebagainya. Ini acara spesial. Sekali seumur hidup. Memang sudah seharusnya ku siapkan dengan matang.
Di tengah-tengah kesibukanku, sesekali ku sempatkan waktu untuk menghubungimu. Sekedar berdiskusi tentang ini dan itu. Hal kecil sekalipun kadang tetap ku tanyai pendapatmu. Andai bisa ku tanyai juga kakakku, tentu akan ku tanyai ia sebelum kamu.
Bahagia sekali rasanya meski lelah menggerogoti jiwa hingga ke rongga dada. Hari ini, aku dan kamu harus fitting baju. Terlihat cahaya bahagia pada senyum di wajahmu. Aku tak kalah senang darimu. Sepanjang waktu aku terus saja menggodamu, mengatakan kau akan menjadi pengantin termanis, esok, dan yang digoda hanya tersenyum malu, enggan membalas gurauanku. Baru saja ku dengar kabar, tetangga sebelah rumahku meninggal dunia, pekarangan jadi ramai bendera kuning dibuatnya. Esok, entah acara akan berjalan seperti apa.
Kita berdua pulang dengan perasaan yang tak terdefinisikan. Tujuh tahun penantian akhirnya berujung pada kebahagiaan tak tergambarkan. Sepanjang perjalanan pulang, masing-masing kita tenggelam dalam fikiran yang tak terjelaskan. Sesekali ku lirik wajahmu. Aku tak kenal ekspresi itu. Entah perasaan apa yang ada dalam dadamu.
ꙮꙮꙮ
Hari ini, tepat hari di mana kau akan menggenggam tangan ayahku. Dan aku seperti bisa mendengar degup jantungmu dari jauh. Sementara kau sibuk dengan segala kegugupanmu, aku juga disibukkan dengan urusan ini itu. Memeriksa banyak hal, memastikan semuanya baik-baik saja.
Aku masih sibuk dengan salah satu personil Wedding Organizer saat kau datang. Tanda kedatangan calon mempelai di bunyikan. Jantungku berdegup kencang. Kepalaku pusing bukan kepalang. Aku melihatmu dari lantai dua rumahku. Jelas sekali senyummu kau paksa mengembang demi menghindari banyak pertanyaan.
Sekarang, di sini aku duduk manis menatap ayah yang matanya mulai berkaca-kaca. Prosesi demi prosesi terlaksana. Hingga tiba saatnya kau mengucap janji setia.
Ayah mulai merampungkan kalimatnya saat air mataku tumpah tak terkendali. Aku bangkit dan berlari. Tak peduli tatapan orang-orang menghunjam diri.
Aku meninggalkanmu sebelum sempat mendengar janji setia itu. Tak sanggup. Ternyata aku tak sekuat itu. Saat seharusnya aku bahagia dengan pernikahanmu, hari ini aku malah merusak perasaan yang ada dalam dadamu. Bukankah seharusnya ku sembunyikan ketidakrelaan itu?
ꙮꙮꙮ
Aku tak lagi kembali sejak hari itu. Menyakitkan memang melihat kau menjadi menantu ayahku sedang bukan aku yang mendampingimu.
Mempelai wanita itu; KAKAK-ku.

Throwback 2



Aimmy, 25 November 2021

            Hari ini, seharusnya kau datang setelah dua tahun lalu berjanji akan meminangku seusai pendidikan strata satumu. Hari ini, seharusnya aku sedang harap-harap cemas menunggu kedatanganmu. Menyiapkan senyum dan pelukan hangat untuk menyambutmu. Tapi tidak. satu tahun lalu kau langgar janji itu. Mendatangi ayahku lebih cepat dari janji yang kau ucapkan dulu. Kau datang dengan janji baru. Tentang masa depan yang tak akan menyulitkan.
            Aku masih ingat hari itu. Saat kau bilang, kau tak membuat pilihan. Kau tidak memilih untuk merelakan. Katamu, pendidikan masih bisa kau lanjutkan di atas pernikahan. Kau mengejutkanku.
            Aku, kau bawa ke kota tempat tinggalmu. Menyaksikan setiap gerak gerikmu. Menatap wajah lelah di setiap sebelum tidurmu.  Menyiapkan pakaian untuk kuliah, juga seragam kerjamu. Mendengarkan semua ceritamu. Tentang kau yang harus turun dari satu bus ke bus yang lain. Dari satu angkot ke angkot yang lain. Dan sesekali berjalan kaki. Senyummu mengembang meski terik menyengat di tengah hari. Katamu, orang-orang tak akan peduli. Atau bahkan kau yang tak peduli andai dianggap tak waras lagi. Membayangkan, betapa behagianya kau kini, mencari nafkah demi seorang istri.
            Hari ini, kau sudah tak perlu ke kampus lagi. Juga perusahaan memberimu beberapa hari cuti. Hari ini, kau bukan hanya suami dari seorang istri, tapi juga ayah dari bayi yang ku timang kini.
            Sudah dua bulan sejak proses persalinan, katamu, kita butuh sekedar jalan-jalan. Segala keperluan ku siapkan, kebutuhan si kecil sudah lengkap ku pastikan. Kau yang membawa tas besar itu di tangan kekarmu, dan tetap menggandengku di tanganmu yang lain.
            Kita keluar bersama. Langkahku terhenti dan mulutku nyaris menganga. Menyaksikan siapa yang berdiri di dekat gerbang rumah kita. Dia sama terkejutnya.
            Lelaki itu; KAMU?

Throwback 1




Rustandi, 25 November 2021.

            Hari ini, aku datang setelah dua tahun lalu berjanji akan meminangmu seusai pendidikan strata satuku. Dengan angkutan umum aku menuju rumahmu. Bukan tak punya kendaraan, bahkan hari ini, showroom bisa kubeli dengan uangku. Aku hanya ingin bernostalgia dengan jalan berliku di kota kecilmu. Tempat kita mengukir kisah, dulu.
            Aku turun dari satu bus ke bus yang lain. Dari satu angkot ke angkot yang lain. Sesekali berjalan kaki. Senyumku mengembang sepanjang perjalanan ini. Orang-orang mungkin tak peduli. Atau sebagian akan menganggapku tak waras lagi. Membayangkan betapa senyummu akan mengembang menyambutku datang. Pelukan hangat akan ku dapatkan. Untuk kemudian berbincang tentang rencana pernikahan. Aku sudah siap meminang.
            Senyum itu masih mengembang sampai kakiku memasuki gang kecil di desa tempatmu tinggal. Ku rogoh lagi saku jaket untuk memastikan, hadiah yang sudah ku siapkan, tak tertinggal atau terjatuh di jalan. Aku gugup setengah hidup. Menyiapkan kata apa yang harus ku ucapkan pada peretemuan ini, aku begitu sibuk. Aku sengaja tak mengabarimu. Aku ingin mengejutkanmu.
            Kakiku sudah memasuki gerbang rumahmu. Agak berbeda. Hari ini sepi sekali. Tetapi aku yakin kau ada di sini. Aku maju meski sedikit ragu. Langkahku terhenti. Kau berdiri membeku. Menatapku. Berhasil! Aku mengejutkanmu.
ꙮ ꙮ ꙮ
                Tidak! kau yang mengejutkanku.
            Bayi di dalam gendonganmu dan lelaki yang kau gandeng itu, cukup membuat aku lupa pada detak jantungku.
            Lelaki itu; AKU?

Mendung di Langit Al-Must




Awan hitam bergerumul di puncak gunung salak di hadapan kami. Bertumpuk-tumpuk. Menutup sebagian awak gunung itu. Tak jauh dari sana, sinar matahari menelusup malu-malu. Seperti ingin memberi kabar bagi para perindu, tentang lengkung warna-warni yang akan muncul sebentar lagi.
            Ini adalah musim penghujan. Kabut menjadi lebih tebal dari biasanya. Mengetuk-ngetuk jendela. Memaksa masuk lewat celah-celahnya. Dingin.
            Kami berada di lantai dua villa, -di balkon ruang serba guna yang sering disulap menjadi apa saja- saat pak Adam, salah seorang pekerja di sini memanaskan mobilnya. Seperti biasa, beliau pergi ke pasar membeli bahan makanan untuk kami. Begitu setiap hari.
            Dosen dan para mahasantri berlalu lalang. Keluar-masuk kelas, atau kantor silih berganti. Tak ada yang istimewa hari ini. Selain mahasantri bermata jeli yang harap-harap cemas menanti pelangi. Mendengarkan dosen yang terus bicara tanpa henti, sambil menatap kosong ke luar jendela. Berharap kabar bahagia datang menyapa.
            Sampai malam mulai matang dan kabar bahagia tak juga datang. Pelangi yang dinanti-nanti juga tak menepati janji. Seharusnya dia ada. Komposisi sudah begitu sempurna. Awan mendung, hujan rintik, dan sinar matahari yang menelusup masuk di antara rintik-rintik hujan, seharusnya cukup untuk membiaskan cahaya yang menabrak hujan, menjadi lengkung warna-warni setengah lingkaran. Tapi nyatanya tidak. Mahasantri bermata jeli kecewa.
•••
            Semuanya berlalu begitu cepat. Kemarin, pagi-pagi sekali kami masih melihat pak Adam memanaskan mobilnya. Dengan tampang lesu. Wajah yang tak tentu menampakkan ekspresi apa. Seperti biasa. Hanya kali ini lebih murung. Lalu sore ini, kami sudah melintasi pekuburannya.
            Kemarin, masih di hari yang sama saat pak Adam memanaskan mobilnya, beliau juga memberi isyarat pada dunia, bahwa itulah saat terakhir ia mengemudikannya.
            Tak terlihat sama sekali tanda-tanda kepergiannya. Ia lupa pamit pada keluarga. Atau barangkali sengaja. Memberi pelajaran kepada kami semua, bahwa kereta kencana, memang selalu datang tiba-tiba.




Banana's Journey: assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh...Sal...

Banana's Journey: assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh...

Sal...
: assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh... Salam kenal untuk semua warganet. Tujuh tahun mengabaikan bukan berarti begitu saja meng...

Best of...

Idzinkan Saya Berzina Dengan Anak Bapak

  Oleh: Galuh Za   Awan hitam bergerumul di puncak gunung salak di hadapan Wisnu. Bertumpuk-tumpuk. Menutup sebagian awak gunung itu. ...